Novel : Hitam Putih Pernikahan (Bab 9)
“Bu,” teriak Bi Minah sambil berlari menuju ruang makan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gayatri yang sedang membuatkan kopi hitam dengan gula satu sendok makan menoleh ke arah asisten rumah tangganya itu. “Ada apa, Bi?”
“I-it-u…A-an-anu.” Bi Minah berkata dengan terbata-bata sambil mengatur napas.
“Coba, tenang dulu, Bi. Terus, jelasin pelan-pelan.” Gumilar ikut nimbrung. Koran yang sedang dibaca, ia letakkan dulu.
“Itu, Pak. Sesajen di kamar Non Kirei habis setengahnya,” jelas Bi Minah tanpa terbata-bata karena sudah menenangkan diri.
Gayatri terperangah mendengar perkataan Bi Minah. Ia memang menyuruh Bi Minah untuk membersihkan kamar Kirei dan membuang sesajen yang diletakkan di bawah kasur.
“Beneran, Bi?” tanya Gayatri memastikan.
“Saya enggak bohong, Bu. Ayo, kita ke kamar Non Kirei kalau ibu tidak percaya,” ajak Bi Minah.
Gayatri meletakkan kopi yang sudah dibuatnya ke hadapan Gumilar. Kemudian, ia mengikuti Bi Minah yang berjalan duluan.
Kopi hitam buatan Gayatri tidak lagi menarik perhatian Gumilar. Ia malah ikut-ikutan penasaran dan beranjak dari tempat duduknya, lalu mengikuti asisten rumah tangga dan istrinya.
Bi Minah menunjukkan makanan sesajen yang hampir habis setengahnya, kecuali kopi hitam yang masih utuh. Itu bukti kalau rumah majikannya ini ada penunggunya. Hatinya mulai merasa was-was kalau ia kebangun tengah malam atau ada pekerjaan dapur yang harus dikerjakan subuh-subuh sekali.
“Tuh, kan, Pa, ada orang yang berniat jahat sama keluarga kita. Kata Pak Nugroho, kalau sesajen ini tidak utuh, berarti kita harus pindah dari rumah ini.” Gayatri menarik Gumilar ke depan untuk menyaksikan sesajen yang sudah tidak utuh lagi.
Gumilar menatap pada tampah bambu di lantai kamar Kirei. Dulu semasa kecil, dia pernah tinggal di rumah Kakeknya yang masih berdarah biru Keraton Yogyakarta. Pada hari-hari tertentu sang Kakek membuat sesajen dengan berbagai macam isian. Sesajen berasal dari kata sa yang bermakna tunggal, sedangkan saji berasal dari kata aji yg bermakna ajaran. Sehingga dapat diartikan sesaji atau sasaji adalah cara atau ajaran dalam menyembah Tuhan.
Tidak sampai di situ saja, sang kakek juga mengajarkan bahwa sesajen adalah bentuk upaya menyelaraskan ketimpangan alam semesta dengan menyatukan diri bersama alam. Sehingga terjadi keseimbangan antara manusia sebagai jagat alit (dunia kecil) dan alam semesta sebagai jagat besar (dunia besar). Sesajen dibuat oleh manusia sebab manusia memiliki posisi memayu Hayuning Bawono, yakni makhluk yang bertugas menjaga, merawat, dan mengelola apa yang ada di dunia ini supaya harmonis. Namun seiring berjalannya waktu dan bertambahnya wawasan, Gumilar yakin bahwa sesajen itu bukankah perkara yang logis sehingga harus dilakukan. Dia yakin, bahwa upaya menjaga keseimbangan alam semesta adalah dengan menjaga ekosistem makhluk hidup yang berada di dalamnya. Bukan dengan menyajikan makanan kepada jin penunggu rumah.
Attala dan Kirei yang baru saja keluar dari kamar, mendengar keributan dari arah kamar Kirei. Mereka berdua saling pandang. Akar keributan yang terjadi, pasti perihal sesajen yang mereka makan semalam.
Gayatri dan Gumilar berdebat tentang masalah pindah rumah yang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi, mereka baru menempati rumah itu selama hampir lima tahun. Selama itu, tidak terjadi apa-apa, baru kali ini saja hal aneh terjadi.
Mendengar perdebatan kedua orangtuanya, Kirei menyenggol lengan Attala. Ia memberi isyarat agar suaminya itu menjelaskan hilangnya sesajen itu.
“Ma, Pa, sebenarnya….” Attala menggantung ucapannya sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.
“Apa, Attala?” Gumilar menoleh ke arah Attala dengan penuh tanda tanya.
“Sebenarnya, bukan setan atau jin yang makan sesajen itu, Ma, Pa. Tapi, Attala dan Kirei yang memakannya,” jelas Attala sambil nyengir.
Gayatri dan Gumilar saling pandang. Begitu juga, Bi Minah yang manggut-manggut. Kemudian, Attala pelan-pelan menjelaskan alasannya memakan sesajen itu dengan hati-hati. Ia takut mengeluarkan kata-kata yang bisa menyakiti hati mama mertuanya. Ia percaya makhluk gaib itu ada, bahkan ilmu hitam seperti santet, teluh, dan pelet juga ada. Namun, jika iman kita kuat untuk menghadapinya, ilmu-ilmu hitam semacam itu tidak akan mempan. Tinggal, bagaimana cara untuk terus meningkatkan keimanan. Masing-masing orang punya caranya sendiri.
Setelah menjelaskan semua perbuatannya, Attala berulangkali meminta maaf kepada mama mertuanya. Ia sampai mencium punggung tangan mama mertuanya itu. Sang istri yang ada di sampingnya juga meminta maaf karena ikut memakan sesajen.
“Kalau dipikir-pikir, Papa setuju dengan perkataan Attala. Setiap Mama melakukan ritual dan menyiapkan sesajen. Makanan-makanan dalam nampan sesajen itu malah dibuang begitu saja. Padahal di luar sana, masih banyak orang yang kelaparan. Kalau saja, makanan untuk sesajen diberikan pada mereka, pasti mereka sangat bahagia dan bersyukur. Namun, kita malah membuang-buang rezeki dengan cara yang tidak disukai Tuhan.” Gumilar membenarkan perkataan Attala. Ia berharap kejadian ini, menyadarkan istrinya.
“Tapi, waktu Papa kena santet orang, Pak Nugroho yang bantuin Papa sampai sembuh. Berarti, ilmu santet itu ada.” Gayatri tak mau kalah.
“Mama tahu sendiri 10 tahun yang lalu, ibadah Papa seperti apa? Salat jarang. Apalagi, ngaji.” Gumilar terpaksa bicara tentang dirinya di masa lalu yang sangat jauh dari Tuhan. Maka, wajar saja, kalau ia dengan mudah terkena kiriman santet dari rekan yang ingin menyingkirkannya.
Gayatri terdiam mendengar ucapan suaminya. Ia tak menyangka suami dan menantunya itu begitu menghargai dan menghormati keputusan yang diambilnya. Meskipun, dalam hati Attala tidak membenarkan perbuatannya itu. Ia tahu dalam agama yang dianutnya, percaya pada dukun dan paranormal termasuk perbuatan syirik. Ternyata melalui menantunya, ia sadar sudah menyekutukan Tuhan dengan keyakinan yang keluarganya turunkan secara turun temurun.
Gumilar menyuruh Bi Munah untuk membuang sisa sesajen dan membersihkan kamar Kirei agar bisa digunakan lagi.
“Nah, mening sekarang kita sarapan dulu.” Gumilar teringat nasib kopi hitam yang pasti sudah dingin. “Apa rencana kalian berdua hari ini?” Ia mengalihkan pandangan pada Attala dan Kirei.
“Attala sama Kirei mau lihat rumah di Menteng, Pa. Kemarin Mama Maya memberitahu lewat chat, kalau rumah yang akan Attala tempati bersama Kirei sudah selesai. Sekalian, ngurusin acara unduh mantu juga. Papa sama Mama mau ikut?” ajak Attala. Ia merasa acara unduh mantu harus melibatkan kedua belah pihak.
“Mama ikut Attala,” ujar Gayatri penuh semangat. Ia penasaran dengan rumah yang akan putrinya tempati. Apalagi, rumah itu berada di daerah elit.
“Kayaknya, Papa nyusul. Ada beberapa pekerjaan kantor yang harus Papa selesaikan plus satu meeting bersama klien,” ujar Gumilar.
Selagi Bi Minah membersihkan kamar Kirei. Gumilar, Gayatri, Attala dan Kirei meninggalkan kamar dan berjalan menuju ruang makan untuk melanjutkan acara sarapan yang sempat tertunda karena masalah sesajen.
Baru saja dua hari pasca pernikahan, Attala banyak mendapatkan kejutan-kejutan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun, berkat kejadian itu, Ia dan Kirei semakin dekat dan mulai memahami satu sama lain. Hanya satu hal yang belum bisa ia ceritakan pada istrinya yaitu sebuah rahasia tentang dirinya di masa lalu.
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel