Cinta di Penghujung Jalan
Bab 2
Jalan Pengkhianatan
Aku menatap tubuh seksi yang bergoyang erotis di depanku. Diam-diam aku menelan air liurku sendiri melihat pemandangan yang mengguncang seluruh syaraf di tubuhku. Napasku sudah tak beraturan dan dadaku turun naik dengan cepat. Mataku nyaris tak berkedip menatap tubuh yang nyaris tidak berpakaian yang terus menggoda di depanku.
“Gimana Juragan Adi?” bisik lelaki yang tadi siang datang ke rumahku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak kugubris pertanyaannya karena aku sibuk dengan pemandangan yang sudah lama tidak aku dapatkan dari istriku di rumah.
“Juragan Adi mau booking lagi?”
Kali ini pertanyaannya membuatku menoleh ke arahnya. Kulihat dia tersenyum penuh misteri sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya bersamaan. Aku paham maksudnya dan segera kukeluarkan satu gepok uang dari dalam tas selempangku dan melemparnya ke meja.
“Juragan Adi tunggu di sini.” Lelaki itu pergi ke belakang panggung dangdut yang tak seberapa besar.
Dangdut keliling ini memang sering mengadakan pertunjukkan di pelosok kampung. Terkadang mereka disewa untuk mengisi hiburan di tempat hajatan. Kalau tidak ada yang mengundang, mereka akan keliling dari kampung ke kampung bahkan ke luar daerah dan membuat panggung dadakan sederhana agar orang banyak bisa menonton. Mereka akan menerima saweran dari para penonton yang menyukai penampilan para penyanyinya.
Beberapa kali aku menyaksikan pertunjukkan grup musik dangdut ini. Selain suara penyanyinya yang merdu, penampilan mereka juga lebih berani dibanding penyanyi dari grup lain. Meski banyak yang menyukai, para penyanyi ini mempunyai musuh abadi yang tidak bisa dianggap remeh. Para istri adalah musuh yang tidak bisa dianggap ringan. Sering mereka harus mengakhiri pertunjukkan karena para istri mengamuk mencari suaminya.
Untung aku selalu melarang istriku untuk keluar rumah sendiri. Sejak menikah, Nana, istriku selalu menurut semua perintahku. Namun, akhir-akhir ini dia membuat aku sering naik darah. Istriku itu sudah berani ikut mengatur pabrik dan mengawasi keluar masuk barang dengan ketat. Tentu saja ibu dan saudara-saudaraku keberatan.
“Juragan Adi.” Tepukan di bahu membuatku tersentak.
Aku menoleh dan tersenyum lebar kepada sosok seksi yang sejak tadi sudah membuat sistem syaraf di tubuhku berantakan dan hampir tidak bisa kukendalikan.
“Juragan kangen Ika, ya?” Suaranya yang manja mendayu seperti sebuah oase di padang gurun memenuhi jiwaku yang kering kerontang.
Gadis cantik dengan penampilan sangat seksi itu mendekat dan meletakkan tangannya di pundakku. Tanpa diduga, dia duduk di pangkuanku dan tangannya bergelayut manja di leherku.
“Maaf, Juragan. Ika capek seharian nyanyi sambil joget. Boleh, kan, Ika duduk di sini?”
Aku hanya terdiam sambil tidak melepas pandanganku darinya. Tangan gadis yang usianya kuperkirakan hanya berbeda beberapa tahun dari putri sulungku itu, mulai bergerilya menyentuh beberapa bagian tubuhku yang membuatku semakin bergejolak.
Napasku mulai tersengal seperti pelari maraton yang kehausan. Dadaku turun naik dengan cepat dan berkali-kali aku menelan air liurku sendiri. Jari tanganku meremas-remas telapak tanganku sendiri karena gemas melihat dadanya yang bulat dan tampak kenyal. Meski sudah beberapa kali melihat Ika tanpa busana, aku tetap saja penasaran melihat dadanya yang bulat dan padat yang menyembul keluar dari bajunya yang ketat dan sangat minim itu. Tidak seperti milik istriku yang sudah seperti balon kehabisan udara saat aku remas.
Baju Ika yang sangat ketat dan terbuka di bagian atas seperti sengaja memperlihatkan dadanya yang padat seperti buah melon berukuran sedang. Aku membayangkan pasti sangat manis rasanya seperti buah melon yang tadi siang aku makan. Buah melon yang padat dan dalamnya berwarna putih kekuningan, persis seperti kulit tubuh Ika. Aku masih ingat setiap gigitan saat aku menikmati buah melon tadi siang. Terlihat keras saat dibuka, tetapi saat kita gigit daging buahnya sangat kenyal dan renyah. Saat mengunyah, cairan manis keluar dari daging buahnya. Mulutku pun terasa penuh dan segar bahkan cairan manis itu ada yang mengalir ke luar mulutku. Manisnya pun sampai sekarang masih terasa di lidahku.
Seperti sengaja, Ika semakin menekan dadanya ke dadaku. Dia pasti merasakan detak jantungku yang sudah tak beraturan. Senyum Ika mengembang karena melihat wajahku yang mulai memerah dengan napas tersengal-sengal.
“Juragan pegang sini, nanti kalau Ika jatuh, gimana?” bisik Ika dengan manja di telingaku sambil meraih tanganku dan meletakkan di pahanya.
Aku tahu dia sengaja berbisik tepat di telingaku agar wajahku tepat berada di depan sepasang buah melon miliknya yang siap disantap. Pahanya yang mulus bagai jalan tol yang baru diresmikan itu membuat aku gemas. Aku meremas pahanya perlahan sambil berusaha menekan gejolak yang makin membara di dalam diriku.
“Ih, Juragan. Pelan-pelan, sakit tahu.” Dengan manja, Ika mencubit pipiku sebagai balasan karena aku meremas pahanya barusan.
Melihat reaksinya, aku semakin berani bergerilya ke dalam rok mininya yang ketat. Pahanya yang mulus mengingatkan aku pada saat aku memilih pisang untuk kujadikan keripik. Kulit mulus dan licin tidak bernoda serta kencang dengan daging buah yang padat adalah pisang dengan kualitas terbaik. Pisang juga tidak boleh terlalu tua dan terlalu muda. Pisang yang terlalu tua mudah lembek dan hasilnya tidak bisa kering saat digoreng, sedangkan yang terlalu muda rasanya tidak enak dan cenderung mudah hancur saat proses pengolahan.
Tanganku terus meraba pelan sambil merasakan kulit Ika yang halus. Sehalus kulit pisang yang kencang dan tak bernoda. Aku dapat merasakan padatnya daging buah pisang saat aku meremas pelan untuk memastikan kualitas pisang yang akan kuolah. Aku harus memastikan pisang belum matang. Pisang yang sudah agak matang cenderung berlendir dan akan sulit saat diserut. Sementara itu, pisang yang masih sangat mentah akan mudah patah ketika proses menyerut karena daging buahnya tidak terlalu padat. Aku suka memegang paha Ika yang sangat cocok dengan seleraku. Kulitnya yang bersih, kencang membalut pahanya yang padat dan sangat pas ditanganku. Di mataku, Ika seperti pisang dengan kualitas terbaik yang siap diolah kapan pun.
Belum puas tanganku menyentuh bagian tubuhnya yang lain, tiba-tiba nama Ika dipanggil untuk tampil lagi di panggung.
“Kita lanjutkan nanti, ya, Juragan.” Ika pergi setelah mengecup pipiku.
Rasanya aku ingin menahan dia dan segera membawanya ke mana pun agar aku bisa segera ‘mengolahnya’.
Malam semakin larut, pertunjukkan pun akan segera berakhir. Aku masih menunggu dengan sabar gadis yang sudah membuat semua organ tubuhku bereaksi itu.
Sekilas aku ingat kejadian di rumah tadi siang. Hampir saja hal itu membuatku kehilangan selera. Namun, melihat Ika beraksi di atas panggung gairahku bangkit kembali.
Hari ini istriku berbuat ulah lagi setelah berkali-kali aku peringatkan jangan terlalu mencampuri urusan pabrik. Ibu dan kakakku datang ke pabrik dan mengadu kalau ditagih uang karena mengambil keripik pisang dari pabrik. Berkali-kali aku katakan kalau keluargaku bebas mengambil apa pun dan berapa pun jumlahnya dari pabrik. Namun, istriku selalu mengulangi kesalahannya.
“Juragan Adi. Cepat pulang, Juragan. Ibu belum sadar juga, anak-anak panik dan mau bawa Ibu ke rumah sakit.” Seorang lelaki paruh baya yang bekerja di pabrikku datang dan merusak suasana hatiku yang sedang bahagia.
“Aku enggak peduli! Mati juga aku enggak peduli! Antar saja ke kampungnya, biar diurus keluarganya yang miskin di sana!”
Lelaki paruh baya itu terdiam mendengar kata-kataku.
“Juragan … Juragan mabuk, ya? Kita pulang saja, Juragan. Kasihan anak-anak, Juragan.” Lelaki paruh baya itu ingin menarik tanganku, tetapi aku dorong tubuhnya hingga terjungkal.
Aku memang sudah minum beberapa botol bir, tetapi aku yakin masih sadar sepenuhnya.
“Aku enggak mabuk! Lancang kamu, Tarjo! Pergi sekarang atau aku pecat kamu!” Ancamanku membuatnya tidak berkutik dan segera meninggalkan tempat pertunjukan musik dangdut.
Hampir lewat tengah malam, saat pertunjukkan musik dangdut benar-benar berhenti. Aku masih menunggu Ika di warung dadakan yang sengaja disediakan oleh pemilik grup musik dangdut ini. Aku menghabiskan satu botol bir lagi dan membayar semua makanan dan minuman yang aku habiskan.
“Juragan masih nunggu, Ika?” Ekspresi kaget dari wajah Ika terlihat sangat jelas kalau dia berpura-pura, tetapi aku pura-pura percaya kalau dia terkejut melihatku masih menunggunya.
Aku tersenyum dan mencubit gemas pipinya, “Iya, Sayang. Aku akan mengantarmu pulang.”
“Serius, Juragan?” Mata Ika terbelalak agar tampak kaget, tetapi aktingnya sangat buruk. Aku tahu betul kalau dia juga ingin aku antar pulang.
“Kita pulang sekarang, ya. Takut kemalaman nanti,” ajakku yang disambut semringah Ika.
Tangan Ika segera melingkar di lenganku. Dia berpamitan kepada beberapa temannya yang sedang menunggu tim yang lain memberesi panggung dadakan mereka.
Di mobil, tangan Ika tidak pernah jauh dari pahaku. Sesekali dia sengaja menyentuh bagian yang sensitif di antara pahaku. Sentuhan-sentuhan Ika membuatku tidak sabar ingin menikmati manisnya buah melon dan mengolah pisang yang sangat berkualitas menjadi hidangan yang nikmat.
***
Lima hari sudah Adi tidak pulang ke rumah. Adi menyerahkan urusan pabrik kami kepada orang kepercayaannya, Tarjo. Aku sama sekali tidak boleh ikut campur apa pun yang terjadi. Namun, hari ini Tarjo memintaku datang ke pabrik karena ada masalah dengan kakak iparku.
Tadinya aku ragu karena tubuhku masih belum pulih benar. Kakiku masih belum bisa berjalan normal karena tendangan Adi beberapa hari yang lalu mengenai tulang panggulku. Akibatnya aku agak pincang jika berjalan karena menahan sakit di sekitar panggul.
“Bu Nana, tolonglah ke pabrik sebentar. Kami tidak tahu harus bagaimana lagi. Kalau dibiarkan, pesanan ke Kalimantan tidak bisa dikirim tepat waktu. Juragan Adi bisa marah besar nanti.”
Kutatap wajah memelas pegawai kepercayaan Adi itu dengan iba. Aku tahu betul posisinya serba salah. Di satu sisi dia harus memenuhi target agar semua pesanan bisa dikirim tepat waktu. Namun, di sisi lain ada perintah dari Adi agar tidak melarang Ibu dan saudara-saudara perempuannya mengambil produk keripik yang siap dijual.
Aku menghela napas dan perlahan bangkit. Andi kutitipkan kepada seorang pegawai yang membantuku membersihkan rumah selama aku sakit. Aku berjalan tertatih menuju pabrik. Dari luar, kudengar suara orang berargumen. Beberapa suara pegawai Adi terdengar sedikit emosi.
“Maaf, Bu. Kita enggak bisa bongkar lagi. Malam ini kami sudah harus sampai pelabuhan karena pesanan ini mau dikirim ke Kalimantan. Kalau dikurangi muatannya, pengiriman bisa tertunda. Juragan Adi bisa marah besar.” Seorang pegawai senior di pabrik keripik suamiku mencoba menjelaskan kepada kakaknya Adi.
“Aku enggak peduli! Aku bilang bongkar, ya, bongkar. Aku juga ada pesanan yang harus dikirim. Kalian bisa menunggu hasil gorengan besok,” kata kakak iparku dengan marah karena tidak seorang pun pegawai pabrik yang mau memenuhi keinginannya.
“Enggak bisa, Bu. Maaf,” ucap pegawai senior itu dengan santun.
“Kalian mau dipecat semua?” Kakak iparku melotot dengan wajah memerah. Tangannya berkacak pinggang sambil menunjuk para pegawai yang sedang menyelesaikan persiapan pengiriman ke Kalimantan.
“Maaf, Mbak Mar. Kasihan kalau mereka harus membongkar muatan lagi. Mereka harus mengirim pesanan tepat waktu kalau tidak mau pesanan dibatalkan.” Aku berusaha memberi pengertian kepada kakak sulung Adi tersebut.
Bukan tanggapan yang baik yang aku dapatkan, Mbak Marliah justru menantang semua orang yang ada di pabrik.
“Ini pabrik adikku! Apa urusanmu melarang aku mengambil keripik pisang. Kamu mau dihajar lagi sama adikku, hah?” Telunjuk Mbak Marliah menunjuk tepat di wajahku padahal jarak kami tidak sampai dua meter.
“Kalau Mbak mau, bisa menunggu besok. Muatan ini sudah harus dikirim malam ini agar tidak tertinggal kapal yang akan ke Kalimantan.” Suaraku masih tetap tenang menghadapi kekasaran Mbak Marliah.
“Aku enggak mau tahu! Aku mau sekarang juga! Kalau tidak, aku akan bilang ke Adi kalau kamu melarang mengambil keripik dari sini.” Mbak Marliah mengancamku sambil berusaha menghubungi seseorang dari ponselnya.
Aku terus membujuknya agar mau menunggu hasil produksi besok pagi sampai mobil boks yang mengangkut keripik bisa keluar pabrik dengan aman. Akhirnya muatan keripik siap berangkat dan aku segera meminta sopir pergi.
“Bu Nana enggak apa-apa kalau kita pergi sekarang?” Sopir tampak ragu meninggalkan aku karena tahu betul apa yang akan terjadi kalau Adi pulang nanti.
“Bapak masih pergi ke luar kota. Semoga pulangnya masih lama. Udah kalian berangkat saja, yang di sini biar aku urus.”
Akhirnya sopir pergi meski Mbak Marliah terus mengumpat dan berteriak-teriak seperti orang kesurupan.
“Yang lain pulang saja. Nanti kalau ada pisang datang, aku akan memberitahu kalian.”
Akhirnya semua pulang karena sudah tidak ada yang dikerjakan di pabrik. Aku memandang gudang kami yang sangat luas, tetapi kosong melompong.
Tiga tahun lalu, pabrik kami tidak pernah berhenti memproduksi keripik pisang setiap hari. Hampir tiga ton pisang mentah kami olah setiap harinya. Gudang pun penuh dengan stok keripik pisang yang siap dikirim ke berbagai kota di Jawa dan luar Jawa. Namun, semua berubah sejak Adi mengenal sebuah grup musik dangdut keliling.
Adi seperti lupa daratan. Suamiku itu akan mengikuti ke mana pun grup itu manggung. Tidak peduli jika harus ke luar daerah kami, Adi akan segera pergi untuk menonton primadonanya.
Masalah bertambah berat dengan kebiasaan ibu mertua dan saudara-saudara iparku yang tidak pernah membayar keripik pisang yang mereka ambil dari pabrik. Setiap aku menegur dan menanyakan pembayaran, mereka akan mengadu kepada Adi. Dulu, Adi masih membelaku karena dia tahu apa yang aku lakukan tidak salah dan demi kelangsungan pabrik kami. Namun, lama kelamaan Adi justru berpihak kepada keluarganya meski itu membuat porak poranda keuangan pabrik kami.
Kakak iparku terdengar sedang bicara di ponsel dengan nada tinggi. Sempat kudengar dia mengatakan kalau aku melarangnya mengambil barang tanpa alasan. Aku menggeleng mendengar ocehannya. Aku sudah tahu siapa yang sedang ditelponnya. Tanpa menunggu lama, aku berjalan pelan kembali ke rumah.
Tidak kupedulikan Mbak Marliah yang masih terus mengadu dan memfitnahku. Bagiku hal itu sudah biasa. Meski mereka tahu apa yang akan terjadi kepadaku jika Adi pulang nanti, mereka tidak peduli.
Hidupku sudah seperti di neraka. Menghadapi suami yang sudah tidak menganggapku sebagai istri, keluarga ipar yang selalu memfitnah, pabrik yang sudah di ambang kebangkrutan, dan anak-anak yang masih di bawah umur, membuatku seperti terhimpit dinding dari semua penjuru.
Satu-satunya penghiburan dan kekuatan adalah empat anakku. Mereka yang selalu memberi semangat agar aku tidak putus asa. Walau terkadang mereka meminta untuk pergi dan pulang ke rumah orang tuaku agar aku tidak terus menerus disakiti Adi.
Dua hari kemudian, Adi pulang. Tanpa basa basi, dia menghampiriku yang sedang menyiapkan makan untuk anak-anakku. Di depan keempat anakku, tanpa segan dia menarik rambut dan melempar tubuhku hingga kepalaku menabrak dinding dengan keras.
Ratri berteriak memohon agar bapaknya menghentikan tindakannya yang brutal. Namun, Adi tidak peduli. Seperti orang kesetanan dia terus menghajarku dan tidak memberiku kesempatan untuk bicara.
“Bapak, jangan pukul Ibu! Berhenti, Pak!” Dua anakku berusaha melindungiku dari amukan Adi. Sementara itu, Inaya dan Andi menangis histeris melihat Adi yang tidak berhenti mendaratkan tangan dan kakinya ke tubuhku dengan beringas.
Adi menarik tubuh Ratri dan Inaya yang kurus dan melemparnya sembarangan agar menjauh dariku. Meski sering melihat tubuhku penuh luka, anak-anakku hampir tidak pernah menyaksikan langsung perbuatan brutal Adi. Ini adalah pertama kali mereka melihat langsung perbuatan Adi kepadaku. Biasanya aku akan meminta Ratri membawa adik-adiknya ke kamar dan mengunci pintu sampai aku memanggil mereka keluar.
Teriakan dan tangisan empat anak kami yang terus memohon Adi agar menghentikan kebrutalannya sama sekali tidak digubris. Aku sudah tidak mempunyai tenaga untuk sekadar bersuara. Rasa sakit akibat perbuatan Adi seminggu yang lalu saja belum sembuh benar, aku sudah harus merasakan kerasnya tangan dan kaki Adi kembali.
Suara anak-anakku perlahan menghilang. Gelap mulai menyelimuti pandanganku. Tubuhku tidak bisa merasakan apa-apa. Hanya dingin yang mulai menjalar pelan dari kakiku menuju bagian tubuhku yang lain. Tangan dan kaki Adi yang masih terus mendarat di tubuhku dengan kekuatan penuh, tidak lagi aku rasakan. Hanya dingin yang kini membalut seluruh tubuhku dari kaki hingga kepala.
Perlahan mataku terbuka karena ada cahaya silau yang memancar dari jauh. Aku bangun pelan-pelan dan kembali menemukan diriku berada di tengah jalan yang tak berujung di kedua sisinya. Tidak kurasakan sakit di tubuhku, begitu juga rasa dingin yang tadi hampir membuat tubuhku beku sudah berganti dengan kehangatan. Ingin aku melangkah mengikuti cahaya silau yang berada di salah satu sisi, tetapi aku ragu jika harus melangkah sendiri. Aku mencari anak-anakku, tetapi hingga tubuhku lelah dan lemas mereka tak kutemukan juga. Aku terduduk pasrah dan kembali berbaring di tengah jalan berbatu yang tak berujung dengan mata tertutup.
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel