Rumah terlihat gelap gulita ketika aku tiba, bahkan lampu teras pun mati semua. Dengan perasaan was-was aku segera turun dari mobil, lalu setengah berlari memasuki pekarangan. Pintu depan masih terkunci. Aku buru-buru mencari kunci di antara barang-barang lain dalam tas hingga sebagian isinya tumpah di lantai teras. Rasa cemas kian mencengkeram ketika aku memasukkan kunci ke lubang kunci dan memutarnya hingga terbuka.
Aku menekan sakelar lampu, dan seketika ruang tamu terang benderang. Aku memandang ke sekeliling ruangan. Tidak ada yang aneh. Semua masih tertata rapi.
“Surti!” Aku memanggil nama pengasuh Daniel, bayiku yang baru berumur 20 bulan. “Surti!” Aku memanggil lagi, kali ini dengan suara lebih keras. Tidak ada jawaban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rasa takut dalam hatiku kian berlipat. Aku menyalakan lampu-lampu di ruang tengah, ruang makan, dapur, hingga teras belakang, tapi hanya kesunyian yang kudapati. Kamar pembantu pun kosong.
Setengah berlari aku menaiki tangga. Semua kamar ada di lantai dua. Kulihat pintu kamarku setengah terbuka, tapi di dalam pun gelap gulita. Aku mendorong daun pintu, lalu menekan sakelar untuk menyalakan lampu, dan seketika aku diliputi perasaan ngeri.
Di atas karpet berwarna cokelat muda, sosok Arman—suamiku—terbaring dalam posisi menelungkup, di atas genangan darah. Sementara itu, Surti duduk bersimpuh tak jauh darinya. Sebilah pisau tergeletak di dekat kakinya.
Kepala Surti mendongak ketika aku berbisik, menyebut namanya dengan suara bergetar. Wajah gadis itu pucat pasi, basah karena deraian air mata. Perlahan-lahan aku mendekat, lalu berjongkok di dekat Arman. Tanganku gemetar ketika mencoba merasakan embusan napas dari hidung lelaki yang sudah sepuluh tahun hidup bersamaku itu. Dia sudah tidak bernapas. Denyutan nadi di pergelangan tangannya pun sudah menghilang, entah kapan.
Baca Juga: Cerpen : MENDADAK JADI ISTRI DOKTER
“Apa yang terjadi?” tanyaku, lagi-lagi dengan suara berbisik. Aku terduduk, lemas dan gelisah, lalu teringat pada Daniel. Surti kini kembali terisak-isak, dan bibirmya yang gemetar mengucapkan kata maaf dan minta ampun berkali-kali.
“Surti!” Aku membentak, tiba-tiba merasakan pening di kepala. “Di mana Daniel?”
“Di … kamar,” jawab gadis berumur dua puluh tahun itu.
Aku segera bangkit dan bergegas ke kamar Daniel. Seketika perasaan lega memenuhi dada melihatnya tidur dengan tenang di boks bayi. Aku kembali ke kamar utama dan duduk di tempat tidur, melihat Surti yang masih membeku di tempatnya.
Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas untuk menghubungi nomor darurat. Tapi, aku mengurungkan niat itu sesaat sebelum menekan simbol telepon berwarna hijau.
Kualihkan pandangan ke arah Surti.
“Surti, apa yang terjadi?” tanyaku, kini dengan suara lebih lembut.
Dalam keheningan, aku bisa mendengar gadis yang baru bekerja enam bulan di rumahku itu menghela napas dalam-dalam. Dengan suara parau, dia menjawab pertanyaanku. “Bapak … melecehkan saya ….”
Kini gantian aku yang menghela napas dalam-dalam. Setelah terjadi beberapa kali, aku bahkan tidak lagi merasakan terkejut atau pun sakit hati. Kupikir perasaan seperti itu sudah lenyap seiring waktu yang berlalu.
Aku melihat tubuh Arman yang diam membisu di karpet, dan entah bagaimana mendadak ada perasaan lega yang menyusup ke dalam dada. Aku tak pernah mengharapkan kematiannya, tapi dengan kejadian ini, semuanya jadi mudah. Aku tak perlu mengajukan gugatan cerai atau pun hak asuh anak, dan tak perlu pula berbagi harta yang sudah susah payah kukumpulkan. Kupalingkan wajah ke arah Surti, dan dari dasar hati yang paling dalam, aku sungguh berterima kasih padanya atas tragedi yang telah diciptakannya.
****
Tentang Penulis
Eunike Hanny, tinggal di Tangerang Selatan. Tulisan yang sudah terbit antara lain, Saat Gota Tersesat (cerita anak, bisa dibaca di Gramedia Digital), Klub Bunuh Diri (Bukuditeras), A Prenup Letter (bisa dibaca di iPusnas), dan skenario film pendek untuk layanan streaming. Penulis bisa dihubungi di IG @hanny1806 / FB Eunike Hanny.
Baca Juga: CERPEN: Kembar Identik