Untuk membaca bagian sebelumnya, bisa klik di sini.
Bu Atikah akhirnya sampai di rumah Fadli dan Faik setelah berhasil menembus keramaian ibukota saat jam pulang kantor. Hari sudah benar-benar gelap.
Begitu turun dari taksi, ia langsung disambut oleh anaknya di pagar rumahnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Mana Faik dan cucuku?” tanya Bu Atikah pada Fadli. Kemarahannya sudah agak meredup. Perjalanan tadi terasa begitu melelahkan baginya. Namun, perjalanan itu juga membuat kepalanya bisa berpikir sedikit lebih jernih.
“Di kamar, Ma.” Fadli menjawab setelah mencium tangan ibunya. Ia kemudian mengambil bungkusan kresek besar yang dibawa ibunya.
Mereka berdua langsung masuk dan menuju kamar utama rumah itu. Di sana, Faik tampak sedang menyusui bayinya.
“Berapa berat badan dan tingginya?” tanya Bu Atikah pada Fadli.
“Beratnya 3,1 kg dan tingginya 51 cm, Ma,” jawab Fadli semangat.
Bu Atikah ikut tersenyum memandangi cucunya itu. Ia lalu menghembuskan napas panjang dan mengajak Fadli untuk keluar dari kamar itu. Fadli kemudian berinisiatif untuk meminta mamanya mencuci tangan dahulu dan bersantai di ruang lain.
“Mama ini tadi langsung ke sini dari Rasa Kampung, Nak. Mama habis berurusan dengan makanan-makanan. Tentu saja tangan Mama harus selalu bersih. Kalau Mama jorok, rumah makan Mama bakal sepi.” Bu Atikah berkelit ketika anaknya memintanya untuk mencuci tangan dahulu.
“Iya, Ma. Rumah makan Mama higienis, kok. Masakannya enak-enak lagi. Makanya enggak pernah sepi. Tapi, Mama tadi ke sini naik taksi, kan? Taksinya itu bekas banyak orang, Ma. Cucu Mama baru lahir, jadi perlu yang bersih-bersih. Tadi, Mira, dokternya Faik, juga bilang kalau kita harus cuci tangan dulu sebelum memegang bayi,” Fadli berusaha menjelaskan dengan sabar.
Bu Atikah mengalah. Ia memilih untuk menuruti saja anaknya. Ia juga tidak ingin cucunya sakit karena dia.
Setelah mencuci tangan, Fadli langsung mengajak ibunya makan dulu. Ia mengajak ibunya untuk turun dan menikmati makanan yang sudah ia pesan untuk makan malam mereka.
“Makan dulu di sini, Ma. Tadi Faik belum sempat masak, jadi aku beli. Rasanya lumayan enak. Tapi ya jangan dibandingkan dengan masakan Mama. Ini cuma masakan warung di dekat sini.” Fadli mempersilakan ibunya untuk duduk dan makan.
“Iya. Mama ngerti kok. Habis lahiran ya mana sempat masak.” Bu Atikah mengambil tempat duduk yang paling dekat dengannya. “Oh iya, Bungkusan yang kamu bawa itu isinya berbagai macam abon, sambal goreng kering, dan keripik tempe. Tadi Mama ambil buru-buru dari Rasa Kampung. Kalau butuh tambahan, nanti Mama bawakan lagi.”
“Wah, terima kasih banyak, Ma.” Fadli langsung membongkar isi bungkusan yang sedari tadi dibawanya.
“Faik kan baru melahirkan. Itu bisa dibuat camilan kalau dia lapar sewaktu-waktu.” Bu Atikah mulai mengambil makanan dan makan. “Kamu sudah makan, Nak?”
“Sudah, Ma,” jawab Fadli sambil menyimpan barang-barang yang dibawakan ibunya ke lemari.
“Kalian sudah menyiapkan semua keperluan bayi kalian, kan?” Bu Atikah berdiri sambil membawa piring bekas makannya ke wastafel tempat mencuci piring.
Fadli segera sigap mengambil alih piring kotor dari tangan ibunya dan mulai mencucinya. “Sudah, Ma. Sebagian besar kebutuhan Ihsan sudah kami beli.”
“Kamu jadi menamai anakmu, Ihsanul Akmal?” tanya Bu Atikah.
“Iya, Ma,” jawab Fadli singkat.
“Sudah beli susu formula juga?” tanya Bu Atikah lagi.
“Sudah Ma. Baru saja tadi aku beli.”
“Baguslah kalau begitu.” Bu Atikah menghirup napas dan menghembuskannya perlahan. “. Mama tahu Faik sangat ingin sekali memberikan ASI eksklusif untuk bayinya. Mama juga tahu kalau ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi. Tapi, saat melihat Faik menyusui bayinya tadi, Mama begitu khawatir.”
“Eh, memang kenapa, Ma?” tanya Fadli yang tidak paham arah pembicaraan Mamanya.
“Dada Faik kecil sekali, Nak. Bagaimana dia bisa mencukupi kebutuhan bayi kalian dengan itu? Ditambah lagi, bayi kalian laki-laki. Bayi laki-laki itu butuh nutrisi yang lebih banyak dari bayi perempuan. Mama enggak mau cucu Mama kekurangan gizi,” jawab Bu Atikah.
Sementara itu, Faik yang baru turun dari tangga syok mendengar perkataan ibu mertuanya itu.
~Bersambung~