Seraut wajah sendu dengan mata redup penuh keputusasaan tergambar jelas di cermin. Ratih duduk di bangku meja rias dalam busana pengantin Basahan Ageng. Busana adat jawa yang agung.
“Mbak Ratih, jangan sendu begitu! Hayo senyum, pengantin harus bahagia biar kehidupan selanjutnya akan bahagia,” ucap Ibu Ning Sulistyo, perias pengantin yang didatangkan dari Solo.
Ratih hanya menarik napas panjang dan mengembuskannya dalam keluhan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Biarin, Aku belum ingin menikah apalagi dengan manusia sombong itu! Kuliah juga belum selesai, rutuknya dalam hati.
Matanya mulai mengembun. Angannya kembali saat bundanya meminta dirinya menjadi menantu keluarga Sumbogo. “Bukan langsung menikah, sayang. Kalian bertunangan dulu. Setelah kamu lulus nanti, baru menikah.”
Anita Lestari, istri dari Barman Sumbogo, dengan panggilan Ninit, adalah sahabat bundanya. Keduanya gadis Solo dan bersahabat sejak SMA. Persahabatan ini berujung saling berikrar, kelak mereka akan berbesanan jika mereka mempunyai putra atau pun putri.
Keduanya sempat kecewa. Setahun setelah Ninit melahirkan Toni, Arum melahirkan Bagas. Disusul dua tahun kemudian, lahir Yayo, adik Bagas. Harapan mereka berbesanan bersemi lagi setelah sekitar lima tahun kemudian Arum hamil lagi. Arum sempat was-was meskipun hasil USG menunjukkan gambar janin perempuan.
Kebahagiaan mereka lengkap sudah dengan kelahiran seorang putri cantik yang sangat mereka harapkan. Ratih, putri cantik yang menggemaskan. Tidak kalah bahagia adalah Ninit, ibunda Toni. Dia sangat gembira calon menantunya hadir di dunia.
“Huuuh, tau begini aku nggak milih lahir ke dunia. Kalau saja bisa memilih, lebih baik lahir di keluarga lain …,” gumam Ratih kesal.
“Mbak Ratih nggak boleh bicara begitu! Itu takdir Allah yang kuasa,” kata Bu Ning mengagetkan. Ratih sampai bengong, tidak menyangka gerutuannya terdengar orang lain. Dia hanya mengembuskan napas dengan kasar.
Pintu diketuk dari luar. Keduanya, Ratih dan perias, menoleh ke pintu. Arum masuk kamar menanyakan kesiapan calon pengantin.
“Ada apa denganmu sayang? Calon pengantin tidak boleh meruntuhkan air mata! Ora ilok! Bu Ning, nyuwun tulung riasannya dikoreksi. Calon pengantin pria sedang dalam perjalanan.”
“Baik, Bu. Tuh kan, Mbak Ratih, hayo senyum. Ngaruh juga lho pada nama baik saya,” kata Bu Ning sambil tertawa geli. “Enggak, ding. Becanda lho, mbak.”
Ratih tersenyum tipis. Perias langsung melap dengan sangat hati-hati tetesan air mata yang sempat turun. Riasan dikoreksi sampai kembali sempurna. Ratih melamun lagi.
Dirinya sempat senang mendengar pengakuan Toni, kalau hatinya sudah terpaut pada seorang gadis. Malahan sudah mengikat tali pertunangan. Ratih malah minta tolong agar Toni mengatakannya kepada bundanya. Ayahnya terlalu sibuk untuk minta penjelasan dari Toni.
‘Huft. Belum sampai terlaksana, Mamah Ninit masuk ICU,’ keluhnya dalam hati. ‘Sudahlah, toh dia setuju kami tetap tinggal di rumah masing-masing!’ lanjutnya.
Secara diam-diam keduanya, Ratih dan Toni, membuat perjanjian sebelum menikah, (1) Tetap tinggal di rumah masing-masing dengan kehidupan masing-masing, (2) Saling menghargai dan menghormati sebagai individu, (3) Tidak saling mengganggu, (4) Selama dalam ikatan pernikahan, masing-masing tidak boleh ada yang menikah, (5) Setelah 3 tahun mereka akan bercerai.
Semua gara-gara Mamah Ninit! Pakai masuk rumah sakit segala, keluhnya dalam hati.
Angan Ratih kembali ke malam sebelum pertemuan keluarga, bundanya berteriak-teriak histeris lalu menangis sedih. Kemudian, mereka segera pergi ke rumah sakit tempat Ninit dirawat. Ketika sampai di IGD, ternyata sudah dipindahkan ke ICCU.
Ninit tergolek tidak berdaya dengan beberapa selang tertancap di tangan kanan dan kirinya. Peralatan berkelap-kelip dengan suara monoton yang menyayat hati. Layar monitornya menggores gelombang runcing sambung menyambung entah menggambarkan apa. Hidung dan mulutnya tertutup masker oksigen. Mengenaskan sekali.
Arum, sembari terisak-isak sedih berdoa di depan kaca yang membatasi ruang perawatan pasien dengan pengunjung. Suaminya dengan penuh kasih memeluk bahunya menenangkan.
“Sabar, Bun! Aku tahu kamu khawatir. Berdoa sajalah jangan putus. Mbak Ninit butuh doamu.”
Dalam hati Ratih terbersit harapan, pertunangannya dengan Toni batal. Tapi ternyata, seminggu kemudian, Ninit siuman. Tiga hari kemudian dipindah ke ruang perawatan VVIP. Kondisi kesehatannya membaik.
Ratih dan kedua orang tuanya, datang berkunjung. Kondisi Ninit semakin membaik. Barman mengajak Ratih keluar kamar perawatan menyusul Toni. Di depan ruang perawatan, Toni terlihat acuh tak acuh sambil menatap gadgetnya. Hanya sekilas Toni melirik keduanya, lalu kembali sibuk dengan HP-nya.
“Ratih, maafkan Papah, ya. Papah minta, kalian tidak perlu lagi bertunangan.”
“Bener Pah?” sambar Ratih dengan mata berbinar, tanpa basa basi. Wajahnya langsung ceria, begitu juga Toni. Keduanya tersenyum lega. Barman mengerutkan kening, segera melanjutkan ucapannya.
“Maksud Papah, Kalian langsung akad nikah!” katanya tegas.
“Haaa … menikah?” ucap kaget keduanya berbarengan.
Halaman : 1 2 Selanjutnya