Novel : Room for Two Bab 13: Berita yang Bikin Bencana
Alston merebut laptopku lalu mengetik secepat jarinya bisa menari di atas kibor. Ia, yang katanya sangat murka ketika tahu Reivan menamparku, menumpahkan kemarahannya itu dengan menulis artikel di CMS. Entah apa yang ia tulis di sana, aku sedang tidak mampu memperhatikan.
“Sakit aku Bee. Udah nampar aku, terus dia seenaknya mau nyerein aku. Harusnya aku! Harusnya aku yang harusnya ngajuin gugatan cerai duluan.”
Air mataku tumpah lagi. Tak bisa kubayangkan jika nanti Papa dan Mama membaca berkas gugatan perceraian yang diajukan Reivan. Aku juga tidak berani membayangkan reaksi mereka setelah membaca hal-hal apa saja yang membuat Reivan memutuskan berpisah denganku, bagaimana kalau salah satunya adalah karena aku dianggap telah berselingkuh?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Aku mau mati aja rasanya!”
“Shh! Shh! Shh!”
Alston memelukku lalu membungkus tubuhku menggunakan tubuhnya.
“Maaf … ini gara-gara aku. Gara-gara aku kamu harus mengalami semua hal buruk ini. Seharusnya waktu itu kita udahan aja—”
“Kamu jangan gitu, dong, Bee!” Kudorong pundak Alston. Kesal sekali rasanya mendengar kata-kata semacam itu keluar dari mulutnya. “Setelah semua yang kukorbankan buat kamu, harusnya kamu jangan nyerah sama aku!”
“Maaf—”
“Aku enggak punya siapa-siapa lagi selain kamu, Bee! Aku harus ke mana kalau kamu ninggalin aku juga? Please, jangan tinggalin aku. Seandainya Reivan bener nyerein aku, terus Papa sama Mama nyoret aku dari kartu keluarga, please, kamu harus bawa aku. Aku enggak peduli lagi.”
Alston tidak membalas kata-kataku. Ia hanya sibuk mengusap air mataku dan mengecup kening serta kepalaku.
“Kamu harus janji, Bee. Jangan tinggalin aku. Janji, Bee!”
“Aku janji.”
Malam itu, di tempat yang sama, di kasur yang sama, dan bersama orang yang sama pula, kupu-kupu kembali beterbangan memenuhi tiap rongga tubuhku. Tidak ada gelenyar istimewa seperti sebelumnya, yang kurasakan saat itu hanyalah nyeri yang berganti-ganti dan bertubi-tubi, yang terus-menerus mendera tubuh dan pikiranku. Namun, melihat Alston terlelap di sebelahku dengan sebelah tangannya menggenggam tanganku, aku tahu aku akan baik-baik saja.
***
Akan tetapi, keberuntungan tidak berpihak kepadaku. Pagi hari setelah malam itu, aku harus menjalani hari dengan perasaan jauh lebih buruk dibanding sebelumnya.
“Ibuku anfal,” kata Alston. “Aku harus pulang.”
“Sekarang? Hari ini banget?”
Alston mengangguk. Wajahnya murung.
Tidak-tidak-tidak. Aku tidak bisa ditinggal sendirian. Aku tidak mau. Aku harus ikut. Aku harus kabur bersama Alston. Aku sudah tenggelam, hanya Alston yang bisa menjadi pelampungku.
“Aku ikut.”
Gerakan tangan Alston yang sedang merapikan pakaian langsung terhenti. Ia menatapku dengan pandangan mengiba. “Maaf, tapi aku enggak bisa bawa kamu ke sana, Hun. Ibuku sakit, sekarang bukan saat yang tepat untukmu berkunjung.”
“Aku enggak akan ganggu kamu dan keluargamu di sana, Bee, aku cuma mau ada di deket kamu. Siapa tahu aku juga bisa bantu kamu.”
Alston mendatangiku lalu memegang kedua bahuku. “Hun, kamu enggak bisa ikut. Percaya, deh, aku tahu keluargaku. Aku enggak mau kamu malah terbebani sementara kamu juga lagi banyak masalah di sini.”
“Tapi setengah masalahku ilang kalau ada kamu, Bee. Aku enggak mau sendirian!”
“Kamu boleh stay di sini selama yang kamu mau. Tunggu aku, nanti aku balik lagi. Sekarang tolong bantu aku, ya, aku mau siap-siap dulu. Aku harus ke sana dengan keberangkatan tercepat.”
Kubiarkan Alston melakukan persiapan. Ia membereskan semua pakaiannya, seakan-akan tidak akan pernah datang lagi ke sisiku. Namun, tiap kali aku menyuarakan kekhawatiran itu, Alston selalu meyakinkanku bahwa kepergiannya hanya sementara. Dan aku … aku tidak punya pilihan lain selain mempercayainya.
Sambil membantu Alston melakukan persiapan, beberapa panggilan telepon terus-menerus masuk ke ponselku. Dari Mama, dari Bu Nawang, dari Bu Lia, dari Mbak Monic, tapi tidak ada dari Reivan. Aku benar-benar tidak mau tahu apa yang membuat mereka menghubungiku secara bersamaan, aku juga tidak berani mencari tahu meski mereka mengirimiku pesan berkali-kali. Karenanya, kusetel saja ponsel itu dalam mode hening. Dengan demikian aku tidak perlu merasa bersalah karena tidak menerima panggilan-panggilan itu, atau tidak membaca pesan-pesan yang mereka kirimkan.
“Nanti kamu harus rajin-rajin telepon aku, ya?”
Alston mengangguk. “Tiga kali sehari, biar kayak minum obat,” katanya. “Atau kalau belum cukup, sehari sepuluh kali, sampai telinga kita sama-sama panas karena kebanyakan ngobrol di telepon.”
“Janji, ya?”
“Janji, Hun.”
Menaiki mobil yang kukendarai, aku mengantar Alston menuju pool shuttle yang akan membawanya ke Jakarta. Dari sana nanti Alston akan menaiki pesawat dengan tujuan Balikpapan.
Di saat-saat menunggu itu, meski Alston terus membelai tanganku dan kadang mengecupnya, suasana hatiku tetap buruk dan tidak membaik sama sekali sekali. Aku masih marah karena perlakuan Reivan, aku tambah marah karena Alston harus terbang ke Balikpapan. Aku merasa Tuhan dan seisi alam semesta sedang berkonspirasi melakukan hal-hal buruk kepadaku.
Halaman : 1 2 Selanjutnya