Arka meminta Pak Imam kembali ke kantor. Setelah memastikan aku duduk dengan nyaman, dia pun menjalankan mobil dengan amat pelan. Dia tidak banyak bicara seperti biasanya, hanya sesekali melihatku dan sepertinya memastikan kalau aku baik-baik saja.
Sebenarnya aku tahu kalau Arka marah sekalipun rasa khawatir terasa lebih mendominasi. Dia mungkin kecewa karena tadi aku mengatakan belum menginginkan kehamilan ini. Pekerjaan Dazzling Queen lagi banyak-banyaknya, aku takut kehamilanku justru mengganggu semuanya. Kemarahan itu diperparah ketika Nana juga sempat mengatakan insiden kurang mengenakkan yang dialaminya dengan Bu Rhea karena aku mangkir dari janji yang kami buat.
Aku melirik ke sisi kanan. Arka belum mengubah ekspresi wajahnya, masih diam tanpa senyum. Aku tidak mengganggunya. Selama dia tidak berteriak, mengacak rambut, meninju sesuatu, atau minum kopi pahit berjam-jam, itu artinya kemarahannya masih bisa dikendalikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aku tadi juga sempat diinfus selama empat jam karena bubur yang di bawa Fio berakhir dengan aku muntahkan lagi. Fio yang rencananya akan menemani Arka untuk satu sesi pemotretan, akhirnya ditugaskan sendiri karena Arka tidak mau meninggalkanku.
“Karina, mau aku gendong atau jalan sendiri?”
Aku terlonjak. Rupanya kami sudah sampai.
“Gendong,” jawabku dengan suara manja.
Arka tertawa, tanpa banyak bicara dia membuka sabuk pengamanku dan membawaku dalam pelukannya.
Sekali waktu aku memang suka digendong ala bridal style begini. Tinggiku hanya 150 cm, saat berada di gendongan Arka yang 175 cm itu membuatku nyaman, aku merasa terlindungi.
“Kamu kok ringan banget?” Arka melirikku sebentar sebelum menaiki undakan kecil menuju teras.
“Masa, sih?” Aku pura-pura berpikir, meski sebenarnya tahu berat badanku memang menyusut. Ban pinggang celana atau rok milikku sudah banyak yang longgar, biasanya kalau begini berat badanku memang menyusut satu sampai dua kilogram. “Kok tumben nggak heboh gendongnya?”
Aku mengedipkan mata untuk menggoda Arka. Dia memang suka sekali menggendongku yang katanya kayak anak kecil. Sudah begitu gendongnya nggak pernah yang biasa saja, selalu ada keisengan yang bikin aku terkikik. Sekali waktu dia membanjiriku dengan ciuman, sekali waktu dia memutar-mutar tubuhkan di dalam gendongannya. Orang terdekat kami mengatakan kalau kami keracunan film India.
“Ada nyawa lain yang harus aku jaga, Sayang.” Aku selalu suka saat Arka tersenyum, seperti saat ini. Dia terlihat manis sekali.
Seperti tersadar aku melihat perutku yang sebenarnya masih sama saja, rata. Saat aku melihat Arka, dia rupanya juga tengah mengamati perutku. Ini bukan kebiasaannya. Dia lebih sering menatap wajahku bahkan mataku dengan ekspresi memuja.
“Jangan dilihat terus, Ka. Aku takut perutku lumer.”
Dia tertawa kecil lalu terdiam lagi. Kami sudah sampai di depan pintu. Dengan susah payah aku mencari kunci di tas jinjing dan memasukkan ke dalam lubang kunci. Arka menekan gagang pintu dengan siku dan mendorong daun pintunya dengan bahu.
Arka langsung membawaku ke kamar. Membaringkanku di ranjang. Melepas sepatuku dan menaruh tas jinjing di nakas. Setelah itu dia ke luar. Sepertinya dia sedang melakukan sesuatu di dapur, aku mendengarnya menyalakan kompor. Jangan katakan kalau dia benar-benar akan membuatkanku bubur sebagai ganti bubur yang aku muntahkan. Arka tidak pernah berhasil membuat bubur dan aku tidak mau memaksakan diri makan bubur buatannya, meski itu dengan alasan kesehatan.
“Apa itu?” Aku bersiaga saat Arka masuk ke kamar.
“Kenapa, sih? Tegang gitu mukanya. Ini cuma susu ibu hamil, Sayang.”
“Pfftt…” Leganya. Meski aku tidak begitu suka susu putih setidaknya ini jauh lebih baik dari pada harus memakan bubur buatan Arka.
“Kapan belinya?” Aku mengulurkan tangan, menerima gelas yang masih terasa hangat. Belum berniat meneguk, pandanganku justru terpatri pada gelembung susunya dan mengingatkanku pada stick bubble.
“Habis dokter bilang kamu hamil, aku minta Mbak Siti buat beli susu ibu hamil, biskuit, dan buah. Kata dokter kamu kurang makan. Saat hamil asam lambung gampang naik, makanya aku siapin banyak makanan. Ntar dikit-dikit aja makannya, tapi sering. Begitu tadi dokter ngasih tahunya.”
“Kamu nggak mikirin aku bakal gendut, ya?”
“Memang kenapa? Gendut juga tetap cantik. Yang paling penting tuh kamu sehat.”
“Mana ada gendut cantik, gendut sehat. Kamu belum lihat aku kalau gendut kayak gimana, sih ”
“Lha itu … ibu hamil, kan, perutnya begini.” Arka menarik kaosnya dan memperagakan cara jalan ibu yang hamil tua. “Emang kurang gendut?”
“Itu buncit! Perutnya aja yang gede karena ada dedek bayinya.”
“Ya, sudah terserah. Yang penting aku sudah harus mulai menyiapkan buah-buahan, sereal gandum, oatmeal. Ah, tunggu aku lihat catatan yang dibilang dokter tadi.”
Aku hanya menatap Arka yang membongkar buku agendanya. “Emang seserius itu, ya?”
“Kamu pikir hamil itu main-main?” Arka membentakku. Aku sakit hati, meski tahu yang dikatakannya benar. “Aku tahu kamu suka nanas, makanya di sini aku tulis boleh makan, tapi porsi kecil. Duren? Aku rasa bukan masalah, kamu nggak suka, kan? Soda nggak boleh. Kopi, kafeina kurangi ya Sayang. No alkohol, ah ini, sih, sudah pasti.” Arka terus saja membaca catatannya dengan komentarnya yang bahkan tidak ingin aku tanggapi. Tapi, dia sepertinya tidak peduli. “Nggak boleh makan yang mentah-mentah, kayak …. Oh, ya besok tes TORCH kamu keluar. Lupa tadi mau kasih tahu.”
Halaman : 1 2 Selanjutnya