Amira Dzakiya
Tak lama lagi bulan Ramadan akan tiba. Itu berarti Mas Bayu akan segera pulang. Akhirnya, setelah menunggu selama dua bulan dan berpisah sementara selama beberapa bulan, kami akan kembali bertemu sekaligus merayakan bersama Idulfitri di Indonesia. Jujur, meskipun masih ada rasa sakit dalam hati, tetapi aku begitu merindukannya. Mas Bayu bilang kalau sebelum pulang, ia akan ke Madinah terlebih dahulu.
Aku jadi teringat ketika Mas Bayu mengajakku ke kota itu seminggu setelah kami umrah. Waktu itu kami memilih jalan darat dengan mengendarai mobil. Setelah menempuh delapan jam perjalanan, melintasi padang pasir dan perbukitan batu berwarna hitam, kami tiba dengan selamat di kota tempat hijrahnya Rasulullah. Madinah Al Munawarah. Berbeda dengan Mekkah, suasana di Madinah terasa lebih tenang. Dari jauh, aku sudah melihat menara-menara masjid yang menjulang tinggi. Semakin dekat, tampak jelas kubah hijau dan payung-payung putih besar di pelataran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kami tiba sesaat sebelum salat Magrib. Setelah menyimpan koper di hotel dan menyegarkan diri, aku dan Mas Bayu bergegas ke masjid untuk ikut salat berjemaah. Karena letak hotel hanya beberapa ratus meter saja dari masjid, kami tiba tepat ketika azan Magrib berkumandang. Sambil mengetatkan jaket, aku mempercepat langkah menuju tempat salat perempuan. Rencananya kami akan tetap di masjid hingga salat Isya.
Malam di Masjid Nabawi sungguh indah. Cahaya lampu yang berasal dari masjid dan hotel di sekitarnya menerangi malam yang seakan tak pernah sepi. Mas Bayu berjanji menungguku di Gate 15 karena setelah salat Isya kami akan makan malam di restoran Indonesia yang ada di salah satu gedung di area pintu tersebut.
Ada sedikit perasaan takut ketika harus berpisah dengan Mas Bayu karena di Masjid Nabawi tempat salat perempuan dan laki-laki berada di ruangan dan pintu yang berbeda, tidak seperti di Masjid Haram, Mekkah. Di Mekkah, meskipun terpisah, tempat salat perempuan dan laki-laki masih berada dalam satu area. Biasanya laki-laki di depan dan perempuan jauh di bagian belakang.
Aku menunggu salat Isya dengan membaca Al-Qur’an dan berzikir. Pandangan mataku menyapu ke setiap sudut masjid. Sungguh indah! Pilar-pilar putih berdiri tegak menyatu dengan atap yang sebagian akan terbuka pada jam-jam tertentu. Suhu sejuk karena pendingin udara dan karpet yang tebal membuat salat menjadi nyaman. Warna hitam abaya para perempuan Saudi mendominasi pemandangan di dalam masjid, tampak kontras dengan sebagian jemaah dari Indonesia yang kerap memakai mukena atau baju putih untuk salat.
Aku begitu bersyukur bisa mengunjungi dan melakukan salat di Masjid Nabawi. Aroma harum wewangian Arab yang menjadi ciri khas masjid ini menyentuh indra penciumanku, menimbulkan rasa tenang dalam hati. Tak terasa air mataku menetes satu demi satu saat mengucapkan salam kepada Rasulullah. Dada ini bergetar mengingat perjuangan dan pengorbanan Nabi Muhammad dalam menegakkan Islam.
Selesai salat Isya, sambil berjejal dengan jemaah perempuan lain, aku berusaha berjalan menuju tempat kami bertemu. Tiba di Gate 15, mataku langsung mencari sosok Mas Bayu. Namun, aku tidak menemukannya. Sedikit panik, aku mencari tempat agak kosong dan mulai menunggu. 15 menit berlalu, tidak ada tanda-tanda Mas Bayu datang. Aku berusaha meneleponnya, tapi tidak ada jawaban.
Sekarang aku benar-benar panik. Keringat dan air mata bercampur membasahi wajahku.
“Ke mana sih, kamu, Mas?” bisikku lirih. Tanganku gemetar meremas ujung jilbab.
Walaupun suasana masih cukup ramai, rasa takutku semakin besar. Akhirnya dengan memberanikan diri, kuputuskan untuk kembali ke hotel sendirian. Untunglah aku hafal jalan ke sana. Bibirku tak henti berdoa, mohon perlindungan Allah. Dadaku sesak menahan tangis dan marah. Sesampai di hotel, aku duduk di lobi untuk menenangkan diri. Tega sekali Mas Bayu. Ia meninggalkanku di tempat yang asing.
Di ujung rasa putus asa, tiba-tiba ponselku berdering. Cepat kulihat layar. Mas Bayu. Tanpa pikir panjang langsung kutekan tombol hijau.
“Kamu ke mana, Mas? Tega banget ninggalin aku sendirian. Kamu jahat!” Aku memberondong dengan pertanyaan, tanpa memberikan kesempatan Mas Bayu untuk bicara.
“Sabar, Mir! Kamu di mana? Aku cari dari tadi di masjid nggak ada. Kamu di mana sekarang?” tanya Mas Bayu dengan tenang.
“Aku nunggu kamu setengah jam lebih di Gate 15. Kamu ke mana, sih?” tanyaku keras. Aku tidak peduli tatapan orang-orang di lobi yang melihatku dengan heran.
“Lho, aku juga nunggu kamu di sana, Mir. Tadi memang aku ke kamar mandi, antre, jadi lama. Pas aku balik ke tempat nunggu, kamu nggak ada. Aku nyariin kamu sampai ke restoran, kirain kamu udah di sana.”
“Nggak mungkinlah aku ke restoran sendiri! Terus kenapa telepon nggak diangkat?” cecarku lagi.
“Nggak dengar, Mir. Kan kalau salat aku silent, supaya nggak ganggu,” jawab Mas Bayu tanpa rasa bersalah.
Ingin rasanya aku menjerit meluapkan kekesalan.
“Kamu di mana, Amira?” Suara Mas Bayu terdengar lagi.
Mulutku terkatup. Dadaku naik turun dengan wajah memerah.
Halaman : 1 2 Selanjutnya