Novel Room for Two Bab 34: Produk Gagal
Ada yang berbeda ketika aku membuka mata di kesempatan berikutnya. Perutku masih terasa nyeri, masih berdenyut dan linu. Namun, tidak ada lagi harapan dalam perasaanku. Jika sebelumnya rasa nyeri itu menandakan keberadaan calon anakku, kali itu sakit yang kurasakan menunjukkan ketiadaannya. Rahimku hanyalah cangkang kosong yang ditinggalkan penghuninya.
Satu sisi dalam diriku berkata, seharusnya aku bahagia. Bukankah aku tidak menginginkan bayi itu? Bukankah aku selalu berharap ia mati sehingga aku tidak perlu terbebani? Iya … benar, tapi itu dulu sebelum Reivan mau menerima keadaanku. Itu dulu sebelum aku tahu Alston telah memanfaatkan kebodohan dan keluguanku. Itu dulu. Namun, setelah aku dan Reivan berbaikan dan setelah ia juga bersedia memberi pengasuhan, kehilangan bayi itu terasa menyakitkan. Amat sangat menyakitkan.
Padahal aku sudah menyiapkan kamarnya. Padahal diam-diam aku sudah merangkai namanya. Padahal aku juga sudah membayangkan akan menciptakan foto keluarga yang bahagia, bersama Reivan dan kedua neneknya ….
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Reivan?”
Yang datang kemudian ke hadapanku bukanlah suamiku, tapi Mama dan Bu Lia. Aku berusaha duduk, tetapi nyeri yang menyerang memaksaku bertahan dalam posisi berbaring.
“Reivan mana?”
“Dia pulang dulu.” Mama menjawab sembari merapikan helai-helai rambutku.
Saat itu aku merasa pening. Seluruh tubuhku, lahir dan batinku, semua terasa nyeri.
“Kenapa Reivan pulang? Hana masih di sini.”
“Dia harus menguburkan bayi kamu, Hana.”
Menguburkan bayiku?
“Kenapa? Hana, kan, belum lihat bayinya, Mah! Kenapa dikubur sekarang? Hana belum lihat bayinya, Hana mau lihat dulu bayinya!”
Bukannya menjawab, Mama hanya bertukar pandangan dengan Bu Lia. Kenapa mereka diam? Aku butuh jawaban!
“Mana Reivan? Bu Lia, mana Reivan? Panggil dia ke sini, suruh dia balik lagi! Telepon Reivan sekarang! Mama telepon Reivan!”
“Neng Hana, tenang, Neng ….”
“Hana, kamu enggak boleh gini …. Kamu harus istirahat dulu.”
“Panggil Reivan sekarang! Panggil, Ma! Mana hape Hana? Siniin hape Hana!”
Dengan tangan bergetar kuterima ponselku dari Bu Lia. Langsung kupanggil nomor Reivan dari daftar panggilan terakhir. Lama sekali aku menunggu hingga panggilan itu diangkat dan diterima Reivan. Ia bicara dengan suara sengau.
“Mana anakku, Reivan?”
“Hana, dia sudah aku kubur di halaman rumah—”
“Kenapa kamu kubur dia tanpa seizinku?!! Kenapa di halaman rumah? Dia bukan anak kucing! Dia anakku! Jahat kamu, Reivan!”
“Hana, sudah dulu.”
Mama merebut ponselku lalu menyerahkan ponsel itu ke Bu Lia. Ia merengkuhku dalam pelukannya. Aku menangis tersedu-sedu di sana.
“Kenapa, sih, padahal semuanya udah baik-baik aja …. Padahal Reivan udah baik-baik aja, ibunya juga udah baik-baik aja, semua kelihatannya udah baik-baik aja. Padahal Hana juga udah siap jadi ibu. Kenapa Tuhan masih ngehukum Hana, Ma? Pertama Papa, sekarang anak Hana …. Hana berdosa banget, ya? Hana itu enggak pantas bahagia, ya? Kenapa?”
***
Sebuah belaian lembut di kepala membuatku terjaga. Ketika kutengok, wajah Reivan langsung masuk dalam area pandangku. Ia terlihat kuyu dengan rona kehitaman menggantung di bawah matanya. Raut wajahnya sendu seperti disaput awan duka. Aku tak mengerti mengapa ia tampak begitu terluka, padahal mungkin ia tidak mengalami kehilangan sebesar yang kurasakan.
“Reivan ….”
“Aku di sini.”
“Kenapa kamu kubur anak aku di depan halaman rumah?”
Langsung kuutarakan pertanyaan pertama yang terlintas di benakku. Aku membutuhkan jawaban dan kepastian, tidak bisakah Reivan memberi penghormatan yang lebih baik dengan menguburkannya di tempat yang layak?
“Maaf aku enggak tanya dulu sama kamu. Aku harus ambil keputusan cepat. Tapi Hana, sengaja kulakukan itu biar kalau kamu kangen, kamu bisa langsung datang ke tempat peristirahatannya. Aku sudah pastikan makamnya dirapikan dan dibuat sebagus mungkin.”
Selalu saja … Reivan selalu memiliki jawaban yang tidak terduga. Ia membiarkanku berburuk sangka hanya untuk menghantamku dengan kebenaran yang tidak disangka-sangka.
“Belum kelihatan jelas wajahnya mirip siapa, tapi kukira … karena kata dokter dia perempuan, dia akan mirip kamu. Aku ada fotonya.”
Air mata kesedihan kembali membasahi kedua pipiku kala melihat galeri foto di ponsel Reivan. Di sana ada beberapa gambar sesosok bayi merah yang amat mungil, ukurannya tidak lebih besar dari telapak tangan Reivan. Kesepuluh jarinya telah tumbuh sempurna. Matanya, hidungnya, mulutnya, bahkan tangan dan kakinya pun sudah ada. Ia tampak begitu kecil dan ringkih. Ia pernah ada di rahimku, tetapi setelah ia tidak ada, sulit rasanya menganggap ia sosok yang nyata, sosok yang pernah menempati perutku, sosok yang selama 19 minggu terakhir membuatku merasa menjadi ibu.
“Kamu mau kasih dia nama siapa?”
Aku menggeleng, tak sanggup rasanya menyusun kata-kata.
“Kalau udah punya namanya nanti tinggal bilang aja, buat kita ukir di nisannya.”
“Sarah?”
“Apa?”
“Aku mau kasih dia nama Sarah.”
Halaman : 1 2 Selanjutnya