Terima kasih sudah menjadi suami terbaik buat aku. Aku cinta kamu, selamanya.
Status itu baru beberapa menit yang lalu tayang di akun Dewi, dengan foto kantong belanja berlogo produk perhiasan yang tokonya bertebaran di banyak mal besar. Anya menghela napas dalam-dalam. Gelombang perasaan iri kembali melanda hatinya. Baru beberapa hari yang lalu Dewi mengunggah foto dirinya yang bertubuh langsing dengan rambut panjang yang dicat keemasan itu di depan sebuah mobil SUV keluaran terbaru. Jadi, keinginan Dewi untuk mengganti mobil sedannya yang butut sudah dituruti sang suami.
Anya mengingat itu kira-kira sebulan yang lalu, saat grup ibu-ibu sedang sarapan bersama di dekat sekolah anak-anak mereka. Perempuan itu mengatakan ingin berganti mobil karena yang sekarang dia pakai sudah terlalu lama. Meskipun mesinnya baik-baik saja, tapi penampilannya sudah terlalu usang. Setelah itu Anya belum sempat berkumpul lagi dengan Dewi dan ibu-ibu yang lain karena sibuk dengan urusannya sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Anya menutup ponsel dan meletakkanya di meja, bersebelahan dengan map putih yang kini mengambil alih perhatiannya. Dikeluarkannya beberapa lembar kertas dari dalam map dan dibacanya dengan hati-hati, setiap kata dan kalimat, sampai ke titik dan koma, dari halaman pertama hingga terakhir.
Itu surat gugatan cerai untuk Rudy, suaminya selama delapan tahun. Jangankan hadiah perhiasan yang nilainya hanya sepersekian dari mobil baru milik Dewi, uang belanja dan uang sekolah untuk Dennis pun jarang sekali Anya dapatkan. Padahal lelaki itu selalu mengaku dapat bonus saat mendapat klien, dan gaji bulanannya pun lumayan. Entah ke mana semua uang itu.
Tapi, bagi Anya, selama bertahun-tahun ini, punya suami atau tidak, sama sekali tak ada bedanya. Dia tetap harus banting tulang seorang diri demi Dennis bisa makan dan sekolah, juga membayar sewa rumah.
Suara ketukan di pintu depan memecah lamunan Anya. Dia segera bangkit, membuka pintu, dan melihat Mika—salah satu dari ibu-ibu yang anaknya satu kelas dengan Dennis.
“Hai, An. Aku mau ambil makanan. Sudah siap?” tanya Mika.
Anya membuka daun pintu lebih lebar, mempersilakan Mika masuk. Anya membawa
tamunya ke ruang makan di mana kotak-kotak makanan yang sudah diatur dalam
beberapa kantong plastik sudah menunggu untuk diangkut.
Mika mengambil satu kotak dan membuka tutupnya. “Wangi banget!” komentarnya,
lalu menutup kotak itu dan mengembalikannya ke dalam kantong plastik. “Ini sudah
semua ya?” Dia menunjuk semua kantong itu.
Anya mengiyakan, lalu keduanya membawa kantong-kantong itu dan
memasukkannya ke dalam mobil Mika yang diparkir di depan halaman rumah.
“Eh, kamu sudah dengar tentang suaminya si Dewi?” tanya Mika, sesaat setelah
memastikan tidak ada kantong yang tertinggal.
Anya mengerutkan dahi. “Nggak. Aku kan sudah berminggu-minggu nggak kumpul
sama ibu-ibu. Lagi banyak orderan katering. Ada apa sama papanya Deo?”
‘Katanya dipecat dari kantor karena penggelapan.” Mika mengangkat bahu. “Katanya
lho, ya. Aku juga nggak tahu pasti. Beberapa hari belakangan ini Dewi cuma antar
jemput Deo, nggak pernah sarapan bareng lagi sama ibu-ibu. Aku juga baru tahu
cerita ini dari Nina yang suaminya satu grup perusahaan sama suaminya Dewi.”
Kerutan di kening Anya bertambah dalam. “Lho, bukannya dia baru ganti mobil?
Tadi pagi juga dia masih posting habis belanja perhiasan.”
3
Mika tersenyum tipis. “Begitulah. Kata orang Jawa, urip iku mung sawang-
sinawang—hidup itu hanya tentang memandang dan dipandang. Kita nggak pernah
tahu ada apa sebenarnya di balik pintu rumah orang lain.”
Anya terdiam. Perasaan dengki yang tadi sempat menggulung hatinya, kini luruh
seketika.
***
Tentang Penulis
Eunike Hanny, tinggal di Tangerang Selatan. Tulisan yang sudah terbit antara lain, Saat Gota Tersesat (cerita anak, bisa dibaca di Gramedia Digital), Klub Bunuh Diri (Bukuditeras), A Prenup Letter (bisa dibaca di iPusnas), dan skenario film pendek untuk layanan streaming. Penulis bisa dihubungi di IG @hanny1806 / FB Eunike Hanny.