Bab. 3
Sering kali kenangan masa-masa indah bersama Haura turut hadir secara tiba-tiba. Aku harus bisa menjaga perasaan Tiwi saat bersamanya, sebagaimana aku menyembunyikan perasaanku pada Tiwi saat sedang bersama Haura.
Di saat ragaku sedang bersama Tiwi, terkadang rasa rindu pada sosok Haura datang menyapa. Di saat itulah aku lebih senang menyendiri, agar bisa menikmati rasa rindu itu. Rindu akan kenangan saat-saat awal aku bertemu dan mengenalnya, hingga aku mengagumi dan jatuh cinta padanya. Kenangan yang selalu membangkitkan kembali rasa cinta pada Haura, yang sering kali teralihkan saat aku bersama Tiwi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat itu, aku bertemu dengannya untuk pertama kali di sebuah cafe. Saat itu, usiaku belum memasuki kepala tiga. Aku masih merasa belum terlalu memikirkan tentang pernikahan. Aku masih merasa belum saatnya untuk menikah di usia muda. Aku masih ingin menghabiskan masa mudaku untuk bersenang-senang dan berpetualang melakukan hal-hal yang menantang adrenalin.
Berawal dari sebuah insiden kecil. Insiden yang membuatku semakin terpesona dengan perempuan yang cantiknya bak bidadari ini. Sore itu, seperti biasanya aku mengunjungi cafe Cherry and Coffee yang terletak di pinggiran kota Bandung. Aku sering menghabiskan waktu untuk sekadar nongkrong sambil minum kopi menikmati senja.
Seorang perempuan muda yang saat itu sedang memundurkan mobilnya yang akan keluar dari area parkir di Cherry and Coffee. Tanpa sengaja mobil yang dikendarainya menyenggol body motorku hingga motorku roboh dan terguling. Aku yang saat itu memilih duduk di luar cafe, langsung bergegas mendekat area parkir setelah mendengar suara benda tersebut.
Aku segera memperbaiki posisi motorku. Seseorang keluar dari mobil tersebut. Ternyata seorang perempuan. Ia mengenakan pakaian yang serba serasi, sopan untuk dipandang mata. Kemeja biru pastel dipadukan dengan celana kain berwarna khakky, kepala yang terbalut rapi oleh kerudungnya memberi nilai lebih penampilannya.
Penampilannya yang menarik, tubuh yang tidak terlalu tinggi. Wajahnya yang cantik dan teduh membuatku terpana.
“Itu motor Masnya?” tanya gadis cantik itu. Ia terlihat panik. Ya Tuhan, dalam keadaan paniknya saja gadis sangat manis, apalagi saat dia lagi senang.
“I-iya, ini motor saya.” Tiba-tiba saja lidahku kelu untuk menjawabnya.
Aku kembali memeriksa motorku. Rupanya ada kerusakan sedikit. Kaca spion pecah dan badan motorku tergores.
“Aduh, maaf, ya, Mas. Saya nggak sengaja. Saya lagi buru-buru ada sesuatu yang harus aku selesaikan dengan segera. Apakah ada yang rusak dengan motornya, Mas?”
“Sedikit, sih, tapi tidak apa-apa. Tidak terlalu fatal.” Aku menjawab dengan canggung.”
” Maaf sekali lagi, ya. Mas. Kalau ada yang rusak saya siap tanggung jawab, kok.”
“Nggak usah, Mbak. Terima ka-sih ….”
“Baiklah, terima kasih, Mas. Sekali lagi saya mohon maaf, ya, atas kecerobohan saya. Kalau begitu saya pamit permisi.” Ia kembali meminta maaf, lalu berpamitan meninggalkanku.
Aku mengecek ulang kondisi motorku, lalu, kembali ke cafe dan menikmati suasana senja yang indah.
Suasana cafe semakin ramai. Pengunjung mulai berdatangan. Cahaya lampu menambah indah suasana malam di cafe ini. Aku menikmati secangkir kopi V60 dan bermain ponsel sembari menunggu Desta, teman kantor sekaligus sahabatku sejak masa kuliah dulu. Aku dan Desta sering menyempatkan waktu setelah pulang kantor buat nongkrong atau futsal bareng bersama dengan teman kantor yang lain.
Tak lama kemudian Desta muncul. Aku mengangkat tangan ke arahnya agar Desta mengetahui posisi mejaku. Ia mendekat ke arah meja tempatku duduk.
“Sorry, Fan, lama nunggu, ya. Tadi agak macet dikit kayaknya ada kecelakaan,” ucap Desta sambil menarik kursi, lalu duduk di hadapanku.
Aku memperbaiki posisi duduk. “Santai, aja!” kelakarku.
“Gue laper, nih. Pesen makan dulu, ya,”
Desta pun memanggil seorang pelayan cafe untuk memesan makanan. Setelah ia menentukan pesananya, sang pelayan mencatatnya, lalu meninggalkan meja kami.
“Ta, barusan gue mengalami kejadian apes tapi sekaligus menyenangka, ” tuturku.
Desta mengerutkan dahi, “Hah, apes tapi menyenangkan? Maksud lu gimana, sih?” tanya Desta yang sedikit kebingungan.
“Iya. Pertama motor gue ditubruk mobil yang mau keluar area parkir sampai ambruk.”
“Terus motor Lu gimana?”
“Amanlah, cuma pecah doang, bisa diganti. Nah, yang kedua ini yang gue bilang menyenangkan.”
Aku berhenti sejenak, menyeruput kopi. “Tahu nggak, Lu ternyata yang keluar dari mobil itu seorang perempuan spek bidadari. Ukhti cantik, anggun, idaman banget buat jadi calon istri,” tuturku dengan semangat.
“Ah, Lu mah kucing dibedakin aja Lu bilang cantik, kan. Dasar mata keranjang, player kampung!” kelakar Desta. Kami berdua pun tertawa.
Kami melanjutkan menghabiskan malam dengan mengobrol ringan. Selalu ada saja topik yang seakan tak pernah habis untuk dibahas kalau berbincang dengan sahabatku ini. Tak terasa waktu sudah semakin malam dan satu jam lagi cafe ditutup. Kami akhirnya pulang.
Sepanjang perjalanan hatiku terasa berbunga-bunga. Saat aku melintasi jalanan di titik ampu merah terlama di Kota Bandung ini yang menyala saat ini bisa kunikmati dengan santai tanpa menggerutu. Pokoknya malam ini adalah malam yang paling indah.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya