Bab 2 Harapan
Saat, Shima dan suaminya masuk ke rumah utama yang pintunya selalu terbuka. Shima menatap kagum rumah itu. Ada foto keluarga Kiai Muflih menempel di dinding. Kaligrafi dan gambar kabah mengapit di sisi kanan dan kirinya foto keluarga. Jam kayu ukir berdiri gagah dengan angka tulisan arab, Shima terpikir untuk mendekorasi rumahnya yang masih polos seperti rumah mertuanya. Fa’al pun kemudian mengucapkan salam kepada penghuni rumah yang tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing.
“Assalamu’alaikum …,” ucap Fa’al dan Shima yang disambut dengan tatapan ramah. Faiz kakaknya Fa’al yang sedang berbincang dengan istrinya di sofa langsung bangkit sambil menjawab salam.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah, masyaallah pengantin baru sudah datang. Sarapan bersama sudah bisa di mulai, nih,” jawab Faiz antusias, bahkan sampai memeluk Fa’al. “Ayo, silakan duduk dulu,” sambung Faiz sekaliguas mempersilakan adik iparnya duduk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Masyaallah, Kak Risti, sedang hamil?” tanya Fa’al kaget karena ia melihat buku pemeriksaan kandungan yang di pegang kakak iparnya. Sudah satu tahun lebih sang kakak ingin memiliki anak dan tahun ini bertepatan dengan beberapa hari ia menikah kakak iparnya juga mengandung.
“Iya, alhamdulillah.” Risti menjawab dengan melirik sebentar ke arah adik iparnya. Ia lalu menyapa istri Fa’al dengan saling cipika cipiki.
“Selamat ya, Kak, Bang. Barakallah untuk antum semoga janinnya senantiasa diberikan kesehatan.” Setelah mengatan itu, Fa’al lalu duduk di samping istrinya.
“Terima kasih,” kata Risti sembari tersenyum tanpa melihat wajah Fa’al.
“Masyaallah, selamat ya, Kak. Semoga lancar selama proses kehamilannya, barakallah, Kak.” Shima pun ikut memberi selamat.
“Terima kasih, semoga anti juga segera menyusul, ya,” ucap Risti tersenyum lembut menatap Shima.
“Amin,” ucap Shima sembari tersenyum menatap Risti meski hatinya terasa ada yang sakit.
Melihat raut wajah istrinya berubah murung, Fa’al buru-buru menggenggam tangan Shima dengan erat seakan memberi kekuatan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Masyaallah … Adik ipar, apa kabar?” Pertanyaan itu mengalihkan fokus Shima yang mendadak murung. Itu adalah Amirah, Kakak perempuan Fa’al. Ia baru menenangkan bayinya yang menangis. Bayi perempuan gembul yang baru dua bulan itu terlihat menggemaskan, Shima langsung menghampiri Amirah sembari menjawab pertanyaan kakak iparnya, “alhamdulillah, Shima baik, Kak.”
“Kak, boleh Shima gendong?” tanya Shima berharap bisa menggendong bayi gembul itu.
“Boleh, dong,” jawab Amirah sembari memberikan bayi perempuannya, sedangkan Shima mengulurkan tangan meraih bayi itu untuk digendongya.
Shima memerhatikan bayi gembul nan menggemaskan itu. Ia mengajaknya berbicara dan bayi itu merespon dengan celotehan ala bayi yang tidak di mengerti Shima, tetapi tetap saja Shima dan bayi itu tertawa.
Tiba-tiba, Shima terbersit jika suatu hari dirinya masih belum mampu melayani suaminya. Bagaimana kalau sang suami menikah lagi, sedangkan dirinya merawat bayi suaminya dengan wanita lain. Shima tertegun, lalu menghampiri suaminya dan menitipkan bayi keponakannya itu.
“Mas, nitip dulu ya, Adek, mau ke kamar mandi.” Setelah pamit, Shima langsung berlari masuk toilet setelah sebelumnya diberi tahu oleh asisten rumah tangga letak kamar mandinya. Shima baru pertama kali berkunjung ke rumah utama karena setiap anak-anak dari Kiai Muflih memiliki rumah di area pesantren dan wajib mengajar kecuali anak perempuan yang akan dibawa suaminya. Ia pun langsung menempati rumahnya di dekat asrama putri bagian utara sepulangnya dari bulan madu.
Air mata itu kembali berderai di kedua pipi Shima. Rasanya begitu menyesakkan dada, Shima menarik napas biar lebih baik. Ketukan di pintu menghentikan tangisnya yang sesenggukan, Shima sangat kaget dengan segera mencuci wajahnya dengan sabun cuci tangan.
“Dek …,” panggil Fa’al membuat Shima yang panik segera keluar sambil mengelap wajah dengan tisu. “Lama banget di toiletnya, Aba sama Uma udah ngajak makan dari tadi,” ucap Fa’al menatap waha Shima yang terlihat sembab.
“Kamu kenapa, Dek?” Fa’al segera bertanya karena khawatir melihat istrinya seperti baru selesai menangis.
“Adek, nggak apa-apa, Mas. Tadi sembelitnya tiba-tiba kambuh,” jawab Shima sembari tersenyum. Ia kemudian meraih tangan suaminya sambil mengajak jalan ke ruang makan yang sudah disiapkan. “Ayo, Mas, tadi katanya sudah di tunggu Uma sama Aba.” Shima tidak menyangka kalau dirinya sudah lama berada di kamar mandi itu.
Lagi-lagi Shima terkagum-kagum dengan dekorasi rumah utama Kiai, meskipun banyak cerita yang menarasikan bahwa pondok itu tempat di mana santriwati menjadi ART gratis. Namun, di sini di pondok pesantren mertua Shima tidak ada santriwati yang dilibatkan dalam mengurus rumah tangga Kiainya. Jika pun ada kegiatan melatih santri mandiri agar bisa segala macam, itu bagian dari Pendidikan dan dilakukan diluar rumah Kiai. Santri belajar mencuci, mengepel dan memasak sendiri itu untuk kepentingan dirinya sendiri bukan untuk Kiainya.
Ruang makan ini terlihat terang dan luas. Ada jendela besar yang membiarkan cahaya pagi masuk, menciptakan suasana hangat dan cerah. Meja kayu jati persegi panjang terletak di tengah. Kursi kayu sebanyak 12 buah mengelilingi meja itu seperti ruang rapat. Empat-empat dan dua-dua saling berhadapan.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya