Bayu Ramadhan
Selesai umrah, aku menepati janji untuk menghubungi Amira. Semoga ia belum tidur.
Lama teleponku tidak diangkat. Aku kembali memutar nomornya dan mendengar suara setengah mengantuk di seberang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Belum tidur kan, Mir?” Aku menyapanya setelah mengucapkan salam.
“Belum, Mas. Nungguin kamu telepon,” jawab Amira dengan suara seperti berusaha keras untuk tidak menguap. Tentu saja, di Jakarta sudah pukul 23.00 lebih.
“Alhamdulillah, aku baru selesai umrahnya. Ini lagi di barbershop, mau cukur gundul. Boleh, ya?”
“Aduh! Nanti pas ke sini udah tumbuh belum? Males deh ngelus kepala botak,” guraunya.
Hatiku menghangat. Amira masih menaruh perhatian, berarti masih ada harapan.
“Hei! Biar botak, kalau ganteng, ya tetap ganteng, dong!” Aku menggodanya. “Atau nggak perlu botak bersih, cukur rapi aja, ya, biar kamu tetap sayang,” lanjutku sengaja memancing.
Terdengar suara batuk Amira.
“Kenapa, Sayang?” tanyaku khawatir.
“Nggak … nggak apa-apa. Kaget aja dengar Mas malam-malam ngegombal.”
“Lho, gombal sama istri sendiri, boleh, kan? Aku kan memang selalu sayang sama kamu dan berharap kamu juga masih sayang aku.”
Tidak ada suara di seberang.
“Mir?”
“Udah malem, Mas. Aku ngantuk. Besok lagi aja teleponnya, ya?” ujar Amira seperti enggan menjawab pertanyaanku.
Aku menghela napas.
“Ya udah. Aku coba telepon lagi besok pas mau pulang. Kamu jaga kesehatan. Salam buat Ibu dan si kembar.” Dengan berat hati aku terpaksa menuruti kemauannya.
“Kamu juga hati-hati di sana. Jangan kerja terus, makan yang teratur! Assalamualaikum.” Telepon pun ditutup.
“Waalaikumsalam,” jawabku lirih.
Ada rasa kosong di dalam dadaku ketika Amira menyudahi pembicaraan. Rasa kecewa yang semakin dalam. Tampaknya luka hati Amira masih belum kering, padahal aku sudah berusaha untuk mengubah sikapku. Amira masih enggan bicara, sementara aku masih ingin mendengar suaranya. Aku rindu ceritanya, rindu suara manjanya. Tak sabar rasanya menunggu waktu cuti agar aku bisa bertemu lagi dengannya.
Akhirnya aku memutuskan untuk tidur supaya bisa salat malam di masjid. Aku memuaskan diri beribadah dengan khusuk selama di Mekkah. Setelah salat Jumat, aku pun bersiap-siap kembali ke Riyadh. Selepas mengerjakan umrah, hatiku menjadi lebih tenang. Aku bisa lebih bersabar menghadapi Amira. Aku bisa berpikir jernih melihat persoalan rumah tangga kami. Namun, tetap saja aku tidak bisa mengerti kenapa Amira meminta untuk berpisah.
“Perempuan itu unik, Mas Bayu. Sebagai suami, kita harus pintar-pintar mengetahui isi hati istri.” Pak Farhan menasihatiku sore itu saat kami berangkat ke pengajian. Aku konsentrasi mengemudi, tetapi berusaha mendengarkan kata-kata Pak Farhan.
“Gimana caranya, Pak? Kita kan bukan peramal. Kenapa nggak diomongin aja kalau ada masalah?” jawabku tidak mengerti.
“Perempuan beda, Mas. Kita harus belajar untuk mengerti. Mas Bayu kan sudah cukup lama menikah. Pasti bisa mengetahui sifat Mbak Amira. Pelukan hangat pas Mas Bayu saat mau ke kantor, pujian tulus, dan kebersamaan untuk mendengarkan keluh kesahnya, itu sebagian kecil cara untuk memanjakan istri.” Lelaki 54 tahun itu menjelaskan panjang lebar.
Aku terperangah. Sungguh, aku sama sekali tidak pernah melakukan semua yang disebutkan Pak Farhan. Aku memang mencintai Amira, tetapi tidak pernah menunjukkannya. Aku menganggap perhatian yang kuberikan selama ini sudah cukup. Mengantarnya belanja atau pergi ke rumah teman, selalu aku lakukan meskipun harus merelakan waktu istirahat.
“Pak Farhan melakukan itu semua ke istri Bapak?” tanyaku penasaran.
“Iya. Kami sudah 24 tahun menikah dan jarang sekali bertengkar. Kami tahu sifat dan kebiasaan masing-masing. Saya selalu mengajak istri jalan-jalan kalau malam libur. Saya mengerti, istri sudah jenuh mengurus rumah selama seminggu. Ia juga butuh refreshing, makanya saya ajak jalan-jalan. Sekedar mutar-mutar kota atau makan di luar, itu sudah cukup untuk istri saya.”
Aku menoleh sejenak melihat rona bahagia terpancar dari wajah tua Pak Farhan.
“Bapak sama sekali nggak pernah bertengkar?” tanyaku masih tidak percaya.
“Bertengkar ya pernah, Mas. Masak suami istri nggak pernah bertengkar?” Lelaki tua itu terkekeh.
Kutunggu lanjutan kalimatnya.
“Kami sering kok berdebat, bertengkar, saling mendiamkan, tapi tidak pernah lebih dari waktu salat,” jawabannya semakin membuat keningku berkerut.
“Maksudnya?”
“Kalau kami ribut di waktu pagi, nanti sebelum salat Zuhur salah satu harus sudah minta maaf dan mengajak baikan. Kalau istri ngambek saat abis Isya, ya saya minta maaf malam itu sebelum kami tidur. Prinsip saya, meskipun saya tidak salah, biarlah mengalah untuk kebaikan.”
Aku manggut-manggut.
“Pernikahan itu ya untuk saling mengerti, saling mengisi. Menyatukan dua pribadi yang berbeda itu sulit, Mas. Apalagi dengan ego masing-masing, tapi kalau kita bicarakan baik-baik, cari jalan keluar bersama, niatkan untuk ibadah, insyaallah semua akan baik-baik saja,” ujar Pak Farhan lembut.
Ada kilat bahagia di mata Pak Farhan. Ujung bibirnya sedikit terangkat seolah membayangkan kehidupan romantis rumah tangganya.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya