Aku memandang Arka dengan perasaan campur aduk. Bukankah seharusnya aku bahagia dengan berita kehamilan ini? Tapi, kenapa justru aku merasa marah sekali karena Arka mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginanku? Aku merasa kehamilan ini sebagai beban. Kehamilan ini bukan hanya tentang tubuhku yang akan membesar, tapi juga tentang waktu dan pikiranku yang bakal terbagi-bagi.
Aku tahu ini salah. Kami sudah pernah sepakat untuk menjalani pernikahan dengan meletakkan kebahagiaan di atas apa pun. Tapi, kenapa sulit sekali saat menyadari kebebasanku dalam menjalankan Dazzling Queen bakal terampas?
“Kamu tahu, kan? Ada hal-hal pribadi yang seharusnya kamu tetap meminta izinku?”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tapi, ini tentang bayi ki….”
“Dia ada di perutku, Ka! Kalau-kalau kamu lupa. Apa yang terjadi padanya itu tanggung jawabku. Aku tahu apa yang terbaik untuk tubuhku sendiri.”
“Nggak bisa gitu, Karina. Bayi itu ada karena andil dari spermaku. Bagaimana bisa kamu mengatakan aku nggak ada hak untuk ngatur?” Arka berdiri dan menatapku dengan tajam. Aku bersiaga. Arka sudah mulai meninggikan suaranya. “Kamu nggak bisa melarangku buat ikut campur pada bagian dari milikku, milik kita.”
“Kamu sudah janji bakal memberiku kebebasan, nggak bakal banyak ikut campur.”
“Aku ngatur karena peduli dengan hidupnya!” Napasku tertahan. Dadaku sesak. Belum pernah Arka berteriak sekeras itu di depanku. “Sori. Sori.” Arka mengacak rambutnya.
“Karina, hidupmu sekarang bukan hanya tentang dirimu, tapi juga tentang dirinya. Hidupnya, kesehatannya bergantung padamu sepenuhnya.” Arka bersimpuh dan menarik tanganku untuk diusapnya. “Begitu tahu tentang kehamilanmu, aku mencari tahu semua tentang kehamilan. Aku ingin tahu tanpa ada yang terlewat. Saat bertemu dokter aku menanyakan semuanya. Aku ingin belajar jadi ayah terbaik sedini mungkin.”
Aku menengadah, menarik napas sedalam yang aku bisa. Sesaat setelahnya aku kembali menatap Arka. Aku tahu dia masih ingin mengatakan banyak hal, tapi aku sudah terlanjur membungkamnya dengan meletakkan telunjuk di depan bibirnya. Kami memang baru menikah selama lima bulan, tapi kami sudah berteman sejak aku masih memakai popok. Setidaknya itu cukup untuk dia bisa paham apa yang aku maksud. Aku tak ingin berdebat lagi. Aku membutuhkan waktu untuk merenung dan berpikir.
Arka terdiam dan terdengar menarik napas berat. Akhirnya dia menurutiku dan memilih berbalik, duduk bersila di dekat kaki ranjang. Dia tengah menenangkan emosinya sendiri. Dia tidak suka saat pembicaraan yang belum menemukan solusi dihentikan. Tapi, sepertinya dia memilih untuk mengalah.
Sejenak hening, sebelum dering ponselku memecahnya. Tergesa aku menarik tas tangan dari nakas dan mengambil ponselku. Bukan Nana, tapi Tante Lani yang menelepon. Tante Lani itu adik ibuku sekaligus penata rias di Dazzling Queen.
“Karin! Harusnya kamu ada di sini waktu Bu Hendrawan tadi beraksi,” teriak Tante Lani begitu panggilannya tersambung dan aku sudah berada di ruang tamu. “Dia itu memang nyonya yang agak gila.”
“Pelan-pelan ceritanya, Tante. Apa masalahnya?”
“Dia minta tes make up lagi. Gila! Tante udah ngasih sampai tiga kali, masih belum puas juga. Dia bilang riasan Tante jelek, nggak sesuai sama yang dia mau. Padahal kamu tahu sendiri gimana riasan Tante. Rini yang item kurus itu aja bisa dapat pujian dari Arka yang terbiasa lihat model. Dia pikir kita nggak bakal rugi apa? Udah gitu ngancam mau batal lagi. Padahal dia, kan, tahu kalau persiapan sudah sembilan puluh persen.”
“Masa, sih? Bukannya kemarin-kemarin dia terlihat puas saat mengontrol progress kita?”
“Tahu, tuh. Udah gitu ngomongnya ngaco kayak nggak pernah makan sekolahan aja.”
“Hahha makan sekolahan? Kayak ngunyah tembok, bangku, papan tulis? Ya, nggak pernahlah, Tan. Kayak nggak ada makanan lain aja,” ujarku meledek. Terdengar suara Tante Lani mendengus. “Barangkali Bu Hendrawan itu cuman lagi kecapekan, Tan. Jadi, gampang emosi. Biasa sindrom orang yang mau hajatan, kan?”
“Seharusnya Bu Hendrawan itu nggak perlu merasa stres. Dia, kan, tinggal terima beres, duduk manis, merawat diri di salon biar nggak kalah cantik saat harus mendampingi calon pengantin pas hari H. Semua urusan sudah kita pegang. Jangan terlalu banyak bikin ribut. Kita, kan, jadi ketularan stres, Karina.”
“Maklumin aja, Tan. Biasa orang baru pertama kali menggelar acara gede, suka banyak pikiran, kan?”
“Dan, kamu tahu dia punya anak berapa?”
Aku menggeleng sebelum akhirnya sadar kalau Tante Lani tidak mungkin melihatnya. “Nggak.”
“Lima. Tante bisa koma kalau harus lima kali ngurus pernikahan anak-anak Hendrwawan.”
Aku menahan senyum. Kenapa harus koma? Padahal di otakku sudah terbayang berapa banyak uang yang bakal diraup Dazzling Queen.
“Nanti biar aku yang ngomong lagi sama Bu Hendrawan, Tan.”
Aku segera menegakkan tubuh begitu melihat Arka mendekat. Dia tersenyum, aku membalasnya. Tiupan angin dari pendingin ruangan membuatku sedikit menggigil, tapi berusaha aku tahan. Sementara suara Tante Lani masih menggebu-gebu di seberang sambungan telepon.
“Pokoknya kamu harus bisa bikin Bu Hendrawan itu sadar, Karina. Kita nggak pernah main-main soal kerjaan. Haloo … Karina, kamu dengar Tante nggak, sih?”
Halaman : 1 2 Selanjutnya