Novel : Room for Two Bab 20: Perkara Tato Remini Vivo
“Kamu lagi ada masalah? Mau cerita? Siapa tau saya bisa bantu.”
Ketika mendengar Reivan bertanya seperti itu, aku tergoda untuk memberitahunya tentang kehamilanku. Aku ingin ia tahu bahwa aku tengah berbadan dua dan aku kesulitan menghubungi bapaknya. Dan aku takut ia akan menceraikanku begitu saja. Aku takut Reivan akan membuangku.
Kuhela napas panjang sembari melihat siluet lampu yang menghilang seiring laju mobil yang dikendarai Reivan. Kami menuju rumah, tempatku menyandang gelar “istri Reivan” tapi tak pernah benar-benar menjadi istrinya. Jika saja aku bisa mengulang waktu, aku ingin memperbaiki segalanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ishana?”
“Aku enggak kenapa-kenapa.”
Di sebelahku, kulihat Reivan menaikkan sebelah alisnya. Ia berulang kali menengok ke sebelah kiri, mungkin mengecek kondisiku. Tiba-tiba, ia tertawa.
“Kenapa?”
“Saya tanya apa, kamu jawabnya apa,” katanya.
Aku jadi salah tingkah. “Memangnya kamu tanya apa?”
“Saya tadi tanya kamu mau makan dulu apa enggak. Jawabnya, kok, malah enggak kenapa-kenapa.”
“Sori-sori … aku lagi enggak fokus.”
“Enggak fokus kenapa? Kamu itu sakit atau lagi ada masalah atau apa?”
Kusunggingkan senyum lalu kugelengkan kepala. “Enggak apa-apa.”
“Jadi, kita langsung pulang atau kamu mau makan dulu?”
Penggunaan kata kita dalam kalimat Reivan membuat hatiku menghangat. Aku suka mendengarnya, aku merasa dilibatkan dalam kehidupannya.
“Mau, tapi aku enggak mau makan sendiri. Aku pengin kamu ikut makan juga.”
Reivan melirikku sekilas. “Tumben. Wah, kayaknya kamu beneran sakit, ini.”
“Sakit gimana?”
Sambil mengangkat kedua bahunya bersamaan Reivan berkata, “Sikapmu belakangan aneh, mulai dari nyuruh tidur barengan, minta tidur berhadapan, tiba-tiba pelukan, sekarang ngajak makan. Saya masih inget kamu bilang, selama satu tahun pernikahan ini kita enggak boleh tidur sekasur, enggak boleh sentuhan, apalagi pelukan.”
Kebenaran dalam perkataan Reivan membungkamku seketika. Betul … padahal aku yang membuat aturan-aturan itu, tapi kenapa pula malah aku yang melanggarnya? Apakah aku … mulai merasa nyaman dengan Reivan?
“Memangnya aku enggak boleh minta itu sama kamu?”
“Boleh. Kamu, kan, masih istri saya.”
“Jadi aku boleh, dong, minta kamu temenin aku makan?”
“Saya enggak biasa makan malam, Ishana—”
“Tapi aku lapar dan aku kepingin makan bareng kamu.”
“Oke, deh.”
Senyumku langsung terkembang mendengarnya.
Reivan kemudian membelokkan mobilnya di sebuah gerai makanan cepat saji. Aku memesan sepaket ayam krispi dan nasi sementara ia hanya memakan satu porsi kentang ukuran sedang dan meminum sebotol air mineral.
“Kenapa kamu enggak pernah makan malam, sih? Takut gendut?”
“Enggak. Aku enggak biasa aja.”
Aku? Apakah lidah Reivan terkilir atau ia memang sengaja menyebut dirinya aku?
“Waktu kecil aku jarang makan malam, seringnya malah enggak, jadi terbiasa aja.”
“Kenapa jarang makan malam?”
Reivan menatapku sekilas. Ia menghela napas sejenak kemudian berkata, “Keuangan orang tua kandungku dulu … terbatas. Mereka enggak punya banyak uang. Kalau pun ada, uang itu lebih sering terpakai oleh bapakku.” Tawa kecil menyela kata-kata Reivan. “Ibu pasti udah cerita, kan, kalau bapak kandungku itu tukang mabuk dan suka judi. Ya … memang begitulah. Sementara ibuku, ibu kandungku, kalau punya uang dia simpan uangnya untuk beli obat. Adikku, dia ada penyakit dan harusnya rutin diobati.”
Aku menyimak cerita Reivan sambil mencubiti daging ayam tanpa benar-benar tertarik memakannya.
“Bertahun-tahun puasa makan malam, kebiasaan itu terbentuk sendiri. Waktu akhirnya aku harus ikut dengan Ibu, aku tetap kesulitan untuk makan malam. Paling banter jus pisang susu itu, lumayan bisa ganjal lapar sampai waktu sarapan.”
“Tapi menurutku jus pisang susu itu enggak enak.”
Reivan tertawa lagi. “Tau dari mana kalau rasanya enggak enak? Yang kuingat terakhir kali, kamu lempar jus itu ke aku. Maksudnya saya. Maaf.”
“No-no-no! Kenapa harus jadi saya lagi, sih? Padahal udah bener kamu bilang aku, kenapa malah berubah lagi?”
“Saya harus menciptakan jarak supaya enggak terlalu menjiwai pernikahan kita.”
Aku menggeleng cepat. “Kenapa harus jaga jarak? Biar kata pernikahan kita sementara, tapi aku, kan, istri sahmu, Reivan. Masa sama Rayna kamu bisa bilang aku-kamu, mesra lagi, tapi sama istri sendiri harus saya. Sebel tau!”
Kudorong piring makanku hingga membentur botol air mineral di depan Reivan. Tak kulanjutkan makanku. Selain karena memang tidak nafsu makan, selera makanku pun sudah hilang tak bersisa.
“Sama Rayna itu beda—”
“Iya-iya-iya, Rayna memang istimewa, lebih istimewa dibanding aku, kan? Dia punya utang enggak ditagih, dia punya salah enggak dibikin masalah ….”
“Bukan gitu—”
“ … bahkan namanya pun diukir di leher kamu. Biar apa, coba? Romantis juga enggak!”
“Memang pasti enggak romantis, sebab nama dia itu Rayna Kailaningtyas, sementara tato di leherku itu Remini Vivo. Bukan inisial Rayna.”
Aku tercenung mendengarnya. Jadi, aku salah sangka? Aku cemburu pada hal yang bahkan tidak ada?
Halaman : 1 2 Selanjutnya