Novel : Cindur Mata (Part 1)
Aku sudah sering melihat Arka tertawa sendiri dengan alasan yang tidak benar-benar aku tahu. Dia memang mudah terharu meski itu disebabkan oleh naskah drama sedih yang dibacanya. Sekali waktu dia juga akan tertawa puas saat mendengar lelucon sarkastis. Dia senang mencari perhatian sekaligus menikmati kepopulerannya. Wajahnya punya sejuta ekspresi dan terlihat jujur. Aku pastikan dia bukan orang yang pandai berbohong. Itulah alasan yang akhirnya membuatku menerimanya sebagai suami. Meski dia kuliah teater dan pernah menjadi pemain teater dari satu panggung ke panggung yang lain, tapi pada akhirnya memegang kamera dan mengabadikan artis dalam foto-foto terbaiknya dipilih sebagai karier yang digeluti.
“Kenapa?” Tidak biasanya Arka tertawa dan menangis dalam waktu yang bersamaan. Ini pertama kali aku melihatnya.
Dia tidak menjawab, tapi membanjiriku dengan kecupan di pipi, di dahi, di hidung, di bibir, punggung tanganku, dan mendaratkan ciuman terakhir di perut. Sangat lama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepalaku terasa berputar dan aku sangat mual. Kecupan-kecupan yang dilakukan Arka membuatku kegelian hingga melakukan gerakan kecil yang anehnya membuatku semakin pusing dan mual. Arka baru menghentikan kecupannya saat perutku mengeluarkan bunyi kriuk. Aku baru ingat, sebelum terbangun di sini tadi perutku perih sekali.
“Tunggu, ya. Fio lagi beli bubur. Seharusnya sebentar lagi dia sudah balik dengan bubur spesial kesukaanmu,” jelas Arka dengan senyum di bibir yang tak kunjung pudar.
Tanpa menjawab, aku mengedarkan pandangan. Ini bukan ruangan kerjaku. Dindingnya bercat putih dan bau karbol bercampur obat sudah bisa dipastikan kalau ini rumah sakit. Apalagi ranjang yang aku tempati dan tulisan RSIA Ananda yang tertulis jelas di pinggiran selimut dan menutupi setengah tubuhku memperkuat dugaanku. Tapi tunggu, RSIA Ananda? Buru-buru aku menepis pikiranku. Jelas rumah sakit ini dipilih karena yang paling dekat dengan kantorku.
“Congrarulations, Sayang.”
Dahiku berkerut. “Untuk apa? Apa Pak Walikota pada akhirnya memilih Dazzling Queen untuk nikahan anaknya?”
“Bukan.” Tiba-tiba hidung Arka memerah.
Air mata yang tadi mengalir dari ujung matanya dan sempat berhenti, kini kembali membanjiri kedua pipinya. Dengan gerakan tangan dia menghapus air mata itu. Arka tersenyum dan memberi isyarat agar aku menunggu sementara dia melakukan lompatan-lompatan kecil. Ini bukti kalau dugaanku benar, dia seorang sanguine sejati.
“Aku sangat bahagia dan ingin mengabarkan hal ini dengan euforia yang penuh dengan kegembiraan. Jadi, biar aku menyelesaikan tangisku dulu.”
“Oke.”
Arka tidak suka memendam apa pun. Perasaan yang timbul akan diluapkan dalam ekspresi yang berbeda dan harus dituntaskan saat itu juga. Dia tidak suka memendam perasaan terlalu lama. Mungkin itu juga yang membuatnya jarang marah seberapa menyebalkan pun tindakanku. Dia memiliki pelampiasan emosi yang bisa dikatakan aman dari menyakiti orang lain. Ini juga yang dulu memantik dugaanku kalau orang tua Arka pernah belajar psikologi meski pada kenyataannya mereka mengelola toko kain. Buktinya mereka bisa mendidik Arka dengan baik.
Arka berbalik dan berjalan menuju kamar mandi. Biasanya dia akan mencuci muka setelah luapan emosinya mereda. Saat menunggunya kembali aku teringat dengan Nana. Tadi sebelum terbangun di tempat ini, aku tengah bersiap untuk janji temu dengan klien bersama Nana. Meeting terakhir sebelum minggu depan acara Anniversary dari orangtua klienku akan digelar.
Aku melihat ponselku tergeletak di meja dekat ranjang. Meski harus menahan mual yang tiba-tiba menyerang lagi, aku paksakan diri untuk duduk dan meraih ponselku. Belasan panggilan masuk dari Nana. Aku yakin dia mengkhawatirkanku. Karena Arka belum juga keluar dari kamar mandi, aku putuskan menghubungi Nana. Selain tidak mau dia khawatir, aku juga ingin tahu hasil pertemuannya hari ini.
“Mbak. Mbak Karin sudah sadar?”
“Sudah, Na. Kamu pikir yang sedang bicara dengan kamu ini siapa?” Kamu tidak berpikir aku hantu, kan?
“Maksudnya Mbak Karin sudah baikan?”
“Hhhmm. Kamu masih di luar?” Suara latar dari panggilan telepon Nana membuatku berpikir kalau dia belum kembali ke kantor.
“Iya, Mbak,” jawab Nana sambil berbisik.
“Kenapa, Na? Ada yang tidak beres?”
“Anu, Mbak. Ini Bu Rhea minta langsung ketemu sama Mbak Karin. Katanya ada tambahan agenda yang mau dimasukkan untuk acara minggu depan, tapi dia masih butuh konsultasi dulu karena ada beberapa pilihan dan membutuhkan pertimbangan dari Mbak Karin. Mbak Karin bisa ke sini?”
“Bisa. Aku akan ke sana.” Aku melirik jam yang bertengger di dinding sisi kanan ranjangku. Jam 1 siang. Aku tidak tahu pasti berapa lama perjalanan dari rumah sakit ini ke tempat Nana bertemu klienku. Tapi, setidaknya tidak akan memakan waktu lebih dari 20 menit. Rumah sakit ini lebih dekat ke tempat Nana saat ini dari pada dari kantorku. “Yang ngantar aku ke sini siapa, Na?”
“Pak Imam, Mbak. Harusnya dia masih di sana nungguin Mbak Karin. Dia nggak berani balik ke kantor, tapi juga nggak berani masuk rumah sakit. Katanya fobia.”
Sebelum menutup telepon perutku kembali mual. Ada dorongan dari dalam perutku yang seolah minta dikeluarkan.
“Mbak. Mbak Karin nggak apa-apa?”
“Cuma mual.” Aku berusaha menenangkan kekhawatiran Nana, sekali pun rasa mual ini semakin menjadi.
“Memang dokter belum ngasih obat, Mbak? Tadi pagi Mbak Karin bilang, kan, magnya lagi kambuh.”
“Nggak tahu, Na. Aku baru sadar dan belum sempat nanya ke….”
“Siapa?”
Aku mendelik. Arka baru saja mengambil ponselku yang masih tersambung dengan Nana.
“Ka, itu ponselku! Kita sudah sepakat tentang kepemilikan. Kamu ingat?”
Aku berusaha merebut ponselku lagi, tapi Arka mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Jelas itu membuatku kesulitan mengambilnya.
Aku menyibak selimut dan mencoba turun dari ranjang, mengejar Arka. Dia sudah berjalan menjauh dan terlihat menempelkan ponsel di telinganya. Aku terhuyung begitu kakiku menyentuh lantai. Sakit di kepalaku benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Saat bersamaan ada sesuatu yang mendesak dari perutku dan langsung naik ke tenggorokan. Aku tidak bisa menahan lagi saat cairan yang terasa pahit keluar dari mulutku. Aku muntah.
“Kamu bujuk kliennya, Na. Mbak Karin nggak bisa ke sana. Terserah gimana caranya. Mbak Karin harus istirahat dulu dalam beberapa hari ini. Dia sedang hamil.”
Aku mengernyit menatap Arka sambil bersimpuh di lantai. Jelas tadi aku mendengar Arka bilang soal hamil.
Halaman : 1 2 Selanjutnya