BAB 1 | Pengakuan
“Mama habis nonton gosip apa, kok tiba-tiba becandanya nggak lucu gini?” Zoya manatapku tajam. Tatapan yang hampir nggak pernah aku lihat semenjak dia lulus SMA.
“Mama nggak becanda, Nak,” kataku mantap. Aku sengaja menatap matanya balik. Dengan begitu, ia akan tahu kalau aku serius dan tidak ada sedikit pun keraguan dalam mengambil keputusan ini. “Mama hanya pengin kalian tahu lebih dulu ketimbang Papa. Bagaimanapun, keputusan Mama untuk bercerai dengan Papa harus atas persetujuan kalian.”
Zoya, anak gadis kesayanganku yang baru wisuda seminggu yang lalu mulai menangis. Aku membiarkannya melepas kesedihan. Namun, makin lama, tangisannya berubah histeris. Mendengar tangisannya yang khas membuat kenangan burukku bangkit lagi. Sialan! Ya, memang. Trauma membuat hidupku semenyedihkan ini sekarang.
Saat aku ingin merangkul Zoya, saudara kembarnya, Zayn, menepis pelan tanganku. Ia seperti sedang meyakinkanku kalau dirinya lebih bisa menenangkan adiknya. Zayn memang tidak banyak bicara, tapi sebenarnya dia lah yang paling pengertian di keluarga ini. Zayn mengelap air mata Zoya, lalu memeluknya erat. Kemeja putih kesayangan Zayn menjadi tempat penampungan ingus dan air mata Zoya. Jika tidak dalam kondisi seperti ini, aku yakin anak laki-lakiku pasti akan mengamuk.
Sebagai ibu yang, yaaa, mungkin saja egois, aku nggak tahu harus berbuat apa sekarang. Aku hanya bisa beristighfar dalam hati selama menunggu tangis Zoya mereda.
Aku yang mengandung mereka selama 36 minggu. Aku juga yang merawat mereka selama 24 tahun. Jadi, aku hafal betul bagaimana mengatasi anak-anakku ketika mereka sedang syok. Pertama-tama, aku akan membiarkan mereka mencerna apa yang terjadi. Kedua, biarkan mereka melepaskan semua emosinya. Terakhir, berikan mereka waktu untuk menenangkan diri. Sejauh ini, tiga cara di atas cukup ampuh untuk mengatasi syok dan cemas yang mereka hadapi.
Aku mengamati langit kamar ruang keluarga yang warnanya mulai kusam. Lampu down light di sudut plafon berwarna warm white yang membuat ruangan ini terasa lebih hangat. Satu dari empat lampu itu padam. Aku sudah meminta Ardi untuk menggantinya, tapi tidak kunjung diganti juga.
Layar televisi dibiarkan menyala sejak aku membuka percakapan tadi. Aku lupa kapan terakhir kali menghabiskan waktu menonton film berdua dengan Ardi. Suamiku selalu mempunyai alasan untuk menghindar, jika kuminta untuk nonton film bersama. Tentu saja aku tahu alasan suamiku. Itu karena aku sudah bukan lagi bagian dari prioritasnya. Hanya Sepia, kucing oren yang selalu setia menemaniku menonton series drama sampai larut.
“Pernikahan Mama dan Papa, yang menjalani kalian berdua. Aku sebagai anak nggak bisa memaksa Mama bertahan kalau memang Mama sama Papa nggak bahagia,” ujar Zayn membuat lamunanku buyar. Zoya sudah berhenti menangis, tapi napasnya masih terasa sesak. Sungguh, aku tidak tega melihat gadis cantikku sesedih ini. Namun, aku nggak punya pilihan lain. Aku harus segera menyudahi hubunganku dengan Ardi demi kewarasanku sendiri.
Mendengar ucapan abangnya, Zoya langsung menempeleng Zayn. “Bang, lo gila, ya! Lo mau sok bijak mentang-mentang jadi anak paling tua? Lo harus inget, ya! Umur kita cuman beda 5 menit doang!”
Zayn mengusap kepalanya sambil mengaduh. Ia nggak menjawab omongan Zoya yang emosinya sedang memuncak.
“Sayang,” panggilku lirih. “Mama tahu kabar ini terlalu mengejutkan buat kalian. Tapi, sebenarnya Mama sudah memikirkan ini sejak tujuh tahun yang lalu. Mama nggak selingkuh. Papa juga, mama kira nggak selingkuh. Mama cuman merasa kalau hubungan pernikahan kami sudah nggak bisa untuk diteruskan lagi.”
“Kenapa nggak bisa, Ma? Kalian sudah menikah selama 26 tahun. Semua ujian berat sudah berhasil Mama lewati. Tapi, kenapa? Kenapa mama tiba-tiba mau cerai tanpa alasan yang jelas?” Air mata Zoya mengalir lagi. “Kalau bicara soal ketidakcocokan, Zoya pikir, nggak ada manusia di dunia ini yang bisa cocok seratus persen sama pasangannya. Aku memang belum menikah, Ma. Tapi … ayolah, Ma! Usia kalian sudah nggak muda lagi. Aku dan Zayn juga sudah wisuda. Sekarang waktunya Mama sama Papa menikmati hidup kalian berdua.”
Justru itu masalahnya, Zoya. Sayangnya, aku nggak cukup kuat untuk menjelaskan secara detail permasalahan ini. Aku nggak mau anak-anakku membenci papanya. Biarlah mereka tetap menganggap kalau ayahnya merupakan ayah yang baik dan hebat.
Aku masih mengamati mimik wajah kedua anakku. Mereka sama-sama muram. Namun, entah mengapa, aku melihat mimik wajah Zayn yang berbeda. Mungkinkah dia sudah legowo dengan keputusan mamanya?
Zoya menyenggol lengan abangnya. “Bang, minimal lo bantuin gue buat bujuk Mama, deh! Tarik ucapan lo yang tadi! Pokoknya Papa dan Mama nggak boleh pisah! Titik!”
Zayn menghela napas panjang. Aku tahu dia sama terpukulnya dengan Zoya. Aku, pun pengin tahu kenapa Zayn bisa secepat itu mengambil keputusan ketika mendengar orang tuanya berencana berpisah.
“Zoy,” kata Zayn lirih. “Aku juga nggak mau Papa dan Mama pisah. Tapi, kita nggak ada hak untuk memaksa Mama bertahan. Bagaimana kalau ternyata selama ini Mama nggak benar-benar bahagia sama Papa?”
Ya Tuhan!
Zayn, anakku sayang, ucapanmu membuat mama nggak kuasa menahan air mata. Ketika Zoya sudah berhenti menangis, sekarang giliranku yang menangis. Kenapa aku bisa secengeng ini? Kenapa aku bisa nangis hanya karena mendengar dugaan kalau aku nggak benar-benar bahagia?
Zayn dan Zoya memelukku. Mereka mengelus punggungku dengan lembut. Setelah bercerai nanti, apakah anak-anakku masih mau menemuiku? Apakah nantinya mereka akan tetap menganggap aku mama yang baik? Entahlah. Kepalaku terasa berat sekali membayangkan perpisahanku dengan Zayn dan Zoya.
Malam ini, gerimis kecil berubah menjadi hujan deras. Kami semua sudah kehilangan selera menonton film bersama. Sekarang, aku hanya ingin dipeluk anak-anakku lebih lama lagi. Namun, nggak lama kemudian, seseorang membuka pintu samping. Ardi pulang dengan wajah semringah sambil menenteng empat porsi sate kambing favorit Zoya.
Air mataku sudah mengering. Namun, aku dan Zoya tidak bisa menyembunyikan mata sembab kami. Apakah aku harus membuat pengakuan kepada Ardi malam ini juga?