Novel : Room for Two Bab 9: Jadwal Hari Sial
Selama beberapa minggu berikutnya, tidak ada badai yang berarti dalam rumah tangga kami. Selain karena aku sudah menjaga sikap dengan lebih baik di hadapan Reivan, aku juga mulai bisa beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaannya.
Aku tahu Reivan selalu bangun jam setengah lima pagi untuk lari keliling kompleks sebelum kemudian mandi dan siap-siap berangkat kerja. Khusus hari Sabtu dan Minggu, ia akan menambah waktu lari paginya menjadi satu jam lebih lama. Setelah itu, ia akan menyibukkan diri mencuci mobil-mobilnya sampai siang hari.
Aku tahu Reivan tidak suka makanan pedas dan kopi. Ia juga tidak suka makan malam. Jus pisang susu adalah menu pengganti makan malamnya yang harus selalu ada sebelum ia pergi tidur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain hal-hal itu, aku juga tahu bahwa Reivan selalu tidur di atas jam sebelas malam. Aku tahu ia selalu tidur menggunakan kaus dalam dan aku tahu ada tato RV di belakang lehernya.
Aku tahu ia senang nonton film dokumenter—kami beberapa kali nonton bersama di ruang keluarga, dan aku tahu ia juga tidak punya teman nongkrong sehingga selalu langsung pulang tiap selesai bekerja. Aku sudah tahu banyak hal tentangnya.
Belakangan, Reivan juga tidak lagi mengomentari hubunganku dengan Alston, mungkin karena Alston tidak pernah menampakkan batang hidungnya di depan Reivan. Aku sendiri memang sudah mengondisikan agar hanya bertemu Alston di hari dan jam kerja, di tempat yang jauh dari rumah Reivan. Dengan begitu, aku dan Reivan akan bisa mencitrakan kehidupan pernikahan yang baik-baik saja, bahkan di mata Mbak Monic, Bu Lia, dan Dewi yang kepo.
Sesekali, saat kebetulan Reivan libur dan aku harus bertugas ke lapangan, ia akan pergi mengantarku ke tempat liputan. Ia juga tidak keberatan menemaniku menunggu press release yang biasanya molor dari waktu yang dijadwalkan. Sebulan terakhir aku bahkan tidak perlu khawatir Reivan akan berpapasan dengan Alston di lokasi liputan, karena kekasihku itu harus pulang kampung ke Balikpapan untuk mengurus ibunya yang sakit.
Dan begitulah, setelah pertengkaran kami beberapa waktu lalu itu, Reivan benar-benar menjadi teman serumah yang menyenangkan. Ia tidak semenyebalkan yang kusangka, hingga tak terasa kami sudah sampai di bulan pernikahan yang kelima.
***
Waktu baru menunjukkan pukul 10 lebih sedikit ketika aku tiba di rumah. Saat hendak memasukkan mobil ke garasi, mataku menangkap sepasang sepatu putih Under Armour di depan pintu ruang tamu. Hatiku langsung dag-dig-dug tak keruan karena satu, aku mengenali pemilik sepatu itu, dan dua, pintu ruang tamu tidak pernah terbuka lebar kecuali ada tamu yang bertandang.
Buru-buru kuparkirkan mobil lalu berlari memasuki rumah. Benar saja, Dewi bilang “sepupuku” datang. Langsung kutemui Alston yang sedang duduk di sofa ruang tamu sambil menunduk memainkan ponsel.
“Bee!”
Alston langsung mendongak begitu mendengar panggilanku. Ia segera berdiri sambil menyengir. Wajahnya terlihat kusut.
“Kenapa ke sini?” bisikku. Aku tidak berani bersuara keras karena dinding-dinding di rumah Reivan bertelinga. “Kan udah kubilang jangan datang ke sini. Kamu kapan pulang? Ibumu gimana kondisinya, udah sehat?”
“Satu-satu, dong, nanyanya, Hun.” Alston balas berbisik. “Aku udah ngabarin kalau aku bakal sampai di Bandung sekitar jam sepuluh, tapi kamu enggak jawab.”
“Hapeku ketinggalan, makanya aku balik lagi.”
“I see … ini kita ngobrolnya harus kayak gini terus, nih?”
Aku berdeham sambil memperbaiki posisi duduk. Kudekati Alston agar kami bisa berbicara sedikit lebih normal.
“Bee ….”
Bertepatan dengan itu Dewi datang membawa dua gelas sirup ke ruang tamu.
“Ibu sama Pak—”
“Pak Abi.” Aku memotong, berusaha menyamarkan sapaan Bee yang mungkin telanjur didengar Dewi. “Kenapa?”
“Mau saya siapin makan siang apa?”
“Oh, enggak. Kami mau langsung pergi. Sebentar aku ke kamar dulu, mau ambil hape.”
Kutinggalkan Alston tanpa bicara apa-apa lagi. Tidak sampai lima menit kemudian aku sudah kembali di tempat semula.
Segera saja kusuruh Alston menghabiskan minumannya. Setelah itu kuminta Alston menunggu di teras.
“Bu Lia mana?”
Dewi memberi tahuku bahwa orang yang kucari sedang berada di tempat jemuran.
“Ini buat jajan kamu.” Kujejalkan selembar uang lima puluh ribuan ke tangan Dewi sebagai sogokan agar ia tidak banyak bicara tentang kedatangan Alston. “Saya mungkin pulang agak malam, kamu boleh pulang duluan, enggak usah nunggu. Ngerti?”
Lima belas menit kemudian, aku dan Alston sudah berada di dalam mobil menuju kafe tempat kami biasa bertemu. Di sepanjang perjalanan itu, aku harus berusaha memfokuskan perhatian ke lalu lintas yang padat, juga ke Alston yang sedang menceritakan kondisi ibunya.
“Mama kemarin harus operasi. Kebetulan aku lagi enggak ada uang jadi aku lepas mobil—”
“Tunggu … kamu ngejual mobil kamu? Yang bener, Bee?”
Alston mengangguk dengan wajah muram.
Ah, sayang sekali. Padahal mobil itu adalah mobil yang diidam-idamkan Alston. Aku ingat bagaimana ia begitu menginginkannya. Aku kemudian berinisiatif membantu Alston mendapatkan mobil itu dengan membayarkan DP-nya hingga cicilan ketiga. Belum juga lunas, Alston malah harus melepasnya begitu saja.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya