Novel : Room for Two Bab 15: Kita Paksa Bikin Romantis
Dua hari berikutnya aku terpaksa diistirahatkan di rumah sakit yang sama dengan Papa, dan karena kamar kami bersebelahan, aku jadi bisa bolak-balik menjenguknya. Papa terlihat senang sekaligus lega ketika melihatku baik-baik saja. Hal itu membuatku menyadari satu hal, bahwa meski selalu bersikap keras dan tegas kepadaku, ternyata Papa amat menyayangiku. Kata abangku, Papa adalah orang yang paling terluka ketika mendengar kabar aku “dipukuli” Reivan.
Maka, mengikuti kemauan Bang Hadi—dan demi menenangkan Papa—kuturuti permintaannya untuk melakukan general medical check up. Aku mengizinkan para dokter melakukan pemeriksaan menyeluruh. Hasilnya memang tidak langsung keluar, tapi dari konsultasi seusai pemeriksaan dapat disimpulkan bahwa mereka tidak menemukan adanya luka luar, luka dalam, atau semacamnya di tubuhku.
Yah … tentu saja, sudah kuduga hasilnya akan begitu. Reivan memang tidak pernah memukuliku. Itu adalah kenyataan pahit yang harus diterima semua orang, sebab setelah Papa jatuh sakit dan Bang Hadi main hakim sendiri, ternyata tindak KDRT yang dituduhkan kepada Reivan tidak ada yang terbukti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untung saja Mbak Monic bertindak cepat—dan berani, kalau kubilang—dengan menghapus artikel itu sebelum menjaring lebih banyak pembaca. Aku tak kuasa membayangkan bagaimana jika artikel itu masih beredar di portal SKB, mungkin Papa akan membunuhku karena telah menyebarkan berita bohong dan membuatnya terkena serangan jantung.
Tentu saja ada konsekuensi yang harus kuterima atas beredarnya kemudian dihapusnya artikel itu. Sebuah artikel yang sudah ditayangkan kemudian dengan sengaja dihapus akan menurunkan performa portal berita yang mengunggahnya di pencarian Google, dan itu pasti berdampak juga pada penilaian SKB di induk medianya. Jadi wajar saja jika—menggunakan haknya sebagai pemimpin redaksi—Mbak Monic langsung mencabut akses CMS-ku untuk waktu yang tidak ditentukan. Hal itu membuatku otomatis keluar dari tim editorial di Sebar Kabar Benar, harga mahal yang harus kubayar untuk perbuatan yang tidak kulakukan. Lebih menyakitkan lagi karena orang yang seharusnya bertanggung jawab malah melenggang tanpa beban, menghilang tanpa jejak.
Begitulah, seminggu telah berlalu sejak Alston pulang ke Balikpapan, dan selama seminggu itu pula aku tidak bisa menghubunginya. Nomor teleponnya masih sama, nomor Whatsapp-nya pun masih ada, tapi tidak satu pun panggilan atau pesan-pesanku yang direspons olehnya. Mungkin Alston sedang sibuk mengurusi ibunya, mungkin keadaan di sana sedang kaos, mungkin ia memang sedang tidak bisa diganggu … hanya kemungkinan-kemungkinan itulah yang selalu kuucapkan tiap keraguan datang menggerogoti keyakinanku kepadanya.
Sementara itu, seperti biasa, Reivan memainkan bagiannya dengan sangat baik. Meski Bang Hadi telah memukulinya, ia tidak mengajukan tuntutan apa pun kepada kakakku itu. Reivan juga tidak menuntut portal SKB karena telah menayangkan artikel itu, atau meminta ganti rugi dariku sebagai “penulisnya”. Untuk hal-hal itu aku belum sempat menanyakan alasannya secara langsung, sebab selama dua hari aku dirawat, Reivan selalu dijauhkan dariku oleh Bu Nawang dan Bang Hadi.
Selama lima hari berikutnya setelah hari itu, Bang Hadi melarangku pulang ke rumah Reivan. Alih-alih membiarkanku berkeliaran sendiri, Bang Hadi malah membawaku ke rumah Mama dan Papa. Ia juga meminta bantuan Mbak Monic untuk mengawasiku dan memastikan aku mendapat pasokan makanan enak dan sehat untuk pemulihan. Otomatis, selama masa-masa itu aku hanya bisa bertemu Reivan di rumah sakit tanpa melakukan kontak sama sekali dengannya.
Aku baru benar-benar berdekatan dengan Reivan di hari kepulangan Papa. Waktu itu Papa meminta kami datang ke kamarnya. Papa memarahi Reivan habis-habisan di sana, tidak hanya di depanku, tapi juga di depan Mama, Bu Nawang, dan Bang Hadi. Dan meski Reivan dimaki-maki Papa sampai daun telinganya memerah, ia tetap diam saja. Reivan tidak membantah atau berusaha mengungkapkan kebenaran. Ia hanya menunduk sambil sesekali mengatakan iya, Pa atau maaf, Pa. Padahal Reivan tidak sepenuhnya salah, tapi ia juga yang menanggung semuanya.
“Pak Bambang, jangan khawatir. Sebagai bentuk tanggung jawab saya selaku orang yang mendidik dan membesarkan Reivan, saya akan pastikan anak saya itu tidak menyakiti putri Bapak. Bagaimana pun, Ishana sekarang jadi anak saya juga, Pak. Sama seperti Bapak, saya tidak akan terima kalau Ishana disakiti,” kata Bu Nawang di sela-sela ceramah Papa kepada Reivan. Ia lalu menoleh ke arahku dan Reivan. “Mulai hari ini Ibu ikut tinggal di rumah kalian.”
Aku dan Reivan langsung bertukar pandang. Kurasa, selama beberapa detik yang singkat itu, kami sempat memiliki kekhawatiran yang sama.
“Kamu bisa tidur di kamar saya sampai Ibu yakin kamu aman,” kata Reivan saat kami memiliki kesempatan berduaan. “Tenang aja, nanti saya bisa tidur di ruang kerja,” sambungnya sambil menghindari tatapanku.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya