Novel : Langit Tanpa Bintang (Bab 1)
BAB 1 Air Mata
Membayangkan kejadian dua minggu yang lalu, membuat Shima kembali menitikan air mata. Bagaimana tidak sedih malam pertama yang seharusnya menjadi momen bersejarah bagi pasangan pengantin baru, tetapi malah menjadi sejarah menakutkan baginya.
Awalnya, Shima mengira reaksi tubuhnya adalah hal yang wajar ketika melakukan malam pertama. Namun, rasa sakit itu selalu dialaminya ketika di hari-hari berikutnya ia dan sang suami hendak menuntaskan malam pertama yang belum terlaksana. Suaminya menenangkan. Mungkin dirinya kurang rileks dan cemas sehingga ketika akan penetrasi kembali sakit.
Fa’al masih bersabar, ia mengajak sang istri berbulan madu untuk menciptakan suasana rileks dan nyaman, tetapi bulan madu itu justru berakhir pertengkaran hebat karena Shima selalu histeris merespon setiap usaha suaminya. Pada akhirnya Fa’al menyerah dengan wajah muram.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kamu itu kenapa, sih, Dhek? Sakit ketika pertama kali senggama itu wajar,” ucap Fa’al yang kini tengah duduk di samping istrinya dengan wajah frustasi. “Kamu itu istri, Mas! Kenapa ketika Mas ingin memenuhi hakku sebagai suami malah seakan sedang memerkosa,” sambungnya sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya kebelakang rambut sembari menghela napas kasar.
“Maafkan Adek, Mas. Adek juga nggak tahu kenapa sakit banget. Andai, Adek bisa menahan sakit ini mungkin reaksi tubuh Adek nggak akan seperti ini, Mas,” ujar Shima lirih.
“Mas sudah berusaha melakukannya dengan selembut mungkin biar Adek nyaman. Tapi, kenapa Adek malah bereaksi berlebihan, bahkan menendang, seakan Mas itu pelaku kejahatan.” Fa’al kembali berucap seakan meluapkan kekecewaan dan kekesalannya secara bersamaan.
“Maaf jika Adek menendang, Mas, tadi. Soalnya sudah beberapa kali, Adek minta berhenti, tetapi Mas malah terus berusaha memaksa. Adek benar-benar tidak bisa menahan rasa sakit itu meski kita sudah beberapa kali mencobanya, tetapi rasa sakit itu tidak pernah berubah kenikmatan seperti yang diceritakan orang-orang dan buku-buku yang Adek baca. Malah kalau Mas ingin tahu rasa sakit ini … seperti terbakar dan seakan mau mati!” ujar Shima menunjuk area kedua pahanya yang tertutup selimut. Ia berkata dengan emsoi menguasai dirinya, bahkan air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya luruh juga di kedua pipinya yang mulus.
“Setahu Mas, itu hal yang wajar dialami perempuan ketika pertama kali melakukannya, Dek,” ucap Fa’al kukuh meski Shima mengatakan kalau ia seperti akan mati merasakan sakit pada vaginanya.
Mendengar kata wajar dari suaminya, Shima tidak mampu berkata-kata lagi. Ini bukan pertama kalinya untuk mereka mencoba malah ini sudah kesekian kalinya mereka lakukan, tetapi seakan Fa’al lupa dan masih penasaran dengan kegiatan yang belum pernah mereka tuntaskan sehingga ia berkata hal itu wajar dialami perempuan untuk pertama kalinya melakukan senggama.
Tangisan istrinya yang terdengar menyayat hati disertai isakan, membuat Fa’al luluh dan merasa bersalah. Dipeluknya Shima sambil mengucapkan kata maaf berkali-kali. “Maaf, maafkan Mas, sudah menyakitimu, Dek.’
Malam yang sudah bukan malam pertama itu berlalu dengan ucapan kata maaf dari Fa’al. Pria yang sudah berusaha selama dua minggu itu akhirnya menyerah. Meski hasratnya sudah di ubun-ubun, tetapi mendengar isak tangis yang menyayat hati dari sang istri, ia mampu menguasai dirinya. Shima yang sudah tidak menangis lagi tertidur dalam pelukan suaminya.
Kini, Shima sedang memerhatikan santri-santri yang tengah menghafal al-qur’an di balik jendela kamarnya di lantai dua. Pemandangan yang membuatnya tenang, Shima begitu fokus hingga tak sadar suaminya masuk ke ruangan itu.
Sepulang dari masjid, Fa’al menemukan istrinya tengah tertegun dengan pandangan menerawang ke luar jendela. Ia lalu mendekat ke arah istrinya. “Sayang, Mas tahu kenapa Adek selalu bilang sakit ketika kita akan melakungan hubungan suami istri,” ucap Fa’al antusias. Setelah berkonsultasi dengan orang yang bisa dipercaya, ia akan mengajak sang istri yang baru dinikahi dua minggu itu untuk diperiksa oleh dokter.
Namun, Shima yang tengah melamun tidak mendengar ucapan suaminya. Saat suara langkah kaki mendekat ke arahnya dan Shima pikir itu suaminya, ia pun berkata, “Mas, sampai saat ini, Mas belum mendapatkan hak sebagai suami. Akan tetapi, Mas selalu memberi maaf untuk Adek. Meski kita sempat bertengkar karena belum pernah menuntaskan malam pertama, tetapi pada akhirnya kita saling memaafkan dan memaklumi. Namun, rasa bersalah ini selalu menghantui, Adek. Bagaimana kalau kita mengajukan pembatalan pernikahan? Adek takut jika kembali melakukan hubungan suami istri, Adek kembali merasakan sakit yang sangat luar bisa lagi dan menyakiti, Mas,” ucap Shima lirih, bahkan ia tidak melihat suaminya saat berucap.
“Kenapa tiba-tiba ingin mengajukan pembatalan nikah?” tanya Fa’al berusaha menstabilkan emosinya. Padahal ketika masuk kamar ia begitu senang karena akan memberi kabar tentang keadaanya, lalu membawa istrinya ke dokter. Akhirnya misteri sakitnya sang istri ketika akan melakukan hubungan suami istri mendapat pencerahan. Namun, kini istrinya malah mengajak membatalkan pernikahan.
“Biar Mas, bisa menikah dengan wanita lain dan bisa menuntaskan malam pertama dengan wanita yang mampu mengubah rasa sakitnya menjadi kenikmatan tanpa adanya status duda untuk Mas. Stigma masyarakat tentang status janda akan membuatku semakin terpuruk. Apalagi dengan keadaan Adek yang tidak bisa melayani suami pasti akan menjadi buah bibir sejagat raya. Akan tetapi, jika kita melakukan pembatalan nikah status kita bisa tetap lajang di mata negara maupun agama,” jawab Shima beralih menatap suaminya.
“Memangnya apa yang membatalkan dalam pernikahan kita sehingga harus mengajukan pembatalan nikah?” Fa’al ingin tahu sudah sejauh mana istrinya mencari tahu tentang syarat pembatalan nikah.
“Bukankah dengan nggak bisanya, Adek melayani Mas di ranjang sudah menjadi syarat dalam pembatalan nikah di antara kita? Mas, pasti merasa kecewa dan tertipu, kan?” tanya Shima memalingkah wajah, ia kembali menatap ke luar jendela.
“Kenapa kamu membenarkan prasangkamu sendiri, Dek? Seharusnya bertanya, apakah Mas kecewa? Tentu. Siapa yang nggak kecewa ketika pernikahan adalah halalnya hubungan suami istri, tetapi malah tidak bisa melakukan itu,” kata Fa’al diam sejenak. “Akan tetapi, sebagai laki-laki sejati, Mas harus mencari tahu dulu apa yang terjadi. Mungkin awalnya kecewa, tapi Mas yakin ada pahala besar untuk Mas dalam menyikapi keadaan kita. Jadi, Mas tidak akan menyetujui keinginan Adek untuk membatalkan pernikahan. Tidak ada pembatalan nikah apalagi perceraian,” sambung Fa’al. Ia sudah bertekad apa pun yang terjadi dengan istrinya, Ia akan selalu mendukung dan membersamainya walaupun harus menahan hasratnya.
Tadi, setelah salat subuh, Fa’al berbicara dengan sahabatnya yang bekerja di nakes. Ia menceritakan kondisi istrinya yang selalu kesakitan ketika akan berhubungan suami istri. “Assalamu’alaikum, Ustaz Fa’al. Apa kabar nih yang sudah jadi pengantin? Masyallah suaranya makin merdu aja,” sapanya setelah salat subuh berjamaah itu selesai.
“Wa’alaikumussalam warrahmatullah, alhamdulillah kami baik. Bagaiama kabar, antum? Dengar-dengar istri antum sudah melahirkan, ya?” tanya Ustaz Fa’al.
“Alhamdulillah sudah, Taz. Oh, iya, nanti untuk aqiqhnya antum dan istri datang, ya? Sekalian antum yang mengisi tausiyah serta doanya.” Sahabat Fa’al itu memintanya untuk mengisi tausiyah dalam acara aqiqah anak pertamanya. Fa’al yang belum terbiasa mengisi tausiyah di luar pondok pesantren mengangguk. Ini akan menjadi pengalaman pertamanya setelah kepulangannya dari Madinah dan menikah dengan Shima. Ia juga menerima tawaran sahabatnya karena ingin meminta pendapat sahabat yang bekerja di nakes. Ia percaya sahabatnya yang memiliki pekerjaan di bawah sumpah akan menjaga rahasianya.
“Heum …,” Fa’al tiba-tiba berdehem kemudian menarik napas lalu, dikelurkannya dengan pelan. Ia merasa gugup menceritakan keadaan rumah tangganya. Bagaimana pun ini merupakan aib keluarga kecilnya yang harus ia jaga, tetapi jika ia terdiam terus tanpa mencari tahu apa yang terjadi tentu rumah tangga yang baru dibangunnya akan hancur.
“Hilal, ana mau cerita masalah pribadi,” ucapnya menahan kegugupan. Fa’al yang di kenal oleh Hilal seorang laki-laki percaya diri, ia tidak akan basa basi ketika bicara. Namun, saat ini wajah Fa’al nampak sendu dan serius.
“Bicaralah, insyaallah ana akan mendengarkan,” sahut Hilal sembari menepuk pundak sahabatnya.
“Menurutmu sebagai seorang dokter jika perempuan terus kesakitan ketika penetrasi apa yang terjadi dengannya? Kejadian ini bukan hanya sekali dua kali kami alami, bahkan setelah dua minggu kami menikah belum pernah hubungan suami secara tuntas karena istri ana terus menangis karena kesakitan,” kata Fa’al tanpa melihat sahabatnya, ia terus berjalan menatap lurus ke depan.
“Innalillah, antum sudah ajak istri ke dokter?” tanya Hilal tenang, ia menjeda langkahnya menatap sang sahabat yang ikut jeda dalam melangkah.
“Belum,” jawab Fa’al singkat. Ia tidak kepikiran untuk mengajak sang istri ke dokter malah mengajak istrinya bulan madu karena ia merasa istrinya butuh suasana yang tenang agar rileks.
“Sepertinya kalau dari cerita antum barusan, istri antum mengidap vaginismus,” ujar Hilal.
“Apa itu? Kok, ana baru dengar,” tanya Fa’al heran karena baru mendengar istilah itu.
“Ana tidak bisa menjelaskan lebih detail karena ana bukan di bidang itu. Mungkin antum bisa janjian dengan salah satu dokter obgyn atau spesialis kewanitaan. Solanya akhir-akhir ini perempuan yang mengidap vaginismus mulai speak up tidak seperti beberapa tahun lalu yang seolah misteri dan menyalahakan perempuan karena tidak mau melayani suaminya.” Hilal berkata sembari mengingat rekan sejawatnya yang memebahas kasus pengidap vaginismus pada beberapa perempuan, bahkan dari hasil penelitian 7-17 persen wanita di dunia menderita penyakit ini.
“Apakah istri ana akan sembuh?” Tatapan Fa’al ketika bertanya penuh kekhawatiran dan ketakutan.
“Tentu, Inasyallah istri antum akan sembuh. Bukankah setiap penyakit ada obatnya?” Hilal memberikan pertanyaan di sesi terakhir obrolan mereka sebelum ia pamit karena istrinya menelepon. Fa’al mengangguk lalu berterima kasih pada sahabatnya itu. Untungnya ia bukan seorang laki-laki gegabah. dirinya selalu mencari tahu apa yang terjadi dan bagaimana mengatasi masalah yang dialaminya.
Setelah bertekad tidak akan ada pembatalan nikah ataupun perceraian dalam rumah tangganya, Faal memeluk Shima dari belakang sambil berbisik, “ayo kita cari tahu bersama-sama apa yang terjadi denganmu, Dek.”
Shima terharu pada sosok suaminya. Ia berbalik memeluk suaminya sembari menangis bahagia. Ia pikir suaminya akan menyetujui rencananya, tetapi sang suami mengajaknya mencari tahu apa yang terjadi. Sebenarnya, Fa’al ingin langsung mengungkapkan obrolan dengan sahabatnya, tetapi lebih baik istrinya tahu dari ahlinya biar ketika sang istri syok menerima kabar itu biar dirinya yang menguatkan dan menghuburnya.
“Lalu, sampai kapan kita akan menjalani pernikahan tanpa hubungan suami istri? Adek takut suatu hari abang menceraikan Adek kemudian Mas menikah lagi dengan wanita lain,” tutur Shima dengan nada khawatir. Allah yang Maha membulak balik hati, Shima takut suaminya tidak akan bersabar. Ia seorang perempuan yang mudah cemas meski dirinya dikenal dengan sosok wanita santun, cerdas dan primadona di pondok pesantren.
“Sampai Allah memberi solusi atas apa yang terjadi dengan kita.” Sebetulnya ia ingin mengatakan sampai Allah memberi solusi atas apa yang terjadi dengan Shima, tetapi itu bukan salah sang istri karena istrinya pun tak ingin memiliki kelainan seksual.
“Setelah sarapan di rumah uma, kita langsung berangkat. Sekarang, Adek siap-siap dulu. Mas, mau murojaah dulu sebentar di kamar sebelah.” Fa’al langsung pamit dan mencium kening istrinya sebelum keluar menuju kamar yang berada di sebelah.
*****
Shima menatap lekat bayangan wajahnya di depan cermin. Ia tidak menyangka wajah yang terlihat teduh itu ternyata memiliki sebuah kekurangan di bagian inti tubuhnya. Orang-orang pun tidak akan menyangka bahwa dirinya dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Ketika pintu kamar terbuka, Shima segera merapikan jilbabnya. “Kamu sudah siap, Dek?” tanya Fa’al setelah masuk ke kamar.
“Sudah, Mas.” Shima menjawab sembari melangkah ke sofa, ia langsung duduk menunggu suaminya yang hendak mengganti pakaian.
Fa’al yang tidak canggung membuka pakaian di depan mata Shima langsung mengganti pakaian begitu saja. Mata Shima, menatap lekat setiap gerakan yang terlihat indah itu. Ia bertanya-tanya dalam hatinya sampai kapan hanya menatap tubuh indah itu.
“Sabar ya, nanti Adek bisa menikamti tubuh ini sepuasnya kalau sudah tahu apa yang terjadi dengan dirimu, Dek,” ucap Fa’al di depan wajah Shima, bahkan hembusan napas pria itu begitu terasa.
Wajah Shima memerah. Ia memalingkan wajah karena malu. Saking fokusnya mengagumi sampai tidak sadar yang dikagumi sudah selesai dengan aktivitasnya. “Ayo,” ajak Fa’al mengulurkan tangan.
Shima menatap wajah Fa’al yang terlihat pari purna mata coklatnya begitu jernih disekelilingnya yang berwarna putih tampak bersih. Betapa beruntungnya Shima mendapatkan laki-laki seperti Fa’al. Hafiz qur’an, anak seorang kiai dan ia juga ustaz lulusan dari Universitas Madinah.
“Ayo, Mas tahu kok, kalau Mas tampan Adek bisa terus menatapnya hingga kapan pun,” ujar Fa’al meraih tangan Shima untuk melangkah keluar bersama. Jemari mereka saling bertaut. Wajah berseri seakan tidak ada kejadian apa pun menimpa mereka.
****
Para santriwati yang tengah bersiap ke kelas, menatap kagum pasangan pengantin baru itu dari halaman asrama. Shima dan Fa’al tersenyum pada santriwati yang berpapasan dan menyalami mereka. Ketika menyalami Ustazah Shima, santriwati itu menangkupkan kedua tangan di dada untuk Ustaz Fa’al.
“Visualisasi nyata dari tokoh novel romance yang aku baca,” ucap santriwati berwajah imut dari kejauhan. Ia tidak bisa ikut menyalami ustaz dan ustazahnya karena masih di asrama.
“Pasangan pengantin setelah pulang berbulan madu telihat begitu bersinar,” sahut santriwati yang sedang mengikat sepatu. “Beruntung banget ya, Ustazah Shima, seperti tokoh-tokoh novel,” sambungnya menatap kagum pasangan yang sedang bergandengan dengan jemari saling tertaut.
“Masyallah cantik banget, Ustazah Shima dan gantengya Ustaz Fa’al. Definisi menikah dengan satu nasab, satu mazhab, satu pondok pesantren. Jadi pengen nikah,” ujar santriwati yang memegang buku paket sembari menunggu teman-teemannya.
“Dih, kebanyakan dong kalau nikan satu Pondok Pesantren,” ujar santriwati paling tinggi diantara mereka berempat sembari tertawa.
“Tahu nggak sih, ketika Ustaz Fa’al kuliah s1 dan s2 di Madinah denger-denger sempat punya calon, lho?” Mode gibah dari santriwati yang baru selesai mengikat sepatu berdiri sembari merapikan roknya.
“Nggak, tau. Kok, kamu bisa tahu? Info dari mana tuh, valid nggak? Kalau nggak valid nanti jatohnya kamu fitnah.” Kata santriwati yang memegang buku paket.
“Ini tuh, infonya A1 dari kakak aku yang temen ceweknya calon Ustaz Fa’al,” jawabnya penuh keyakinan.
“Tapi, kok, bisa nikahnya sama Ustazah Shima?” tanya santriwati berwajah imut penasaran.
“Takdir mungkin, Ustazah Shima kan, hafizoh dari Ma’had Khadijah Al-Kubro, Bogor milik temen Kiai,” jawabnya.
“Wah, apa jangan-jangan mereka di jodohkan, ya? Tapi cocok sih, dua-duanya penghafal al-qur’an. Jodoh tuh, bisa datang dari mana saja yang penting nggak rebut suami orang,” ucap santriwati yang memegang buku ikut menanggapi sambil tertawa.
“Dih, suami orang apaan, tuh?” sahut santriwati berwajah imut ikut tertawa.
“Amit-amit, jangan sampai diantara kita ada yang jadi istri seseorang yang sudah beristri seperti di novel-novel sugar daddy, iyuwh,” sahut santriwati paling tinggi itu.
“Berarti kamu mah, aliran ibu-ibu hujat yah, kalau ada yang poligami,” kata santriwati berwajah imut.
“Eh, itu beda bab nggak usah di bahas, skip-skip,” jawabnya sembari cemberut.
Mereka berempat akhirnya berlari karena bel masuk kelas sudah berbunyi. Meski masih ingin membicarakan ustaz dan ustazahnya walau sudah ganti topik, tetapi jika mereka terlambat harus menghafal 20 mufrodat dalam waktu 10 menit.
Catatan kaki:
Halaman : 1 2 Selanjutnya