Novel : Love and Cupcake (Part 1)
“Cupcake, Ki.”
Aku sedikit tersentak mendengar suara yang begitu kukenal. Entah berapa lama aku menelungkupkan kepala di meja, sampai-sampai aku tidak menyadari keberadaan Ryu, padahal biasanya wangi parfumnya tercium dari jarak beberapa meter. Aku tidak memberitahu Ryu kalau aku sedang menyendiri di sini, tapi lelaki itu seolah-olah selalu tahu keberadaanku.
Wajahnya terlihat meminta penjelasan begitu aku mengangkat kepala lalu mengusap sisa air mata. Giliran sorot mataku yang meminta penjelasan mengapa dia menyusulku ke sini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tadi aku lihat kamu keluar buru-buru dari kelas, kayaknya nggak sadar kalau aku juga keluar dari kelas sebelah. Mau kupanggil, tapi mukamu kelihatan nggak enak. Jadi kuikuti aja, taunya nangis lama banget di sini,” kata Ryu.
“Terus kenapa bawa cupcake?” tanyaku.
“Katanya makan manis bisa ngurangin sedih. Pas tadi ada di toko depan kampus juga, sih.”
Mau tidak mau aku tersenyum. Ryu sungguh. Sayang sekali dia belum punya pacar.
“Jadi ….” Aku menarik napas panjang, mengembuskan pelan-pelan, berulang-ulang. Rasa nyeri kembali hadir, mataku kembali memanas, sebentar lagi bulir hangat pasti meluncur keluar, sedangkan napasku sudah sesak akibat terlalu banyak menangis. Ryu bersedekap, terlihat sabar menungguku melanjutkan cerita.
“Tadi sebelum kelas mulai, mamanya Alan nelpon aku. Panjang banget omongannya. Intinya beliau minta Alan sama aku putus.”
Air mataku kembali merangsek keluar, dan Ryu sama sekali tidak bersuara, seperti biasanya ketika dia mendengarkanku bercerita sampai tuntas.
“A-aku … sebenernya nggak papa putus, Ry. Cuma omongan mamanya tuh bikin sakit hati banget tau nggak sih?!”
“Ngomong apa?”
“Beliau lihat aku keluar dari bar, pake seragam kerja. Terus nuduh aku macem-macem. Pas aku jelasin kalo aku kudu kerja karena kedua orang tuaku meninggal gara-gara kecelakaan, dan cuma di bar aku bisa dapet kerjaan cepet sama gaji lumayan, ya ampun … mulutnya makin tajem. Katanya, perempuan kayak aku yang udah nggak ada walinya, nggak jelas pengawasannya, nggak pantes deket sama anaknya.”
Aku membersit ingus lalu meminum air yang disodorkan Ryu. Ryu menarik napas panjang. Dia paham bagaimana selama ini aku berjuang. Setelah berangsur-angsur tenang, kumakan cupcake yang diberikan Ryu tadi.
“Enak,” kataku.
“Soalnya laper,” sahut Ryu.
Aku tertawa kecil. Mataku bengkak, dan akan terlihat sipit jika tertawa.
“Besok ke salon, ya,” lanjut Ryu.
“Ngapain?” tanyaku.
“Potong rambut.”
“Bagusan panjang gini.”
“Buang sial. Kata orang-orang kalo habis putus tuh potong rambut.”
“Dasar musyrik! Percaya tuh sama Tuhan, bukan sama omongan orang.”
“Beda konsep, dodol!” Ryu mengacak rambutku. Kami tertawa bersama. Seketika hatiku terasa lega.
Tidak mudah hidup sendiri setelah kedua orang tua berpulang. Jika ada yang bertanya di mana keluarga yang lain? Membantu sekali dua mungkin bisa, tapi ada pasangan atau anak yang siap-siap mengingatkan jika bantuan itu dirasa berlebihan. Semacam perasaan; ingat-kalau-masih-punya-keluarga-inti-dan-Akira-cuma-keponakan. Maka, bar yang berjarak sekitar satu jam dari kampus itu menjadi pilihan utama. Tinggal skripsi, memang, tapi justru pengeluaran sedang banyak-banyaknya.
Aku tidak menyalahkan orang tua Alan, pun tidak menyesalkan sikap Alan yang terkesan tidak membelaku. Balasan singkat kuberikan ketika Alan menjelaskan panjang lebar mengapa orang tuanya bersikap demikian dan mengapa dia memilih untuk menuruti kehendak mamanya. Takdir sudah mengajarkanku untuk menerima, tidak perlu melawan, karena terlalu melelahkan. Bangku dan meja kecil di bawah rimbunnya pohon Akasia di salah satu sudut kampus ini menjadi saksi terakhir kali aku bertekad menangis karena laki-laki.
“Ayo kuanterin,” ajak Ryu. Dia berdiri lalu mengulurkan tangan. Kusadari sorot mata Ryu agak berbeda. Banyak teman yang mengolok-olok kami seperti sepasang kekasih, tapi kuyakinkan berkali-kali pula bahwa kami sekadar sahabat. Aku ingin membuktikan bahwa persahabatan lawan jenis itu ada. Namun, sepertinya tekad itu mulai goyah.
“Ry ….”
“Apa?”
Ryu duduk kembali.
“Kamu beneran nggak punya pacar?”
“Kenapa tiba-tiba nanya gitu? Kalo deketin cewek kan pasti aku cerita.”
“Tapi udah lama banget, sejak aku belum pacaran sama Alan, sampe aku putus, kamu nggak pernah keliatan deket sama cewek.”
“Udah kuliah tingkat akhir, Ki. Ngapain pacaran?”
“Yakin cuma karena itu?”
Dengan gerakan cepat Ryu mendekat ke arahku lalu berbisik di telinga, “Nungguin kamu buka hati buat aku.”
Tubuhku terasa membeku sesaat. Laki-laki yang berteman denganku sejak SMA itu segera beranjak sembari berteriak, “Buruan kalo mau dianterin! Tukang ojeknya cuma free sampe jam 4 sore!”
Tiba-tiba seperti ada kupu-kupu di perut. Aku tidak tahu apakah nanti malam akan menangisi lagi nasib percintaanku, yang jelas siang ini hatiku membaik, berkat Ryu.
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel