Jika akal sehat tergilas nafsu, tubuh bekerja mengikuti naluri. Kipasan angin iblis mengobarkan hasrat tak terkendali. Semua terjadi tanpa rasa, hanya nafsu menguasai. Tak lagi peduli nasib si korban. Tinggal iblis bersorak penuh kemenangan. Penyesalan pun tak guna.
Toni terbangun oleh cahaya matahari yang menerobos masuk dari celah gorden jendela. Kedua orang tuanya sedang sarapan. Ninit, berniat membangunkan putra dan menantunya.
“Pah, sudah siang kok belum pada turun sarapan?” katanya seraya bangkit mau membangunkan putra dan menantunya. Buru-buru Barman mencegah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sudah, biarkan saja!”
“Toni kan harus kerja. Ratih juga katanya mau ke kampus untuk minta surat apa gitu.”
“Kapan dia berangkat ke Jerman? Kebetulan Koko Andre sementara tinggal di Munich. Dia mau memperdalam composit mesin mobil.”
“Mau nerusin bisnis papanya?”
“Sepertinya begitu. Tapi, untuk apa Ratih jauh-jauh ke Jerman untuk ambil S2?” tanya Barman.
“Entahlah … kata Arum, memang itu cita-citanya sejak dulu. Ratih pengin sekolah di luar negeri, tapi gratis. Dia mendaftar ke universitas tiga negara. Di universitas TOP lagi. Dan ketiganya diterima.”
“Putra-putri Mas Rangga pinter-pinter,” puji Barman.
“Toni juga,” kata Ninit sambil manyun.
“Pastinya, anak siapa dulu!” sahut Barman menepuk dada sambil tersenyum meledek.
“Didikan siapa dulu, kau sibuk dengan pekerjaan,” kata Ninit kesal.
“Iya … iya Sayangku, Manisku. Dibalik pria yang sukses, ada wanita hebat. Kaulah Bidadariku, wanita hebat di keluarga ini,” puji Barman sambil melingkarkan lengannya ke bahu istrinya.
Pujian penuh rayuan. Ninit tersenyum malu-malu, wajahnya memerah kedua netranya berbinar-binar bak bintang timur dini hari. Cinta mereka tak pernah pudar. Badai kehidupan pun tak mampu menggerus cinta mereka. Kadang Toni suka cemburu melihat kemesraan orang tuanya. Setelah mencium kening istrinya dan melepas pelukannya, Barman kembali bertanya.
“Kenapa memilih Jerman?”
“Dia kepingin pergi ke Bodensee melihat danau Konstanz. Padahal kalau bilang kan bisa ikut tour, nggak usah harus kuliah di sana,” jawab Ninit dengan nada tidak rela.
“Iya bener, nggak repot ngatur honeymoon ke Turki,” sahut suaminya ngeledek. Cubitan keras bersarang di lengannya, “aduuuh sakit!”
“Biarin! Mau nambah?”
“Ampun … uwis … kapok aku,” kata Barman sambil meringis.
“Eh, ayo kita sarapan. Nasi goreng klangenane Toni,” ajak Ninit.
Keduanya sarapan dalam diam. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dalam hatinya yang paling dalam, Ninit tidak rela melepas kepergian menantunya ke Jerman, tapi dia tidak ingin mengecewakan menantunya.
Di kamarnya, Toni masih bingung mendapati dia tidur di pembaringannya. Biasanya dia tidur di sofa panjang kamar kerjanya yang menyatu dengan kamar tidur. Kesadarannya belum pulih sepenuhnya. Sakit kepala dan rasa panas yang menyiksanya semalam telah hilang. Angin AC mengelus tubuhnya yang telanjang, selimut hanya menutup sampai pinggang.
“Hah, bajuku!” menyadari tidak memakai baju, dia jelalatan mencari pakaian yang dipakai semalam, namun tidak ditemukan.
Semalam Ratih memasukkan pakaian Toni ke dalam keranjang baju kotor. Matanya menatap nakas. Di situ terlipat rapi celana training dan T-shirt, pakaian yang biasa dipakai untuk tidur.
Toni bangkit lalu ngulet ke kanan dan ke kiri meregangkan tubuh, lalu menyingkap selimut. Dia tertegun mendapati dirinya telanjang bulat. Celana panjang dan celana dalamnya ada di lantai. Jidat dikeplak, kepala digoyang-goyang untuk mengembalikan ingatannya semalam. Toni menyubit lengan, dia merasa kesakitan. Kemudian kedua tangan menjambak rambut keras-keras, dia pun merasakan sakit. Matanya dikucek-kucek, tidak juga mengubah pandangannya.
“Ada apa tadi malam? Apa yang sudah kulakukan? Siapa yang menelanjangiku? Apakah ….”
Toni langsung menoleh ke sampingnya. Ratih tidak ada. Dia selalu bangun pagi, gumamnya dalam hati.
Saat Toni menyingkap selimut yang menutup bagian sebelah kanannya, matanya langsung melotot. Dia melihat bercak darah dan sprei yang sangat kusut seperti bagian sprei yang dia tiduri. “Apa yang terjadi? Apa yang kulakukan? Oh, aku telah memerkosanya! Merenggut kesucian yang seharusnya tidak kuusik,” gumamnya lirih sambil menarik selimut menutup tubuhnya bagian bawah.
Toni menangis sambil menjambak dan menampar wajahnya berkali-kali. Menyesali perbuatannya. Dia merasa sangat bersalah. Tidak mungkin Ratih merayuku. Tapi, aku tidak sadar apa yang kuperbuat, hatinya membatin di tengah sedu sedan penyesalan. Penyesalan yang mengoyak dinding hati. Dia teringat perjanjian yang mereka buat, dan kini dia melanggarnya. Bukan hanya melanggar perjanjian, juga merusak hidup Ratih. “Aku telah menghancurkan hidupnya,” keluhnya lirih.
Dengan enggan dia bangkit menuju kamar mandi. Air dingin menyemprot seluruh tubuhnya, mengembalikan kesadaran otaknya. Toni telah sadar sepenuhnya. Dia berlutut sambil tersedu, kedua tangannya memukuli dinding. Semua kejadian kemarin melintas di benaknya. Semuanya, dimulai saat bangun pagi hingga santap malam di kafe. Dia kembali bingung.
“Setelah minum kopi, kepalaku sakit, sakit sekali dan aku kehausan. Badanku panas, jangan-jangan … aku keracunan!” gumamnya lirih.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya