Fadli benar-benar merasa frustasi. Namun, sepertinya semua masih belum cukup untuknya. Telepon genggamnya berbunyi lagi. Tulisan Mama terpampang di layarnya. Fadli mengambil napas perlahan dan mengembuskannya beberapa kali sebelum mengangkat panggilan telepon itu.
“Halo, Ma,” ucap Fadli begitu sambungan telepon tersambung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Assalamu’alaikum, Nak,” sapa Bu Atikah dari seberang.
Fadli pun menjawab salam dari ibunya. “Ada apa, Ma?”
“Di mana cucu Mama? Mama sudah kangen sekali. Padahal baru tadi pagi Ihsan pulang ke sana. Mama masih terbayang-bayang ketika Ihsan tinggal di sini. Biasanya siang-siang begini, dia sedang tidur dan sebentar lagi bangun untuk mandi.” Bu Atikah mengingat kembali kebersamaannya dengan cucu tersayangnya.
“Ihsan sedang tidur, Ma,” jawab Fadli singkat.
“Lucu sekali memang dia.” Bu Atikah menghela napas panjang. “Oh iya, apakah kalian memiliki rencana khusus untuk akhir pekan ini?”
“Kemungkinan kami hanya di rumah saja, Ma. Kami belum ada rencana apa-apa untuk akhir minggu ini.”
“Kalau begitu, Mama berencana ingin menginap di rumah kalian akhir minggu ini. Kamu tidak perlu menjemput Mama. Nanti Mama menyetir sendiri saja,” kata Bu Atikah lagi.
Fadli menggaruk kepalanya yang tidak gatal. ‘Ada apalagi ini? Faik sekarang saja masih mengambek. Bagaimana caranya aku bisa memberikan kabar ini padanya,’ kata Fadli pada dirinya sendiri. “Iya, Ma.”
Bu Atikah tertawa kecil. “Mama benar-benar tambah kangen dengan anakmu. Senyumnya itu benar-benar menggemaskan, apalagi tawanya. Dia bisa tertawa sampai terpingkal-pingkal hanya karena sesuatu yang sangat sederhana.”
Fadli ikut tertawa kecil mengingat bagaimana Ihsan dulu bisa tertawa begitu lepas hanya karena ia tidak sengaja menjatuhkan mainannya. “Iya, Ma”
Setelah mengatakan maksudnya menghubungi Fadli, Bu Atikah tidak berlama-lama lagi bercakap-cakap dengan anaknya. Ia menutup sambungan telepon setelah bertukar salam dengan anaknya.
Fadli menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Ia menyisir rambutnya dengan kedua tangannya. Kebingungannya kembali. Ia bahkan tidak tahu sampai kapan istrinya akan marah padanya. Ia sendiri juga masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri karena kelalaiannya dalam menjaga Ihsan tadi.
Fadli menangkupkan kedua tangannya pada mukanya. Ia merutuki dirinya sendiri. Ia juga khawatir dengan kondisi Ihsan. Pikirannya memikirkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi pada Ihsan.
Ia kembali menaiki tangga dan berjalan ke kamarnya lagi. Ia akan mengetuk pintu lagi namun tidak jadi. Sebaliknya, ia menempelkan telinganya pada daun pintu. Tak terdengar suara apapun dari dalam kamar. ‘Sepertinya mereka memang benar-benar sedang tidur,’ pikirnya.
‘Sepertinya, sebaiknya aku memang membiarkan mereka beristirahat dahulu,’ ujar Fadli pada dirinya sendiri. Ia akhirnya kembali ke bawah dan memutuskan untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang bisa ia kerjakan. Melihat tas Faik masih tergeletak di ruang tamu, Fadli akhirnya berinisiatif untuk mencuci pakaian-pakaian kotor Faik dan Ihsan yang mereka bawa dari rumah ibunya.
Ia membawa tas berisi pakaian-pakaian kotor itu kembali naik karena memang ruang mencuci mereka ada di lantai dua. Ia kemudian memasukkan pakaian-pakaian itu dan juga detergennya ke dalam mesin cuci.
Sambil menunggu mesin cuci menyelesaikan tugasnya, Fadli membuka mesin penjelajah internet melalui ponselnya. Ia membuka portal berita dan membaca beberapa berita yang tersaji di sana.
Fadli memasukkan kembali telepon genggamnya ke dalam saku celananya saat ia mendengar suara tanda mesin cuci telah selesai. Ia kemudian menjemur satu per satu pakaian-pakaian yang sudah dicuci itu.
Setelah selesai menjemur semua baju, Fadli keluar dari ruang mencuci. Begitu ia menoleh setelah menutup pintunya, ia terkejut karena ternyata Faik sudah berdiri di depan pintu kamar mereka bersama anak mereka.
Fadli merasa gugup dan salah tingkah. “Maafkan aku, Sayang. Aku benar-benar menyesal.” Ia tidak sanggup menatap mata istrinya lama-lama dan menunduk.
Faik mengembuskan napas dengan kesal, “Apa yang kamu pikirkan? Bisa-bisanya kamu sampai tidak sadar kalau Ihsan yang sedang di pangkuanmu akan jatuh.”
“Aku enggak punya alasan untuk membela diriku sendiri. Aku benar-benar menyesal. Apakah kita perlu memeriksakan Ihsan ke rumah sakit? Aku akan mengantarkannya sekarang,” kata Fadli dengan penuh penyesalan.
“Sekarang sudah sore. Dokter anak Ihsan tidak bertugas di sore hari sekarang. Besok pagi saja kita coba periksakan,” jawab Faik dingin.
~Bersambung~