Kirei langsung menutup hidung dengan kedua telapak tangan ketika asap dupa dan bau kemenyan memenuhi kamarnya. Ia tak menyangka Mama benar-benar mengundang orang pintar bernama Pak Nugroho itu. Padahal, Mama tahu kalau asap, bisa membuat dirinya sesak napas. Di atas kasur yang dibungkus seprei bunga sakura kesukaannya, ada sesajen berupa bakakak ayam kampung, pisang, apel merah, jeruk, kopi hitam, dan bunga tujuh rupa. Tak hanya itu, Pak Nugroho juga menyalakan dupa dengan menyipratkan kemenyan ke setiap sudut kamarnya. Hal itu membuatnya sangat geram.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Melihat kedatangan Kirei yang berteriak, Gayatri langsung menarik putrinya itu agar tidak mengganggu kegiatan Pak Nugroho yang sedang membersihkan kamar putrinya dari orang yang berniat jahat.
“Aduuh, Ma, sakit.” Kirei melepas pergelangan tangan dari cengkeraman Mamanya. Pergelangan tangannya terlihat memerah.
“Kamu, jangan ganggu Pak Nugroho, ya. Dia lagi bersihin kamarmu dari orang-orang yang berniat jahat. Semoga saja orang itu tidak mengirim guna-guna atau santet seperti kejadian yang dialami Papamu dulu,” ujar Gayatri sambil menatap Kirei tajam. Ia tahu, putrinya itu pasti menentang keras, apa yang dilakukannya. Karena itulah, ia tidak memberitahu Kirei.
“Ma, itu kamarku. Tempat pribadiku. Tolong, hargai, Ma,” ujar Kirei berharap sang mama mengerti. “Usia pernikahanku belum satu pekan, Ma. Kenapa Mama melakukan semua ini?”
“Ya, mumpung pernikahanmu masih baru. Kita harus cari tahu, apa arti kado berisi ular semalam? Sebelum kehadiran Attala, rumah kita aman-aman aja. Mama jadi curiga, kalau Attala pembawa sial.” Gayatri meluapkan semua hal yang mengusiknya semalaman hingga tidak bisa tidur nyenyak.
“Mama lupa kejadian waktu aku masih kecil? Kalau seperti itu, Papa juga pembawa sial, dong?” Kirei semakin emosi. Ia sudah tidak bisa menahannya lagi.
“Kirei, jaga bicaramu!” bentak Gayatri. Ia mengangkat tangan kanannya untuk menampar Kirei. Namun, ada satu tangan yang menahannya. Ia menoleh ke sebelah kanan. Ternyata, suaminya yang menahan tangannya.
“Gayatri.” Gumilar menatap Gayatri sambil menggeleng. “Attala, bawa istrimu ke kamar.”
Attala langsung merangkul pundak Kirei dan mengajaknya pergi ke kamar. Bukannya ke kamar, tetapi Kirei malah memilih untuk pergi ke dapur. Istrinya itu langsung duduk dan menelungkupkan kepala di atas meja. Tubuhnya berguncang, isak tangis pun terdengar. Ia mengelus punggung sang istri berharap dengan begitu bisa menenangkan hati.
Di dunia ini, masih banyak orang yang percaya akan dukun dan orang pintar. Padahal, banyak kasus negatif yang beredar tentang dukun ini. Mereka kadang memberikan syarat yang tidak masuk akal. Misalnya, harus tidur semalaman bersama sang dukun agar susuknya berhasil dipasang. Adalagi syarat yang harus memberikan sejumlah uang untuk digandakan, tetapi uang itu malah di bawa kabur oleh si dukun.
Attala percaya hal gaib itu ada. Namun, bukan berarti dia lantas mempercayai orang pintar dan ilmu perdukunan tetapi ia membiarkan Gayatri melakukan ritual pembersihan rumah untuk menghormati Mama mertuanua itu. Sayangnya, Gayatri tidak memberitahu tentang pembersihan kamar pribadi kepada Kirei karena memang kamar itu tempat yang paling privat dan tidak sembarang orang bisa masuk ke sana, selain orang yang memang dipercaya.
“Kenapa Mama mengizinkan dukun itu masuk ke kamar kita, Mas? Bukankah Mama juga tahu kalau kamar itu bersifat pribadi. Semestinya Mama izin dulu ke kita. Apalagi, tadi Mama bilang kalau ….” Kirei tidak melanjutkan kata-katanya karena takut menyakiti hati Attala.
“Pembawa sial?” Attala melanjutkan perkataan Kirei. Tadi, ia sempat mendengar perkataan mama mertuanya, kalau ia ‘pembawa sial’.
“Mas, denger?” Kirei duduk dengan tegak, lalu menghapus air matanya.
Attala menganggukkan, lalu mengelus pipi Kirei dengan tangan kanannya.
“Mas enggak sakit hati?” Kirei ingin memastikan, kalau Attala tidak marah dan berniat untuk pisah setelah mendengar perkataan mamanya.
“Untuk apa Mas sakit hati? Kita harus berpikir positif aja, ya. Mama hanya sedang khawatir saja. Mama melakukan semua ini karena sayang sama kita,” ungkap Attala sambil tersenyum manis.
Mendengar kata-kata bijak yang keluar dari mulut Attala, Kirei spontan memeluk suaminya itu. Tuhan memang tidak salah menjatuhkan hatinya pada sosok pria seperti Attala Atma Prasetyo. Saat pertama bertemu, ia langsung jatuh hati pada sosok Attala. Dari luar, wajah Attala terlihat dingin dan datar, tetapi saat ia melihat sikapnya yang lembut pada Maya. Seketika itu, hatinya langsung terpaut pada pria itu. Zaman sekarang, sulit menemukan pria seperti itu. Ia bersyukur tidak salah memilih pendamping hidup setelah dulu pernah tersakiti oleh pria yang dicintainya.
“Pantas saja, aku tidak melihat Bi Minah siang ini. Ternyata, Bi Minah disuruh Mama untuk mempersiapkan sesajen.” Kirei kembali ngomel-ngomel.
“Sudahlah, jangan ngomel lagi. Ngomong-ngomong, Jjajangmyeon-nya sudah jadi?” Attala teringat masakan yang mereka masak bersama.
“Ya ampun, aku sampai lupa.” Kirei melepas pelukannya. “Sudah selesai, kok, Mas. Tadi, aku terima telepon dulu dari Clara yang meminta dikirimkan sketsa gaun pengantin untuk Miss Lee. Jadi, aku tinggalin dulu. Kayaknya udah dingin, deh, Mas.”
Halaman : 1 2 Selanjutnya