Novel : Room for Two Bab 27: Lelaki yang Baik Hati
Ternyata tidak sampai 24 jam kemudian aku berhasil mendapatkan alamat rumah Alston di Balikpapan. Semua berkat panduan Reivan.
Ketika pikiranku buntu, mentok pada kegagalanku mendapatkan alamat rumah Alston di satpam kosan yang ia tempati, Reivan menyuruhku menghubungi Mbak Monic. Mulanya aku tidak mengerti apa maksud Reivan, tetapi setelah ia bicara sendiri ke Mbak Monic, barulah aku paham apa maksudnya. Reivan ternyata hendak memanfaatkan status Mbak Monic.
Sebagai pemred SKB, Mbak Monik tentu punya akses dan jaringan untuk menggali informasi tentang Alston ke kantor media tempatnya bekerja. Aku tidak memikirkan itu sebelumnya, padahal aku bisa saja bertanya ke teman-teman CC dari media yang sama dengan Alston. Namun, setelah kupikir-pikir lagi, bisa jadi karena aku punya rasa malu—mayoritas rekan kerjaku tidak tahu kalau aku masih berhubungan dengan Alston setelah menikah dengan Reivan—jadi akal sehatku menolak pilihan itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kita berangkat ke sana besok.”
Aku mengangguk, tidak sanggup membantah Reivan.
“Sekarang kamu istirahat dulu. Pakai kamar saya aja, supaya gampang kalau mau ke toilet.”
Reivan bersiap meninggalkanku, tetapi pelukanku menahannya. Kulingkarkan lengan ke sekeliling pinggangnya dan kusandarkan keningku ke punggungnya.
“Maaf”—bahkan baru saja mengucapkan satu kata itu aku langsung menangis—“aku menyusahkanmu. Aku terlalu sering merepotkanmu. Terima kasih sudah mau membantuku.”
Seandainya saja masa lalu bisa kuubah, aku ingin menjadi istri Reivan seutuhnya.
***
Reivan memintaku bersiap-siap sejak pagi, tapi mual muntah parah yang tiba-tiba mendera membuatku kehabisan tenaga sebelum waktunya. Jangankan untuk berjalan, untuk berdiri saja aku kesulitan. Aku khawatir kondisiku itu malah membuat Reivan membatalkan rencana kami mendatangi rumah Alston.
“Pulihkan dulu aja kondisi kamu,” kata Reivan saat ia mengecek keadaanku yang sedang berbaring seperti mayat hidup.
“Tiketnya gimana? Bisa di-reschedule?”
“Sudah ada yang handle.”
“Siapa?”
“Rayna.”
Setelah hiruk pikuk dan keributan yang kutimbulkan, nama itu terasa asing di telingaku. Sosoknya bagaikan pemeran figuran yang tidak disadari keberadaannya—tidak penting dan tidak berpengaruh pada jalan cerita di hidupku. Padahal aku pernah begitu membenci nama itu, tetapi kini ada atau tidak ada dirinya tidak menimbulkan dampak apa-apa bagiku, karena ternyata bukan Rayna yang berbahaya dalam pernikahanku dan Reivan, melainkan diriku sendiri.
Meski demikian, aku bertekad melanjutkan rencana itu. Aku harus bertemu dengan Alston secepat mungkin agar permasalahan yang kualami bisa segera tertangani. Makin lama menunda, makin semua orang tersiksa; aku, Reivan, Bu Nawang, dan mungkin juga kedua orang tuaku kalau mereka sudah tahu.
Setelah beristirahat dan mencoba memasukkan makanan agar lebih bertenaga, akhirnya aku bisa menguasai diri. Namun, kami tetap tidak langsung berangkat. Reivan berulang kali menunda karena mengkhawatirkan kondisiku, karenanya aku harus berkali-kali meyakinkannya bahwa aku kuat dan mampu.
“Aku kepingin cepat-cepat ketemu Alston.” Khawatir Reivan salah menangkap maksudku, akhirnya kutambahkan,” Aku ingin masalah ini cepat selesai. Aku enggak mau berlarut-larut nyusahin kamu—”
“Dari awal kamu udah nyusahin saya.”
“Aku tahu, karenanya aku enggak mau hal itu berlangsung lebih lama. Aku malu sama kamu, sama ibumu. Aku merasa sangat bersalah.”
Kami tiba di Stasiun Bandung pada jam satu siang. Reivan menyuruhku duduk di kursi tunggu sementara ia pergi tanpa memberi tahu mau ke mana atau mau apa. Sekitar sepuluh menit kemudian, ia datang ditemani seorang perempuan berwajah manis, berkemeja hitam bergambar Snoopy, dan bercelana kulot putih berbunga-bunga. Rambut hitam panjangnya terurai jatuh sampai ke dada, tanpa diberi hiasan apa-apa. Langkah kedua kakinya yang beralaskan flatshoes cokelat terkesan percaya diri. Ia langsung menghampiriku, mengangguk sopan kepadaku, dan menyalamiku.
Aku menyambut uluran tangannya dengan tanda tanya.
“Ini Rayna,” kata Reivan sebelum aku bertanya, “asisten saya. Dia udah bantu ganti jadwal penerbangan kita ke Balikpapan.”
“Oh!”
Bingung harus mengatakan apa, akhirnya aku hanya berdiri sambil berusaha tersenyum manis kepadanya. Ternyata kami sepantar, tetapi dibandingkan penampilannya, penampilanku saat itu benar-benar seperti langit dan bumi. Rayna terlihat seperti wanita berkelas sementara aku—dengan jeans hitam dan kaus longgar pink, rambut terikat ke belakang seadanya, dan sneakers putih yang belum dibersihkan—terkesan seperti anak sekolahan yang kabur dari rumahnya.
“Salam kenal. Saya Rayna. Senang akhirnya bisa ketemu,” katanya sembari menyodorkan pipi dan menempelkannya ke pipi kanan dan kiriku. Bahkan aroma tubuhnya menyuarakan kemewahan, aku jadi minder jangan-jangan aroma tubuhku tercium seperti aroma matahari yang bercampur asam keringat.
“Ishana.”
Lalu tiba-tiba saja Reivan meninggalkan kami seakan-akan aku perlu mengakrabkan diri dengan Rayna. Menurutku itu bukan tindakan yang tepat, aku malah salah tingkah saat berdekatan dengannya.
Halaman : 1 2 Selanjutnya