Sebelumnya: A Way to Find You (Part 2)
***
BAB 3
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Wajah wanita itu tergambar jelas oleh setiap goresan tangan Bima. Sepasang matanya bulat dan lebar, pipinya agak tembam dengan rona kemerahan, serta kedua belah bibirnya yang berwarna merah ceri tampak penuh dan sensual. Di luar itu, wajah mungilnya terbingkai oleh rambut hitam panjang yang dikepang samping. Ada beberapa kuntum melati menghias alur kepangannya.
Giska baru pertama kali melihat Bima menggambar sedetail ini. Bukannya curiga atau cemburu, ia justru terpesona melihat visual wanita tersebut. “Cantik,” puji Giska lirih. Ia duduk tepat di samping Bima, nyaris menempel pada sang suami. Matanya mengikuti setiap gerakan tangan Bima yang terampil menambah detail warna pada karyanya.
Tiba-tiba, Bima mematikan layar iPad setelah menyimpan data proyeknya.
“Loh, kok udahan?” protes Giska.
“Capek,” sahut Bima singkat. Ia menyimpan alat-alat kerjanya di atas meja, kemudian berjalan ke kamar mandi. Ia sekilas mendengar gerutuan kecewa dari sang istri. Namun, lelaki itu tak menghiraukan. Tidak sampai lima menit, Bima keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar.
“Matiin lampunya sekarang?” tanya Bima.
Giska menjawab dengan anggukan dan meletakkan ponselnya di nakas. Kamar berubah temaram begitu lampu utama dimatikan. Setiap malam, mereka terbiasa mengandalkan lampu tidur yang menempel di dinding samping kasur.
Giska segera memosisikan tubuhnya di sebelah Bima yang kini sudah merebahkan diri. Sepasang suami istri itu tidur berhadap-hadapan. Kedua mata Bima telah terpejam. Selama beberapa detik, Giska memperhatikan wajah suaminya.
Sungguh, dunia memang tidak adil. Kenapa lelaki ini, yang hanya mencuci muka dan memakai skincare seadanya, memiliki wajah yang tampak halus dan bersih? Padahal, Bima sering beraktivitas dan berpanas-panasan di luar sana. Sementara itu, Giska setengah mati menjaga kesehatan kulitnya dengan berbagai perawatan, bahkan sampai harus menjaga pola makan.
Satu tangan Giska terulur. Ia mengusap wajah suaminya dengan hati-hati. Rambut-rambut pendek yang tumbuh di sekitar dagu dan rahang Bima menggesek kasar telapak tangannya. “Mas?” panggil Giska, tahu sang suami belum masuk ke alam mimpi.
“Hm?” sahut Bima tanpa membuka mata.
“Kamu sayang aku, nggak?”
“Sayang.”
Kening Giska kontan berkerut. Bagaimana mungkin ada wanita di dunia ini yang akan percaya dengan jawaban super datar seperti itu?
“Biarpun aku jelek, kucel, jerawatan, kamu bakal tetep sayang?” kejar Giska.
“Iya.”
Giska justru makin cemberut. Jawaban dan tindakan Bima sungguh tidak sinkron. Kalau memang sayang, seharusnya lelaki itu memeluknya sekarang!
Karena tidak tahan, Giska akhirnya mengambil inisiatif dengan bergeser maju, menghapus sisa jarak di antara ia dan sang suami. Perempuan itu menggunakan lengan kanan Bima sebagai bantal. “Peluk,” pinta Giska manja.
Barulah kedua lengan Bima mendekap tubuhnya. Cemberut di bibir Giska menghilang. Ia suka sekali saat menenggelamkan diri di tubuh besar suaminya seperti ini. Perempuan itu menarik napas panjang-panjang, menghirup aroma maskulin yang sangat ia senangi dari tubuh sang suami. Rasanya begitu aman, menenangkan. Dada bidang suaminya sudah seperti rumah paling nyaman baginya.
“Kamu cinta aku, nggak?” tanya Giska lagi.
Kali ini, Bima tidak menjawab.
“Kok diem?” protes Giska, hampir mendorong tubuh suaminya menjauh.
“Kamu nanya aneh-aneh, sih,” sahut Bima sambil mempererat pelukannya. “Udah, tidur!”
Giska mendengus. “Abisnya, kamu duluan yang aneh dari kemarin,” ucapnya kesal. Ingin sekali ia menumpahkan unek-uneknya selama beberapa hari ini. “Kamu sadar nggak, sih? Kamu cuek banget sama aku, Mas. Kalau ditanya, pasti jawabnya irit banget. Malah kadang nggak jawab sama sekali.”
“Nggak, kok,” kilah Bima. “Perasaan kamu aja.”
“Cuma perasaan gimana? Tadi pas aku pamit mau live IG, kamu nggak jawab apa-apa,” tukas Giska, mulai emosi. Ia memukul pelan dada suaminya. “Dari pulang pendakian kemarin, kamu juga belum minta jatah ke aku.”
Mengerti betul maksud ucapan Giska, kini Bima membuka kedua matanya. Apa yang dikatakan sang istri memang benar. Sudah hampir seminggu sejak ia pulang dari Sumbing, tapi ia belum menyentuh istrinya sama sekali tiap malam tiba.
“Nah, baru inget, kan?” ketus Giska. Perempuan itu mendongak menatap wajah Bima. Jantungnya mendadak berdenyut sakit. “Kamu udah nggak cinta, ya, sama aku?” tanyanya dengan suara pecah. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke bawah. Cahaya kuning lembut dari lampu tidur terpantul di bayang bening air matanya.
Tatap nanar sang istri seketika meluluhkan hati Bima. Secercah cahaya berhasil menembus pikirannya yang berkabut sejak beberapa hari terakhir. Ia mendaratkan ciuman di puncak kepala Giska, kemudian turun ke kening dan kedua kelopak matanya. “Jangan nangis,” pintanya lirih.
Kemarahan Giska melunak ketika akhirnya sang suami bersedia memeluk dan menciumnya lagi. Akan tetapi, ia butuh lebih dari itu. Ia merindukan sentuhan Bima di seluruh tubuhnya. Giska kembali mengambil inisiatif dengan menarik kepala suaminya mendekat. “Cium aku, Mas.”
Bima menuruti permintaan sang istri. Kedua bibir mereka pun bertaut. Awalnya hanya saling membelai, tapi semakin lama semakin dalam. Entah sejak kapan, Bima sudah berpindah posisi ke atas Giska. Tempat tidur di sekelilingnya melesak menahan berat tubuh Bima, tapi Giska menyukainya. Ia sama sekali tidak mengeluh saat sebagian beban tubuh sang suami menindih badannya yang ramping.
Satu tangan Bima menelusup ke balik kaus longgar yang Giska kenakan. Telapaknya yang besar dan hangat menyentuh setiap jengkal kulit istrinya. Erangan demi erangan mengisi keheningan kamar mereka malam itu, mengubah udara yang dingin menjadi panas dan penuh gairah.
***
“Sosisnya tiga pack aja cukup nggak, Neng?”
Giska hanya berdiri diam, tidak menjawab pertanyaan sang mertua. Siang ini, ia sedang menemani Kinar, ibunda dari Bima, berbelanja di supermarket. Awal tahun baru tinggal dua hari lagi. Kinar berencana merayakannya bersama keluarga besar, seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Neng?” panggil wanita berdarah Sunda itu kepada menantu kesayangannya.
Giska sedikit tersentak. “Eh, iya, gimana, Mah?”
Kinar tersenyum tipis. “Kok ngelamun? Lagi banyak pikiran, ya?”
“Nggak, kok.” Giska buru-buru menggeleng. “Tadi Mamah nanya apa?”
“Sosisnya kita beli tiga pack aja cukup, kan?” Kinar mengulang pertanyaan yang tadi Giska abaikan.
“Cukup, Mah. Entar tambah daging sama makanan yang lain.”
Setelah memasukkan sosis ke dalam troli belanja, Giska mengikuti Kinar menuju section perdagingan. Lagi-lagi, konsentrasi Giska melayang entah ke mana. Hampir saja ia menabrak salah seorang pegawai supermarket yang sedang menata barang di display. Untung Giska berhasil menghindar di detik terakhir.
“Ati-ati, atuh, Neng,” tegur Kinar.
“Iya, Mah. Maaf.”
Sejujurnya, Giska memang sedang banyak pikiran. Namun, tidak mungkin ia berterus terang kepada sang ibu mertua bahwa penyebabnya adalah putra bungsu beliau.
Giska bingung, amat sangat bingung. Setelah melewati malam yang panas bersama Bima waktu itu, Giska mengira semua akan baik-baik saja dan kembali seperti semula. Sayang, yang terjadi justru sebaliknya. Hubungan rumah tangga mereka semakin renggang, dan sikap lelaki itu semakin aneh dari hari ke hari.
Dulu, Giska selalu mengibaratkan Bima sebagai sinar matahari pagi. Hangat, lembut, dan menenangkan. Namun sekarang, lelaki itu berubah lebih dingin dari kutub utara. Kulkas dua pintu juga kalah, kalau kata orang-orang. Giska sampai berpikir berulang kali, apa ia melakukan kesalahan? Apa pelayanannya di ranjang malam itu kurang memuaskan?
Sampai otaknya buntu pun, Giska tidak ingat kalau dia ada salah pada sang suami. Toh, kalau memang ada, seharusnya Bima bilang saja secara terus terang, bukan malah mengasingkan Giska seperti ini! Giska merasa hidup bersama patung selama lebih dari dua minggu belakangan. Bagaimana mungkin ia tidak frustrasi?
“Ayamnya mending beli yang paha aja, ya, Neng? Lebih empuk.”
“Iya, Mah.” Giska mengangguk, meski sebenarnya tidak begitu mendengar ucapan Kinar.
Acara belanja selesai pukul setengah satu siang. Sebelum pulang, Giska mengajak sang ibu mertua makan di restoran Padang favorit beliau.
“Besok jangan kesorean yang ke rumah Mamah, Neng. Pasti jalanannya macet,” kata Kinar sembari melahap gulai tunjang kesukaannya.
“Iya, Mah. Besok aku mampir bentar ke butik buat fitting baju pesenan. Mungkin jam satu atau jam dua, aku sama Mas Bima berangkat ke rumah Mamah.”
Kinar memahami kesibukan menantunya yang kini tengah berada di puncak karir sebagai seorang influencer. Alih-alih melarang, ia justru mendukung pekerjaan Giska. Ia menyukai sifat Giska yang rajin dan pekerja keras. Terkadang, menantunya itu bahkan lebih sibuk dari putranya.
“Bima belum selesai main futsal?” tanya Kinar.
Mendengar nama Bima membuat hati Giska seolah diremas. Ia harus menggigit ujung lidahnya sejenak untuk mencegah keluhan soal suaminya itu menyembur keluar. Untuk saat ini, Giska tidak mau permasalahan rumah tangganya dengan Bima terendus oleh siapa pun.
“Belum kayaknya, Mah. Mas Bima belum kasih kabar,” jawab Giska sambil pura-pura mengecek ponsel.
“Dasar, anak itu,” gerutu si ibunda. Rumah mereka memang tidak terlalu jauh. Kinar dan suaminya yang pensiunan PNS tinggal di Jakarta Barat. Meski hanya butuh waktu kurang dari satu jam berkendara, ia jarang bertemu dengan putra bungsunya itu. Paling, Bima akan menjenguk mereka satu atau dua bulan sekali.
“Omong-omong, Neng. Kamu sama Bima masih mau nunda punya momongan?”
Pertanyaan kali ini jauh lebih menohok ketimbang pertanyaan soal Bima tadi. Giska sampai kesulitan menelan makanan di mulutnya.
“Maaf, bukan maksud Mamah mau ikut campur atau maksa. Mamah sama Papah sangat menghargai keputusan kalian berdua, kok,” ujar Kinar buru-buru setelah melihat perubahan raut wajah menantunya. “Tapi, waktu itu, teh, kalian kan bilangnya mau nunda. Mamah cuma penasaran aja. Kalau dari segi finansial, sekarang kalian udah cukup. Apa mungkin, ada kesulitan lain yang mau kamu diskusiin sama Mamah? Siapa tahu, Mamah bisa bantu.”
Giska menyedot jus jeruknya sambil memutar otak. Ia dan Kinar memang bisa dibilang cukup dekat. Ibu mertuanya ini baik sekali padanya sejak dulu. Tapi, ia tidak bisa membuka semuanya begitu saja. Giska juga takut salah bicara kalau menyangkut Bima di hadapan sang ibu.
“Nanti aku diskusiin sama Mas Bima dulu, Mah. Mamah tenang aja.” Giska tersenyum lembut.
“Oke, kalau gitu.” Kinar balas tersenyum. “Kamu tahu, Neng? Kehadiran anak bisa jadi perekat hubungan pernikahan. Setiap kalian ada permasalahan rumah tangga, anak bisa jadi penguat untuk ngelewatin masalah tersebut. Mungkin untuk saat ini, kamu sama Bima masih nyaman hidup berdua. Tapi Mamah yakin, kelak kalian akan butuh yang namanya buah hati.”
Giska termangu mendengar penuturan Kinar. Ia pribadi tidak menolak gagasan untuk memiliki anak. Ia bukan penganut prinsip hidup child-free. Hanya saja, waktu awal menikah dulu, ia merasa masih terlalu muda dan ingin menata kehidupan rumah tangga serta karirnya dengan lebih baik. Giska dan Bima akhirnya sepakat untuk menunda.
Sekarang, seperti kata Kinar, bahtera rumah tangga Giska dan Bima sudah jauh lebih stabil setelah hampir lima tahun berjuang bersama. Mereka sudah punya rumah, karir yang mapan, dan tabungan masa depan. Secara fisik, mereka juga dalam kondisi prima berkat pola hidup sehat. Tidak ada lagi alasan bagi mereka untuk menunda lebih lama.
Satu ide mendadak terlintas dalam benak Giska. Mungkin, inilah jawaban atas permasalahan rumah tangganya dengan Bima.
***
Selanjutnya: A Way to Find You (Part 4)