Kebebasan beragama yang dirasa tidak didapat oleh 2 warga Cipayung ini membuat mereka mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Dua warga dari Cipayung, Jakarta Timur, Raymond Kamil dan Indra Syahputra, telah mengambil langkah hukum yang berani dengan mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan ini menyoroti isu yang sudah lama menjadi perdebatan di masyarakat, yaitu pengisian kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Raymond dan Indra, yang mengidentifikasi diri mereka sebagai individu tanpa agama, menyatakan bahwa mereka telah mengalami kerugian konstitusional akibat kebijakan yang ada.
Isi Gugatan Kebebasan Beragama 2 Warga Cipayung kepada MK
Dalam gugatan yang mereka ajukan, kedua pemohon mengeluhkan bahwa peraturan pemerintah mengenai pengisian kolom agama membatasi kebebasan beragama mereka.
Menurut mereka, kolom agama yang tersedia dalam KTP hanya mencantumkan beberapa pilihan agama tertentu, sementara pilihan untuk tidak menganut agama atau kepercayaan tidak diakomodasi.
Hal ini membuat mereka terpaksa berpura-pura mengikuti agama tertentu demi mendapatkan layanan publik yang seharusnya menjadi hak mereka, seperti pembuatan KTP dan proses pernikahan.
Raymond menambahkan bahwa dirinya ingin menikah kembali, tetapi merasa terhambat oleh kebijakan yang tidak memungkinkan ia untuk melakukannya secara jujur tanpa harus mengklaim dirinya sebagai penganut agama yang tidak sesuai dengan keyakinannya.
Ia merasakan tekanan sosial yang besar untuk memenuhi ekspektasi masyarakat dan peraturan hukum yang ada.
Dalam situasi ini, mereka merasa hak-hak konstitusional mereka terancam dan berpendapat bahwa peraturan yang ada perlu ditinjau ulang untuk memberikan ruang bagi kebebasan beragama yang lebih luas.
Tanggapan MK
Pada sidang pendahuluan perkara nomor 146/PUU-XXII/2024 yang digelar di gedung MK pada Senin, 21 Oktober 2024, hakim MK memberikan nasihat panjang lebar kepada para pemohon.
Dalam persidangan tersebut, pemohon membacakan petitum yang meminta MK mengubah pasal-pasal dalam lima undang-undang.
Setelah mendengarkan petitum pemohon, hakim MK bergantian memberikan nasihat kepada pemohon.
Salah satu hakim, Arief Hidayat, mengingatkan pemohon tentang sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Mahkamah itu sebagai The Guardian of State Ideology (Penjaga Ideologi Bangsa). Dalam ideologi bangsa, yang sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,” tuturnya.
Ia juga meminta para pemohon untuk melengkapi legal standing dalam gugatannya serta menjelaskan lebih lengkap tentang kerugian hak konstitusional yang dialami.
Hakim Enny Nurbaningsih mengaku baru pertama kali menangani gugatan terhadap banyak undang-undang dari satu pemohon.
Dia menyatakan bahwa tindakan Raymond Kamil dan Indra Syahputra akan membuat proses persidangan menjadi lebih rumit.
Enny meminta pemohon untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai kerugian hak konstitusional yang dialami sebagai orang yang tidak memeluk agama atau kepercayaan.
Respon Publik dan Tanggapan Media Sosial
Gugatan ini menjadi sorotan publik, terutama di media sosial, di mana banyak netizen memberikan tanggapan yang beragam.
Beberapa warganet menyambut positif langkah ini sebagai perjuangan untuk hak asasi manusia dan kebebasan beragama.
Mereka berpendapat bahwa setiap individu harus memiliki hak untuk menentukan keyakinan atau tidak beragama tanpa tekanan dari pihak manapun.
“Setiap orang berhak mendapatkan pengakuan akan identitasnya, termasuk yang tidak beragama,” tulis salah satu komentar.
Namun, tidak sedikit juga yang menganggap langkah ini bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Beberapa netizen mengekspresikan kekhawatiran bahwa jika gugatan ini dikabulkan, hal tersebut dapat mengancam landasan ideologi negara.
“Jika MK mengabulkan gugatan ini, bisa jadi Pancasila akan diabaikan,” komentar warganet lainnya.
Perdebatan ini mencerminkan kompleksitas isu kebebasan beragama di Indonesia, di mana identitas keagamaan sering kali menjadi bagian integral dari kehidupan sosial.
Tantangan Hukum dan Kesimpulan
Kasus ini tidak hanya menyentuh aspek hukum, tetapi juga mencerminkan tantangan sosial yang lebih luas.
Di Indonesia, di mana agama sering kali menjadi identitas kultural, isu ini mengundang diskusi mengenai bagaimana seharusnya negara mengatur kebebasan beragama dan kepercayaan.
Ada perdebatan yang lebih dalam mengenai apakah negara seharusnya terlibat dalam pengaturan keyakinan individu atau membiarkan masing-masing orang untuk menentukan keyakinan mereka sendiri tanpa intervensi.
Gugatan ini juga diharapkan dapat membuka dialog lebih lanjut tentang pluralisme dan toleransi dalam masyarakat Indonesia yang beragam.
Masyarakat diharapkan dapat menghargai perbedaan pandangan, termasuk dalam hal keyakinan dan kepercayaan.
Jika MK mengabulkan gugatan ini, itu dapat menjadi momen penting dalam sejarah hukum Indonesia, yang mungkin akan memicu perubahan regulasi yang lebih inklusif.
Halaman : 1 2 Selanjutnya