Mobil Abyan memasuki kawasan taman budaya yang berada di daerah Sentul, Bogor. Setelah memarkirkan mobilnya, dia berjalan cukup jauh menuju salah satu kafe yang berada di area bagian belakang tempat tersebut.
Dia sudah memiliki janji dengan seseorang di sana. Terik matahari masih cukup menyengat padahal waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Abyan merasakan tubuhnya yang sedikit berkeringat terasa lebih segar begitu memasuki sebuah kafe. Tempat tersebut didesain dengan menggunakan konsep interior industrial, yaitu sebuah konsep yang menggabungkan estetika interior dengan fungsi industri. Gaya interior ini awalnya dikembangkan di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19, dan saat ini sedang menjadi tren di berbagai negara.
Pembangunan kafe ini biasanya menggunakan material yang tahan lama seperti besi, batu bata, karet, dan kayu sehingga membuat ruangannya terasa sederhana, tapi tetap modern. Seperti tempat yang dimasuki Abyan sekarang, separuh dindingnya terbuat dari batu-bata yang dibiarkan tanpa semen. Sisanya berupa jendela-jendela kaca besar sehingga tidak membutuhkan banyak penerangan. Meja-meja kayu berbentuk persegi memenuhi ruangan. Berbagai macam bunga gantung yang berjuntaian menghiasi balkon di lantai 2, menambah suasana kafe lebih terkesan asri dan sejuk.
Abyan mengedarkan pandangan ke seisi ruangan. Kemudian matanya berhenti pada sosok perempuan kisaran usia 25 tahun. Rambutnya yang baru diwarnai itu terurai melewati bahu, sangat cocok dengan kulitnya yang mulus.
Demi Tuhan, Abyan tidak bisa membohongi dirinya kalau perempuan itu, sudah memikat. Sikapnya yang sering bermanja-manja kerap membuat lelaki itu menyerah untuk mengatakan tidak atas semua permintaannya. Seperti kali ini, dia harus rela memangkas waktu meeting-nya di kantor karena harus berbagi waktu untuk sekedar memenuhi permintaannya bertemu.
Perempuan yang suka sekali menonjolkan keindahan bentuk bahu serta collarbone-nya itu melambaikan tangan ke arah Abyan. Rupanya dialah yang tengah dicari pengusaha yang mulai diperhitungkan di dunia business consultant ini.
“Hai, Mas! Susah, ya, nemu kafenya?” Dia menyambut dengan senyuman.
Abyan ikut tersenyum. “Itung-itung olahraga sore, lumayanlah keringetan dikit,” ujarnya sembari mendaratkan bokongnya pada kursi yang berada di sisi kiri meja.
Perempuan itu langsung menawarkan tisu karena melihat masih ada sisa-sisa peluh di pelipis Abyan.
“Thanks!”
“My pleasure, Mas. Eh, iya, aku udah pesenin iced caramel macchiato, ya. Kulihat cuacanya lumayan panas, jadi kepikiran buat pesan kopinya yang dingin-dingin. Nggak apa-apa, kan?”
Abyan menatapnya cukup lama. Ada rasa berbunga-bunga yang menyelimuti hatinya karena perempuan ini sampai bisa sedetail itu memperhatikan kesukaan dan kondisi dirinya saat ini.
“Aku juga sekalian pesan buttermilk waffles less sugar. Kamu kan, nggak terlalu suka manis.” Dia membalas tatapan Abyan sembari kembali memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi.
Karena khawatir terhanyut terlalu jauh, Abyan segera memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Ini langkah antisipasi dia, sebelum sel-sel syaraf mengirimkan informasi sensorik tersebut ke otak dan menyimpannya sebagai kenangan indah. Sesuatu yang sekarang sangat sulit dia dapatkan dari Ayyara.
Kemudian, keduanya menikmati hidangan sore itu sambil mengobrol santai. “Mas, aku kan, sudah ikutin semua saranmu. Ternyata benar, lho … para karyawan itu jadi lebih efektif kerjanya,” ujar Lidya. Sembari menyuap sepotong waffle ke mulutnya, wanita ini menatap Abyan.
“Oh, ya? Bagus dong … berarti aku udah nggak perlu lagi sering-sering datang ke tempatmu,” tanggap Abyan. Dia tidak membalas tatapan mata Lidya, melainkan fokus pada jam yang melingkar di tangannya.
“Ih, kok, gitu? Nggaklah … kan, permasalahan yang lain masih banyak,” ucapnya sedikit merajuk.
Abyan tersenyum kecil. “Ya, masa semua-muanya harus aku yang mikirin. Terus, kerja kamu apa?” Dia sekilas menatap Lydia. Perempuan itu ternyata masih betah memandangi wajahnya.
“Kerjaan aku, mikirin kamu,” ucapnya manja.
Abyan menahan senyumnya. Kalimat itu terdengar menggelikan, tapi dia tetap menyukainya. Lelaki ini jadi teringat masa-masa awal pernikahannya dengan Ayyara. Seketika itu juga, bayangan sang istri berkelebat di benaknya.
Kemudian, dia kembali melirik jam di tangannya, saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 15:50.
“Mas, kenapa, sih, dari tadi lihatin jam terus?” protes Lidya dengan bibir mengerucut.
“Li, aku kan sudah bilang, untuk sementara, kita nggak usah ketemuan dulu.” Abyan menyelesaikan tegukan terakhir kopinya, tanpa menjawab pertanyaan Lidya.
“Tapi, Mas … aku butuh kamu,” rengeknya.
“Aku tahu, tapi kondisi Ayyara saat ini lebih butuh perhatianku. Nggak mungkin sering-sering aku tinggal. Ini aja, beberapa project perusahaan aku kasih ke Hardi biar di-take over.”
Lidya menghela napas panjang sambil memutar bola matanya lalu memalingkan wajah.
“Please, Li, ngertiin keadaan aku sekarang.”
“Tapi keadaan aku juga mendesak, Mas!” Lidya sedikit meninggikan suara.
Abyan langsung menengok ke kiri dan kanan ruangan. Dia khawatir kalau pembicaraannya itu menarik perhatikan pengunjung lain.
“Li, ngomongnya pelan-pelan aja! Entar, dikiranya aku ngapa-ngapain kamu,” ujar Abyan dengan suara setengah berbisik.
“Lagian, kamu, sih. Ingat, ya, Mas! Kamu udah janji sama almarhumah Ibuku,” ancamnya.
“Aku tahu dan aku nggak pernah mengingkari janji. Kamu nggak usah khawatir. Aku cuma minta kamu sedikit bersabar, itu aja!”
Abyan lalu berdiri. “Aku nggak bisa lama-lama, mau jemput Ayyara. Tadi pagi, dokter udah bolehin dia keluar dari rumah sakit,” ujarnya, “aku pamit, ya. Nanti, kita janjian lagi aja.”
Lelaki itu berlalu begitu saja tanpa menunggu reaksi darinya. Sesaat sebelum keluar kafe, ujung matanya menangkap seseorang seakan tengah memperhatikan dirinya. Dia pun menolehkan kepala, tapi mungkin hanya perasaannya saja karena tak ada satupun pengunjung yang memperhatikan dirinya.
Sedangkan Lidya, hanya bisa menatap punggung Abyan yang bergerak menjauh sembari menggerutu. Pikirannya penuh dengan rencana dan strategi baru untuk memenangkan hati lelaki beranak dua itu seutuhnya.
Niat baik Abyan untuk menjemput Ayyara ternyata tidak bisa terwujud karena dia terlambat datang. Saat tiba di rumah sakit, istrinya itu sudah terlanjur pulang bersama keluarga yang lain. Akhirnya, dia pun memutuskan untuk segera pulang ke rumah Begitu sampai, suami Ayyara ini bergegas masuk karena sudah tak sabar ingin bertemu dengan istri dan kedua buah hatinya.
“Hai, Mas … sorry tadi nggak nungguin dulu Mas datang. Mbak Ayya udah nggak sabar pengin cepat-cepat pulang,” ucap Gita saat berpapasan dengan Abyan di ruang keluarga begitu dia tiba di rumahnya.
“It’s okay, Git. Makasih, ya. Tadi, aku masih ada urusan kerjaan, jadi telat datangnya. Pas nyampe rumah sakit, kalian ternyata udah nggak ada,” tanggap Abyan. “Ayya, di kamar?”
“Iya, Mas. Zay sama Tsa juga ada di sana,” jawab Gita sambil melangkah menuju dapur.
Tapi, baru juga beberapa langkah, dia berhenti lalu menoleh ke belakang. “Eh, Mas, nanti tolong sekalian bilangin ke anak-anak, ya, suruh mereka mandi dulu.”
Abyan menjawab hanya dengan memberi kode oke lewat jarinya. Dia melanjutkan langkah menuju kamar utama di rumah tersebut.
Saat tiba di depan kamar, pintunya terbuka. Dia melihat Ayyara tengah duduk bersandar di atas kasur. Zayyan dan Tsabita ikut duduk menemani di kiri kanan, berbincang hangat bersamanya. Tanpa disadari, ujung-ujung bibirnya melengkung sempurna. Lelaki itu kembali menyaksikan pemandangan yang selalu membuatnya rindu untuk kembali pulang.
Sejak menikah dengan Ayyara dan dikaruniai dua anak yang lucu-lucu, dirinya mulai merasakan suasana yang tak pernah dia alami di masa kecilnya. Sekeluarga duduk bersama di atas kasur atau dalam bahasa Jawa disebut umpel-umpelan sambil ngobrol santai, bercanda, saling menggelitik. Tertawa riang membicarakan hal-hal sepele, tapi mampu membuat hatinya hangat.
Seiring berjalannya waktu, dalam satu tahun terakhir ini, entah kenapa dirinya masih sering merasakan kesepian. Apakah kehadiran anggota baru di rumah itu akan menjadi jawabannya? Pertanyaan tersebut yang akhir-akhir ini kerap kali mengganggu Abyan. Lalu sosok Lidya kembali terlintas di benaknya. Dia ingin keluar dari bayang-bayang perempuan itu, tapi sebuah janji yang sudah ditunaikan tak mungkin dia tarik lagi.
“Ayaaaah …!” pekik Tsabita saat menyadari kedatangan ayahnya. Dia bangkit dan melompat-lompat di atas kasur sambil merentangkan tangan.
Abyan pun langsung tersenyum lebar. Dia berlari kecil menghampiri si bungsu.
“Hai, Sweetie!” sapanya sambil mengangkat Tsabita dalam pelukan, lalu memutar tubuhnya dua kali hingga membuat putri bungsunya itu memekik kegirangan.
Kemudian, Abyan berjalan ke pinggir kasur dengan Tsabita masih dalam gendongannya, lalu ayah dan anak ini duduk di dekat Ayyara.
“Sayang, maaf, ya, tadi telat datangnya,” sesal Abyan mencoba menguraikan kecanggungan karena sikap Ayyara masih dingin kepadanya.
“Iya, nih, Ayah … kita sampai pegel lho nungguinnya,” celetuk Zayyan.
Abyan kembali tersenyum sambil mengelus kepala putranya. “Ayah minta maaf, ya.”
“Bunda, kok, diam saja. Masih marah, ya? Kan, Ayah sudah minta maaf.” Tsabita ikut-ikutan bersuara.
Abyan terkekeh mendengar ucapan putrinya. Sambil mengacak rambut Tsabita, dia berucap, “Bunda bukannya marah, Sayang, tapi lagi capek masih harus istirahat,” dalih Abyan membela sang istri.
Ayyara secara diam-diam mencuri pandang pada suaminya. Dia mengakui selama ini, tidak ada yang salah dengan perlakuan Abyan padanya dan juga anak-anak. Sungguh, hatinya bergejolak, mempertanyakan apa yang membuat sang suami memilih menjalin hubungan baru dengan wanita lain?
“Eh, barusan, Tante Gita minta bantuan Ayah buat ngingetin kalian kalau sekarang udah waktunya mandi sore. Yuk, dikerjain!” titah Abyan sambil bangkit lalu menurunkan Tsabita dari gendongannya.
Tsabita meraih tangan ayahnya. Dia menengadahkan kepala. “Tapi, Tsa masih mau ngobrol sama Bunda,” rengeknya.
Abyan tersenyum, kemudian berjongkok. Dia mengelus lembut kepala Tsabita.
“Boleh, Tsa, tapi entar malam, ya. Sekarang, Tsa ama Abang Zay mandi dulu. Ayah juga mau mandi. Biar nanti, ngobrolnya lagi udah wangi dan segar. Oke?”
Tsabita tersenyum, dia pun menyetujuinya dengan anggukan. Zayyan juga turun dari kasur mengikuti langkah ayah dan adiknya. Ayyara mengira sang suami akan ikut keluar, tapi ternyata hanya mengantar kedua anaknya sampai pintu.
Abyan menutup pintu kamarnya kembali. Lalu dia berjalan menghampiri sang istri sambil melepaskan kancing kemejanya. Ayyara pun memalingkan wajah. Dia tak ingin perut kotak-kotak lelaki itu mempengaruhi pikirannya. Bohong kalau dirinya tidak tergoda saat melihat Abyan bertelanjang dada seperti itu.
“Yang, kamu beneran masih marah?” Abyan duduk di depan Ayyara dengan kemeja yang seluruh kancingnya sudah terbuka.
Ayyara masih bungkam. Melihat istrinya diam saja, Abyan langsung memeluknya erat. “Aku kangen banget sama kamu, Ayy. Senangnya kamu sudah pulang. Maafkan aku, ya. Tadi tuh, beneran ada kerjaan yang nggak bisa aku tinggalin.”
“Kerjaan apa? Ngurusin Lidya?” tanya Ayyara ketus.
Abyan terkekeh seraya mengurai pelukannya. Dia melihat istrinya kembali memalingkan wajah sambil cemberut.
“Kok, kamu tahu, sih?” sahutnya sambil menjawil hidung Ayyara lalu dia bangkit dari duduknya.
“Jadi beneran, perempuan itu namanya Lidya?” Suara Ayyara mulai meninggi. Dia menengadahkan kepala, menatap tajam sang suami seakan sedang men-screening kejujuran di seluruh tubuhnya.
“Hmmm ….” Abyan mengangguk.
“Mas, kamu sadar nggak, sih, dengan omonganmu itu?”
Abyan mengerutkan kening. “Maksud kamu?”
“Mas, please … aku mau kamu jujur! Kamu beneran ada hubungan sama perempuan lain? Ja – di, kemarin di kamar hotel itu …?”
“Aku mandi dulu, ya. Nanti, kita ngobrol lagi.” Abyan menyela ucapan istrinya sambil memutar tubuhnya siap melangkah. Tapi, sebelum beranjak pergi menuju kamar mandi, dia masih sempat mengacak gemas rambut Ayyara. Meskipun tindakannya itu terang saja langsung ditepis oleh sang istri.
Ayyara hanya bisa mengekori gerak Abyan sembari bersungut-sungut. Bibirnya bergetar menahan desakan di dada yang terasa menyesakkan.
‘Kok, bisa, sih? Ada modelan laki kayak gini, nggak ada rasa bersalahnya sama sekali,’ batinnya ketus.