Sulit Untuk Menolak
Hardi mengurungkan suapan terakhirnya. Dia langsung memutar tubuhnya yang masih duduk di atas sofa, menoleh ke arah Abyan. Lelaki itu masih berdiri memunggunginya.
“Setelah janji di depan ibunya sebelum meninggal, gue jadi sulit untuk menolak kehadiran Lidya—” Abyan kembali menggantung kalimatnya.
“Sudah sejauh apa hubungan lo sama dia?” selidik Hardi. Dia harus memastikan semuanya agar bisa menentukan sikap.
Abyan sedikit terkejut ketika membalikkan badan, melihat Hardi yang juga tengah memperhatikan dirinya. Dia terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab. “Masih amanlah, gue juga nggak seburuk itu, hanya saja—” ujarnya sembari berjalan menuju sofa kembali.
“Eh, lo ngomong jangan setengah-setengah gitu, dong!” tegur Hardi keki, “hanya saja, apa?”
“Hanya saja, akhir-akhir ini gue ngerasa sikap Lidya itu mirip-mirip sama sikap Ayya ketika dulu awal kita menikah.”
Hardi langsung memicingkan mata, menatap Abyan penuh selidik. “Byan, kayaknya lo harus mulai jauhin Lidya! Gue nggak mau lo kejebak dalam hubungan yang makin rumit.”
“Tapi, tadi gue bilang ke Ayya kalau gue mau nikah siri sama Lidya.”
Hardi langsung menyemburkan minuman yang baru saja dia teguk dan belum sempat menelannya. “Byan! Lo nggak lagi bercanda, kan?”
Abyan belum sempat menjawab pertanyaan Hardi karena suara seseorang mengetuk ruangannya. Orang itu menyembulkan kepala di balik pintu setelah Abyan mempersilakan masuk. “Pak, semua tim sudah menunggu di ruang meeting.”
“Oh, iya, Ris … kita langsung ke sana sekarang,” jawab Abyan “Ayo, Har!”
Hardi yang masih penasaran terpaksa menunda rasa ingin tahunya itu. Dia berjalan mengekori Abyan menuju tempat meeting. Ruangan itu berukuran 8 x 5 meter dengan dominasi warna putih dan abu-abu di mana terdapat meja persegi panjang di tengahnya yang dikelilingi 12 kursi.
Tiga per empat dindingnya berupa kaca yang dilengkapi horizontal blind, sebuah tirai berbentuk horizontal—terbuat dari bahan aluminium yang berbentuk bilah kecil—dengan berbagai macam pilihan warna. Blinds di kantor Abyan itu yang berjenis smart blind karena menggunakan teknologi canggih. Jenis tirai yang dapat disinkronisasi dengan aplikasi dan untuk buka tutupnya dapat dikontrol secara pribadi ataupun grup.
Abyan tersenyum dan menyapa 7 orang staf inti dari perusahaan tersebut. Setelah itu, dia mengawali pertemuan dengan permintaan maaf sembari menunggu Hardi menyiapkan materi rapat kali ini. “Sorry kalau meeting kali ini terkesan dadakan,” ucapnya sambil berdiri membelakangi layar monitor besar di ruangan tersebut.
“It’s okay, Bos. Tadi, pas ada undangan meeting ini, kita memang masih stay di kantor, iya kan?” Fandi sebagai ketua staf konsultan IT menyahut ucapan Abyan sembari meminta konfirmasi dari rekan-rekan kerja lainnya yang mengiyakan dengan anggukan.
“Oke kalau gitu. Seperti kita tahu, perusahaan ini pada awalnya hanya sebatas klien yang minta penilaian prospek bisnis ke depannya seperti apa. Setelah kita analisis ternyata punya potensi untuk berkembang lebih pesat. Dengan menerapkan strategi-strategi yang kita berikan, ternyata memang sekarang, perkembangannya cukup signifikan.”
Anggota tim yang hadir pada pertemuan tersebut terlihat begitu serius memperhatikan uraian dari sang pimpinan. “Tadi sore, pemiliknya menghubungi saya. Mereka memiliki keinginan untuk mengembangkan pemasarannya ke luar negeri. Rencana terdekatnya itu mengikuti festival makanan dari negara-negara Asean di Malaysia. Terakhir pendaftarannya pekan depan, jadi kita nggak punya waktu banyak untuk memutuskan ini.”
Abyan menjeda penjelasannya dengan memperlihatkan grafik penjualan perusahaan kliennya ini dalam kurun waktu 1 tahun ke belakang.
“Menurutmu gimana, Gi?” tanya Abyan pada Anggi, selaku ketua staf konsultan pemasaran.
“Oke, Pak … penjualan mereka stabil, bahkan tiga bulan terakhir mengalami peningkatan hampir 50%, kita bisa lihat data yang ditampilkan pada grafik pun sangat akurat,” jawab Anggi sambil menunjuk layar besar di depan mereka.
“Berarti, nggak masalah kan, kalau mau memulai strategi perluasan pasar?” tanya Abyan lagi.
“Harusnya aman, Pak.” Anggi menjawab mantap.
“Ide untuk mengikuti acara festival itu, gimana, Wan? Memungkinkan untuk dikejar?” tanya Abyan pada Irwan, selaku ketua staf konsultan manajemen resiko.
“Kita perlu analisis lebih detail tentang acaranya dulu, Pak? Siapa segmen yang disasar dari acara tersebut? Produk kita kan keripik, apakah itu termasuk makanan yang direkomendasikan untuk ikut tampil di acara tersebut?” jawab Irwan.
“Oh, oke, berarti kamu bisa tidaklanjuti kemungkinan ini bersama tim dan saya tunggu hasilnya dalam waktu dekat, bisa?”
“Siap, Pak?” Irwan mengangguk pasti.
“Oh, satu lagi, Irwan nanti langsung koordinasi dengan Andre, ya? Analisis terkait pendanaannya saya rasa bisa dilakukan berbarengan, iya kan, Dre?” Abyan meminta persetujuan Andre selaku ketua staf konsultan keuangan.
“Siap, laksanakan, Pak!” Andre mengangkat sebelah tangannya dalam posisi menghormat.
Abyan dan staf lainnya ikut senyum-senyum melihat reaksi Andre.
“Mungkin, untuk Anggi dan tim, kalian bisa juga mulai mencari stategi apa yang cocok diterapkan seandainya rencana ini dipandang masuk akal untuk dilakukan.” Abyan kembali memberikan instruksinya.
“Oke, Pak, tapi kami juga akan dengan senang hati menerima ide-ide segar dari Pak Byan,” canda Anggi sembari mesem-mesem.
Staf lain ikut menganguk-angguk sambil mengacungkan jempol.
“Yah, kalau semua saya yang mikir, ngapain punya staf macam kalian ini?” ujarnya sarkastik.
Mendapat sindiran seperti itu bukannya marah, mereka malah tertawa. Anggi pun jadi teringat ketika dulu, klien mereka ini kebingungan mencari nama brand baru untuk produknya itu dan atas ide Abyan tercetuslah “Bringlas”.
“Apa artinya, Pak?” tanya Anggi kala itu.
“Bring itu artinya kan, membawa. Lasnya dari kata talas, diambil suku kata terakhirnya saja. Berharap dengan produk ini, kita bisa membawa keripik talas lebih mendunia. Sampai saat ini, sepertinya keripik kentang lebih unggul di pasaran. Nah, siapa tahu kehadiran Bringlas bisa mengubahnya.”
Semua orang langsung setuju dengan usulan Abyan tesebut termasuk pemilik perusahaannya.
“Gi, masih ada yang perlu dibahas?” Abyan kembali melayangkan pertanyaan pada Anggi, tapi yang ditanya masih asyik dengan lamunannya.
“Sst, lo ditanya, tuh?” Aris menyikut lengan Anggi hingga gadis itu terperanjat.
“Hah, kenapa?” tanyanya sedikit gelagapan.
Aris menunjuk Abyan dengan isyarat mata dan alisnya yang sedikit terangkat. Anggi pun baru tersadar kalau sang pimpinan sedang menunggu jawabannya.
“Maaf, Pak, boleh diulang pertanyaannya?”
“Makanya kalau lagi meeting nggak usah pakai acara melamun segala … lagian, weekend masih lama,” ledek Abyan puas.
Anggi sedikit salah tingkah. ‘Nggak tahu aja kalau gue lagi ngalamunin dia,’ batinnya. “Maaf, Pak.”
“Ya sudah, Ris … kamu saja yang saya tanya,” ujar Abyan mengalihkan topik yang membuat semua orang kembali tergelak. “Kamu punya pemikiran apa?” Abyan bertanya pada Aris yang menjabat sebagai ketua staf konsultan sumber daya manusia.
Aris menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil mesem-mesem. “Hmm, kalau project ini jadi, mungkin kita harus mulai memikirkan juga, siapa pegawai yang akan berangkat ke sana? Yang pasti, dia harus bisa berbahasa Inggris.”
“Oh, iya juga. Coba nanti sekalian diskusikan dengan staf di perusahaannya, ya!” Abyan melanjutkan instruksinya.
“Baik, Pak, kebetulan saya ada janji juga sama staf SDM di perusahaan itu. Mereka mau konsultasi terkait perlunya membuka lowongan kerja baru di bagian produksi,” jawab Aris sambil menuliskan catatan dari Abyan untuk bahan diskusinya nanti.
“Nah, bagus. Itu langkah yang tepat karena nantinya jadi percuma kalau rencana perluasan pemasaran ini berhasil, tapi tidak dibarengi dengan peningkatan produksi yang tetap menjaga kualitas produk. Kita akan kehilangan kepercayaan konsumen.” Hardi menambahkan.
“Tepat sekali!” Abyan menunjuk ke arah Hardi. “Satu lagi, Lang, coba tim kamu mulai mencari tahu, apakah memungkinkan untuk klien kita ini melakukan inovasi baru terkait peningkatan produk dan layanan?” titahnya pada Gilang sebagai ketua staf konsultan startup. “Kamu bisa koordinasi bareng tim IT,” imbuhnya sembari menoleh ke arah Fandi.
“Oke, Pak!” jawab Fandi dan Gilang kompak.
Ketika Abyan akan melanjutkan topik bahasannya, tiba-tiba ada beberapa notifikasi pesan whatsapp masuk ke ponselnya yang tergeletak di atas meja. Dia maju satu langkah, lalu sedikit menunduk untuk sekedar melihat tampilan pop-up message yang muncul di layar.
Hardi memperhatikan gerak-gerik Abyan yang terlihat seperti sedang membaca pesannya tersebut. Dia melihat dengan jelas perubahan ekspresi wajah sahabatnya ini yang langsung membuang muka seraya menghela napas. Tangannya kirinya bergegas membalikkan posisi ponsel sehingga tertelungkup di atas meja.
Abyan lihat seluruh staf yang hadir di sana tengah menatap lekat ke arah dirinya. Dia pun segera menyadari situasi yang terjadi.
“Oh, sorry, sorry … ada iklan lewat,” kelakarnya berusaha menutupi suasana hati. Walaupun bagi Hardi tampak sangat jelas kalau senyumnya itu dipaksakan. “Pertemuannya cukup sampai di sini dulu saja. Kebetulan saya ada keperluan lain,” ujarnya beralasan, “secepatnya kita agendakan pertemuan berikutnya. Tolong semua tim segera tindak lanjuti hasil meeting kali ini. Saya tunggu!”
Abyan menutup acara rapatnya dengan salam. Kemudian, dia malah duduk pada saat semua staf keluar duluan dan yang tersisa tinggal Hardi.
“Pesan dari Ayya?” tebak Hardi sambil membereskan laptopnya.
Abyan kembali menarik napas dalam, lalu membuka pesan yang barusan diterimanya. Dia pun menunjukkan layar ponselnya ke arah Hardi.
My Love: Mas, aku mau maafin kamu asalkan janji buat tinggalin perempuan itu!
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dibaca: 74
Follow WhatsApp Channel www.redaksiku.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow