Ini Hidupku
Enam orang sudah bersiap melakukan operan jaga ketika jarum jam di dinding menunjuk angka tujuh. Tiga orang perawat dinas malam berdiri di dalam ruang nurse station. Tiga orang yang akan dinas pagi berdiri di depan meja nurse station.
Andika kepala bangsal Cempaka berdiri di dekat pintu nurse station. Pintu itu hanya setinggi pinggang orang dewasa. Pintu itu menjadi pembatas bagi orang yang boleh dan tidak boleh masuk di ruang nurse station.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Karena sudah lengkap kita mulai operan jaganya,” ujar Andika sebelum memimpin doa. Sejenak mereka menundukkan kepala dan menengadahkan tangan, memohon kelancaran tugas.
“Vita, tolong bacakan catatan pengasuhan keperawatan pasien.” Andika memberi instruksi pada Vita setelah mereka selesai berdoa.
Vita yang berada di dalam nurse station meraih berkas rekam medis pasien yang ada di depannya. Kania, Krisna, dan Manda yang akan dinas pagi segera merapatkan badan ke meja. Ada dua papan meja. Satu setinggi dada orang dewasa dan satu setinggi pinggang. Meja itu saling terhubung dan menjadi batas area nurse station dengan area umum di bangsal Cempaka.
“Pasien atas nama Dinar, mengeluh sesak napas. Setelah diposisikan duduk semi fowler merasa lebih nyaman. Nadi 98x/menit, respirasi 22x/menit, tekanan darah 145/85.” Satu persatu Vita membacakan kondisi pasien yang ada di bangsal Cempaka. Kania menatap Vita dengan seksama. Sesekali ia menulis keterangan yang dibacakan teman sejawatnya itu.
Selesai operan jaga di nurse station mereka melangkah menyusuri lorong bangsal masuk ke ruang inap. Ada tujuh ruang di bangsal Cempaka. Masing-masing ruang ada dua tempat tidur. Andika mengetuk pintu sebelum membuka pintu. Tirai warna hijau pupus yang menjadi pembatas area pasien, telah terbuka saat para perawat masuk. Andika menyungging senyum sebelum menyapa pasien. Keluarga pasien segera beranjak dari tempat duduknya, mengangguk pada para perawat.
“Assalamualaikum, selamat pagi.” Andika menyapa pasien dan menyampaikan maksud kedatangannya. Selesai melakukan operan jaga di bangsal mereka kembali ke nurse station. Andika kembali memusatkan perhatiannya pada komputer.
Bunyi bel telepon mengalihkan perhatian Kania pada obat yang sedang ia siapkan. Ia segera meraih gagang telepon.
“Suster, to-tolong! suami saya pingsan!” Terdengar suara keluarga pasien panik.
“Saya segera ke sana, Bu.” Kania menutup telepon dan segera melesat ke sumber suara. Krisna mengikuti di belakangnya. Seorang perempuan tengah panik, menggoyang-goyangkan tubuh pasien. Kania segera menarik perempuan itu agar menjauh dari pasien. Kania menepuk-menepuk dada pasien dan memanggil-manggil nama pasien. “Pak Romi! Pak Romi! Apa yang Bapak rasakan?” Berulang-ulang Kania memanggil nama pasien, tapi pasien tidak memberi respon. Dengan cekatan Kania menarik bantal sehingga kepala dan tubuh pasien sejajar. Ia segera mengecek nadi
Krisan tak kalah cekatan dengan Kania. Ia menurunkan side rail yang berada di kanan kiri tempat tidur. Krisna juga melepaskan head board untuk memudahkan dokter menolong pasien.
Kania menekan tiga jarinya di bagian lateral leher pasien untuk mengecek nadi karotis. Namun, ia tidak merasakan denyut nadi. Gadis itu juga tidak merasakan napas pasien. Kania segera membuka pakaian pasien untuk melakukan kompresi dada. Krisna mamasang alat bantu pernapasan.
“Aktifkan Code Blue!” seru Kania.
Krisna melesat menuju nurse station. Jari lentiknya dengan cepat menekan nomor untuk mengaktifkan Code Blue. “Code Blue, Cempaka 225. Code Blue, Cempaka 225.” Krisana mengirim pesan pada bagian informasi. Selesai mengirim pesan. Ia menarik emergency trolley yang berada di belakang nurse station. Krisna mendorong troli itu menuju bangsal.
Secara bergantian Kania dan Krisna melakukan kompresi. Kurang dari dua menit terdengar langkah berderap. Dokter Rian masuk pertama, disusul tim Code Blue yang lain. “Tim Code Blue datang. Resusitasi kami ambil alih!” seru dokter Rian. Ia segera memberi instruksi pada timnya. Kania dan Krisna menepi untuk memberi ruang pada tim Code Blue.
Di sudut ruang istri Pak Romi masih terisak. Tangannya sibuk menghapus air mata yang tak mau berhenti mengalir, meskipun ia sudah berusaha menahannya. Kania mengambil beberapa lembar tisu di atas meja, kemudian mengangsurkan pada istri Pak Romi. “Terima kasih,” bisik ibu muda itu di sela isaknya. Kania mengangguk dan senyum tulus menghiasi wajahnya. Tangannya mengusap-usap punggung ibu muda itu untuk membuatnya tenang. Kania bisa merasakan kegundahan hati ibu itu. Ia pernah berada di posisinya. Saat itu Kania kebingungan ketika mendapati bapak pingsan karena terjatuh di kamar mandi. Pendarahan di otak membuat bapak terbaring berhari-hari di rumah sakit, sampai akhirnya ia berpulang.
Dokter Rian menghampiri istri Pak Romi setelah resusitasi selesai. “Selamat pagi, Bu,” sapa dokter Rian ramah.
“Ba-bagaimana kondisi suami saya, dokter?” tanya istri Pak Romi terbata.
“Kami sudah melakukan resusitasi pada Pak Romi dan kondisinya sudah stabil. Kami akan kirim Bapak ke ICU untuk memudahkan kami memantau .” Dokter Rian menerangkan kondisi Pak Romi.
Halaman : 1 2 Selanjutnya