Novel: Padamu Aku Akan Kembali (Part.5)
Bab. 5
Tuhan tidak hanya menjodohkan kita dengan orang-orang yang memiliki kecenderungan yang sama, agar kita bisa merasa nyaman dengan pasangan. Namun, tidak hanya itu, Dia juga menjodohkan kita dengan orang-orang yang memiliki perbedaan, bahkan dalam banyak hal tetap bisa saling melengkapi satu sama lain agar mereka tetap bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian yang mereka lewati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setiap kejadian yang manusia alami tidak ada yang kebetulan. Semuanya merupakan rencana yang indah dari Tuhan. Salah satunya Tuhan jadikan aku berteman dengan Fania sebagai jalan untuk mengenal Haura. Haura, sebenarnya dulu kuliah di kampus yang sama denganku dan juga Fania. Hanya saja, kami beda angkatan, fakultas dan jurusan. Tapi, kenapa dulu aku nggak pernah ketemu sama dia, ya? Ah, sungguh proses yang sedikit rumit tapi indah.
Satu tahun telah berlalu. Hubunganku dengan Haura semakin lebih dekat. Lagi-lagi aku yakin bahwa ini bukanlah suatu kebetulan semata. Mungkin ini sudah menjadi salah satu rencana terindah dari Sang Maha Kuasa untukku dan Haura.
Setiap kami mengobrol sering membahas hal-hal yang serius, seperti bagaimana kelanjutan hubungan ini menuju ke jenjang yang lebih serius, tentang rencana menikah, dan rencana-rencana yang kami susun untuk merajut masa depan bersama.
Aku dan Haura memiliki kesamaan dalam beberapa hal. Kami sama-sama suka suasana yang tenang dan damai. Saat mengunjungi suatu tempat kami akan memilih tempat tersendiri yang tidak banyak orang berlalu lalang. Kami akan betah berlama-lama menikmati suasana malam yang sepi yang hanya ditemani kerlip bintang dan suara nyanyian serangga malam.
Namun, aku dan Haura juga memiliki beberapa hal yang berbeda. Aku si Dendrophile (orang yang menyukai pepohonan dan hutan) dan Orophile (orang yang menyukai gunung dan suka mendaki), sedangkan dia si Thalassophile (orang yang menyukai laut). Selain itu, Haura juga memiliki hobi membaca, sedangkan aku bukannya tidak suka membaca, hanya saja mudah mengantuk dan pusing kepala saat berlama-lama membaca buku.
Suatu malam kami menikmati indahnya malam di sebuah cafe. Cafe ini menjadi tempat favorit kami berdua. Di cafe ini ada sebuah halaman yang cukup luas yang ditumbuhi rerumputan.
Beberapa lazy bean bag sofa di pasang di halaman ini. Lampu taman yang redup sengaja di pasang sedikit menjauh agar pengunjung bisa menikmati indahnya langit malam yang bertabur bintang-bintang. Suasana seperti ini yang menjadi daya tarik tersendiri dari cafe ini.
Saat itu kebetulan bukan di akhir pekan, sehingga pengunjung cafe sedang tidak banyak. Saat itulah untuk pertama kalinya aku mencoba mengungkapkan keinginanku untuk melanjutkan hubungan ke arah yang lebih serius, yaitu pernikahan.
“Ra, kamu tahu nggak? Aku lagi memikirkan seorang perempuan yang beberapa hari ini memenuhi pikiranku.” Aku menatap binar matanya.
“Hmm, siapa perempuan itu? Kapan kamu temui dia? Di mana, aku kenal nggak sama orang itu?” cecarnya. Aku menagkap ada sinyal-sinyal kecemburuan di matanya.
“Ssst. Dengarkan dulu sampai aku selesai bicara,” cegahku. Sebenarnya aku sedang merasa gugup, tetapi aku tak bisa menyimpan lebih lama lagi gejolak rasa ini.
“Oh, oke, sorry.” Ia menungguku melanjutkan
“Setiap kali aku bertemu dengannya, semakin aku sadar betapa menariknya perempuan yang satu ini. Selama itu pula aku sungguh mengaguminya. Aku tak pernah tahu pasti sudah berapa lama hatiku terpikat oleh wanita cerdas dan cantik seperti dia.”
Aku berhenti sejenak, lalu menghela napas.
“Aku selalu terpukau pada caranya memandang dunia ini. Aku tahu, cinta itu bukan sekadar ucapan. Cinta bukan pula sesuatu yang bisa dipermainkan. Cinta itu tidak seperti lirik dalam sebuah lagu yang dimulai di bulan Desember lalu berakhir di Januari. Cinta seharusnya tanpa akhir. Selamanya, abadi.” Wajah Haura mulai sedikit berubah memerah, rasa cemburu sudah mulai mengambil alih hati yang semula damai-damai saja.
Aku memperbaiki posisi duduk, menatap Haura masih bisa menahan cemburunya dengan berusaha terlihat tenang mendengarkan ucapanku. “Cinta itu untuk masa sekarang dan masa depan. Lalu ….”
“Irfan, seriuskah kamu? Kamu anggap aku ini apa? Teganya kamu memuji perempuan lain di depanku!” ucap Haura lirih. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Hei, Cantik! Please dengarkan dulu. Aku belum selesai bicara.” Aku meraih tangannya. Haura menunduk. “Sayang, lihat aku! Maksudku … maukah kamu melewati setiap hari, bulan, dan tahun merajut masa depan denganku? Maukah kamu menikah denganku?” rayuku.
Aku menatap matanya. Ada sesuatu keterkejutan yang terpancar dan tak bisa disembunyikan dari sorot matanya itu. Ia masih tetap diam. Namun, ia tak bisa menyembunyikan reaksinya yang salah tingkah. Ia menunduk dan tersenyum.
“Hei, Ra. Are you okay?”
“Irfan, kamu serius? Jangan bercanda, deh. Aku kira kamu ….” Haura tak melanjutkan ucapannya.
“Seriuslah. Apa aku terlihat sedang mengajakmu bercanda? Makanya, dengarkn dulu sampai selesai kalau aku lagi bicara. Ra, aku serius. Aku butuh jawabanmu,” ucapku.
Halaman : 1 2 3 4 5 Selanjutnya