Sebelumnya: A Way to Find You (Part 25)
***
Novel: A Way to Find You (Part 26)
BAB 26
“Siapa, Bi, namanya? Tinggalnya di mana? Terus, kapan bisa ketemu?” Giska langsung memberondong asistennya dengan berbagai pertanyaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Namanya Jeng Asih. Rumahnya di daerah Depok. Kalau Mbak Giska mau, saya coba panggil ke rumah nanti malam, gimana?”
Giska menyetujui tawaran Tami. Semakin cepat, akan semakin baik. “Tolong, tanyain, ya, Bi. Kalau Jeng Asih bersedia, saya minta Bi Tami juga nemenin saya ke rumah nanti malem.”
“Baik, Mbak. Saya kabarin lagi nanti.”
Giska mengucapkan terima kasih pada asistennya. Tami benar-benar telah banyak membantu dari kemarin. Dalam hati, Giska berjanji, kalau semua masalah ini sudah selesai, ia akan memberi bonus lebih pada asisten setianya tersebut.
Giska kembali masuk ke kamar. Akhirnya, ia bisa beristirahat dengan lebih tenang. Sore harinya, sesuai janji, Naura datang menjenguk bersama sang suami. Mereka turut mendoakan kesembuhan Bima.
“Kita ngobrol di kafe lantai atas aja,” kata Giska saat Naura berpamitan. “Mah, aku ngurus pekerjaan bentar, ya, sama Naura,” pamitnya pada Kinar.
“Iya, Neng.” Kinar mempersilakan.
Giska, Naura, dan Dimas berjalan bersama menuju kafe rumah sakit yang ada di lantai paling atas. Setibanya di sana, Dimas memisahkan diri di meja sebelah agar dua perempuan itu bisa mengobrol dengan lebih bebas.
“So, gue sebenernya ada kabar baik buat lo,” ujar Naura memulai. Ia menatap lurus pada sahabat yang duduk tepat di hadapannya. “Gue tahu, saat ini lo lagi ngalamin masa-masa sulit. Gue harap, berita ini bisa jadi sedikit penghibur.”
“Apaan?” tanya Giska penasaran.
Naura menyalakan ponselnya, membuka aplikasi pengirim pesan, lalu menyodorkannya pada Giska. Giska menerima ponsel tersebut dan membaca isi pesan yang tertera. “Hah?” serunya kaget. Matanya membulat tak percaya. Tatapannya berpindah-pindah dari ponsel Naura ke sang pemilik. “Serius? Lovela nawarin gue jadi brand ambassador?”
Naura mengangguk. Bibirnya menyunggingkan senyum bangga. Tidak sia-sia perjuangan Giska menjadi beauty influencer selama ini. Lovela adalah salah satu merek kecantikan asal Thailand. Produk perawatan tubuhnya amat terkenal dan banyak diminati di beberapa negara, termasuk Indonesia. Giska pun pertama kali membangun karirnya di industri kecantikan dengan mengenalkan produk ini di media sosialnya. Tak disangka, respon masyarakat begitu baik. Sejak saat itulah, nama Giska mulai naik dan terkenal.
“Mereka baru kirim tawaran itu tadi pagi. Gue nggak langsung kabarin lo karena gue mau ngomong langsung ke elo,” kata Naura. “Gimana? Seneng, nggak?”
Giska mengangguk-angguk. “Gila, seneng banget gue!”
“Kalau lo setuju, kita diminta untuk meet up sama pihak mereka. Bisa langsung tanda tangan kontrak, tuh.”
“Tunggu,” kata Giska ragu. “Kira-kira, kapan meeting-nya?”
“Minggu depan, mungkin. Entar gue tanya lagi sama mereka. Yang penting, lo harus kasih kepastian dulu.”
Giska berpikir sejenak. Tawaran ini adalah salah satu tawaran kerja sama yang paling ia harapkan sepanjang karirnya. Ia tidak bisa menolak begitu saja. Di masa depan, mungkin tidak akan ada lagi tawaran sebesar ini. Namun, di sisi lain, Giska merasa bimbang. Ia belum tahu nasib suaminya akan seperti apa. Apakah semua permasalahan ini akan selesai dan lelaki itu sudah bisa sembuh minggu depan?
“Oke,” putus Giska akhirnya, dengan keyakinan bahwa kondisi Bima akan segera pulih. “Beri tahu mereka, gue terima tawaran ini. Kasih gue update soal jadwal meeting-nya besok.”
***
Selepas maghrib, Giska pamit pada sang mertua untuk pulang sebentar. Ia terpaksa berbohong dengan alasan ada file pekerjaan penting yang harus ia ambil dari komputer. Pertemuannya dengan Jeng Asih memang sengaja ia rahasiakan untuk sekarang.
“Hati-hati, ya, Neng. Kalau capek, balik besok pagi aja nggak pa-pa. Mamah yang nginep di sini nanti.”
“Nggak, Mah. Aku cuma sebentar, kok.” Giska tersenyum meyakinkan sang mertua. Lagipula, mana bisa ia tidur sendirian di rumah sementara suaminya terbaring di rumah sakit? Yang ada, Giska hanya akan stres dan kepikiran sepanjang malam.
Bi Tami berjanji akan ikut hadir di rumah Giska malam ini. Karena merasa bertanggung jawab, Giska pun menjemput asistennya itu dalam perjalanan pulang. “Udah berangkat, kan, Bi, orangnya?” tanya Giska pada Tami yang baru masuk ke mobil.
“Udah, Mbak. Setengah jam lagi nyampe katanya.”
Giska langsung memacu mobilnya kembali ke rumah. Hatinya berdebar penuh antisipasi. Ini akan menjadi kali pertamanya berinteraksi dengan seseorang yang digadang-gadang sebagai ‘orang pintar’. Dalam benaknya, ia membayangkan kalau Jeng Asih ini adalah sosok dukun seperti yang pernah ia lihat di film-film. “Kita perlu nyiapin sesuatu nggak, Bi, buat Jeng Asih? Dia minta sesajen atau apa gitu?”
Tami tertawa pelan mendengar pertanyaan Giska. Ia tahu persis apa yang dipikirkan majikannya itu. “Nggak, kok, Mbak. Nanti Jeng Asih mau lihat-lihat dulu rumahnya Mbak Giska.”
Mereka pun tiba di rumah. Keduanya memutuskan untuk duduk menunggu di ruang tamu. Tadi saat melewati pos satpam, Giska sudah berpesan pada Pak Tanto bahwa ada tamu yang akan datang ke rumahnya. Tepat pukul tujuh malam, bel rumah akhirnya berbunyi. Tami segera membukakan pintu untuk tamu mereka.
“Selamat datang, silakan masuk.”
Giska cukup terkejut begitu melihat siapa yang muncul di ruang tamunya. Perkiraannya meleset jauh. Sosok dukun menyeramkan dengan pakaian serba hitam yang ada dalam bayangannya langsung terhapus. Jeng Asih yang sejak tadi disebut-sebut oleh Tami ternyata adalah seorang perempuan yang masih cukup muda dan berpenampilan modis. Usianya mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dari Giska. Wajahnya lembut dan anggun, dengan riasan tipis yang membuat tampilannya tampak lebih cerah. Tidak ada make up ala-ala gotik seperti yang Giska kira.
“Halo, selamat datang, Jeng Asih,” sapa Giska, menyambut tamunya seramah mungkin. Setelah bersalaman, ia pun mempersilakan perempuan itu untuk duduk.
“Saya bikinin minum dulu, Mbak,” ujar Tami sebelum melangkah ke dapur.
Tinggallah Giska dan Asih berdua di ruang tamu. “Jeng Asih datang sendirian ke sini?” tanya Giska basa-basi.
Asih tersenyum dan mengangguk. “Iya, Mbak. Kebetulan, suami saya lagi ada acara malam ini, jadi saya nyetir sendiri.”
Melihat raut wajah Giska yang sedikit berubah usai ia menyebut kata ‘suami’, Asih pun langsung bertanya, “Suami Mbak Giska masih belum bangun, ya?”
Giska membelalak. Bagaimana bisa perempuan ini tahu soal kondisi Bima?
Tanpa menjawab kekagetan Giska, Asih bangkit berdiri dan pindah duduk ke sebelah perempuan itu. “Permisi, ya, Mbak.” Ia menggenggam kedua tangan Giska dan memejamkan mata selama beberapa saat. Batinnya kini jauh menerawang. Samar-samar, ia bisa melihat wajah Bima dalam benaknya.
“Mbak, Mbak Giska sama suami habis dari mana kemarin?” tanya Asih.
“Kemarin?” Giska mengerutkan kening.
“Iya. Saya lihat banyak pepohonan di sekeliling kalian.”
“Hah? Pohon? Oh, saya habis naik gunung sama Mas Bima beberapa hari lalu.”
Asih membuka kedua matanya. “Gunung mana?” tanyanya dengan nada agak tajam.
“Gunung Sumbing,” jawab Giska sedikit takut. Kenapa tiba-tiba wajah Asih berubah lebih serius?
Asih diam beberapa detik. Tiba-tiba, matanya melirik ke arah tangga. “Boleh saya lihat kamar Mbak Giska?”
“Eh, iya, silakan.”
Giska menunjukkan kamarnya pada Asih. Di sana, Asih berjalan mengitari kamar sambil mengamati setiap sudutnya. Ia kemudian berhenti tepat di depan jendela. Tanpa aba-aba, perempuan itu membuka gorden yang tertutup di depannya. Satu tangannya langsung menyambar ke depan, seperti menangkap sesuatu. “Ada satu yang masih ditinggal di sini,” gumamnya. “Mbak pernah merasa ada gangguan di jendela ini?” tanyanya pada Giska.
Giska langsung berjengit saat mengingat sesuatu. “Kemarin, saya sempet denger ada suara ketok-ketok di kaca ini.”
“Oh, pantes. Orang kukunya panjang-panjang gini.”
Giska ingin bertanya siapa yang dimaksud Asih berkuku panjang itu, tapi segera mengurungkan niat. Mungkin, lebih baik ia tetap tidak tahu demi kedamaian batinnya.
“Bentar. Saya tanya ke dia dulu. Energinya kuat, takutnya keburu lepas.”
Karena tidak paham, Giska mengangguk saja. Ia diam menunggu sementara Asih memejamkan mata dan mulai berkomat-kamit tanpa suara. Tak lama, tangan Asih yang dari tadi dalam posisi mencengkeram kini terbuka. Makhluk entah apa dalam genggamannya sudah terlepas. “Coba Mbak Giska cerita, ada gangguan apa aja di rumah ini. Kalau pernah lihat sosok, ceritain sosoknya ke saya,” pinta Asih.
Giska pun menjelaskan kesaksiannya atas keanehan-keanehan yang ia alami selama beberapa hari ke belakang. Ia juga mendeskripsikan sosok wanita yang ia lihat kemarin. Tidak lupa, ia membahas soal kemunculan belatung-belatung di rumahnya dan juga mimpi-mimpi anehnya soal wanita misterius itu.
Asih mendengarkan dengan wajah serius. Setelah Giska selesai bercerita, ia mengajak perempuan itu kembali turun ke ruang tamu. Tampak Tami yang baru saja meletakkan dua cangkir teh hangat di meja.
“Silakan minum dulu, Jeng,” kata Giska.
Asih mengambil secangkir teh di hadapannya. Setelah berkomat-kamit membaca doa, ia menyeruput teh hangat manis buatan Tami. Energinya yang sempat terkuras untuk menangkap dan menginterogasi makhluk di atas tadi perlahan pulih. “Begini, Mbak,” ujarnya sambil meletakkan kembali cangkir ke tatakan. “Mbak Giska udah siap denger penjelasan saya? Mbak udah siap untuk percaya sama penglihatan saya?”
Jantung Giska langsung berdebar kencang. Apa pun itu, ia tidak bisa mundur lagi. Ia pun mengangguk. “Tolong, beri tahu saya, apa yang salah sama rumah ini.”
“Bukan rumah ini, Mbak,” sahut Tami sambil menggeleng perlahan. “Siapa nama suami Mbak?”
“Namanya Bima.”
“Gangguan-gangguan yang datang ke rumah ini berasal dari sosok wanita yang mengincar Mas Bima.”
“Wanita yang sempet saya lihat di sini sama di mimpi itu, ya?” tanya Giska.
“Betul. Dari yang saya tangkap, dia bukan wanita biasa. Dia seorang putri yang berkuasa di Gunung Sumbing. Namanya Putri Sriwati.”
Mulut Giska terbuka kaget. “Terus, dia suka sama suami saya, gitu?”
Asih mengangguk. “Bisa dibilang begitu. Makhluk di atas tadi adalah salah satu pengawalnya. Dia bilang, Putri Sriwati sudah lama menginginkan Mas Bima. Apa selama ini Mas Bima ada gelagat aneh habis pulang dari Sumbing?”
Giska tersentak saat kepingan puzzle itu akhirnya menyatu di kepalanya. “Mas Bima bener-bener berubah saat kepulangannya dari Sumbing yang pertama, Jeng.”
“Berarti, kalian ke Sumbing dua kali?”
“Cuma Mas Bima yang berangkat di pendakian pertama. Saya baru ikut di pendakian yang kedua kemarin.” Giska pun menjelaskan lebih detail soal keanehan sikap Bima padanya, yang berujung pada pertengkaran rumah tangga mereka. Ia juga menceritakan pengalaman pendakian mereka kemarin.
Asih mengangguk-angguk mendengar cerita Giska. “Di pendakian yang pertama itu, Putri Sriwati udah memengaruhi Mas Bima. Suami Mbak dibuat bingung dan lama-lama nggak suka sama Mbak Giska. Hawa di rumah ini juga jadi panas, nggak enak. Mbak ngerasa nggak?”
“Iya, bener. Semenjak suami saya berubah, saya selalu ngerasa nggak nyaman di rumah.”
Asih menghembuskan napas panjang. “Saat itu pun, dia belum ke sini. Dia hanya memengaruhi Mas Bima dari jauh. Sejak pendakian kalian kemarin itu lah, Putri Sriwati mulai gencar mendekati Mas Bima. Dia bahkan sampai datang langsung ke sini untuk menjemput suami Mbak.”
Giska tidak bisa berkata-kata. Semua ini terasa gila baginya, tapi anehnya, tetap masuk akal. Penjelasan dari Asih memberinya pencerahan tentang apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Kenapa Bima mendadak berubah, kenapa Bima mendadak hilang di pendakian mereka malam itu, kenapa muncul gangguan-gangguan aneh di rumahnya, dan yang paling penting, kenapa Bima tiba-tiba jatuh sakit seperti ini.
Giska terkesiap. Ia baru ingat tentang satu hal. “Jeng, berarti, suami saya sekarang ….”
Meski Giska tidak melanjutkan kata-katanya, Asih mengangguk. “Mas Bima sekarang dibawa sama Putri Sriwati. Lebih tepatnya, sukmanya yang dibawa kembali ke Sumbing. Kalau nggak cepet-cepet ditolong ….” Asih memberi jeda sebentar, menyiapkan kata-kata yang pas. “Suami Mbak bisa ilang selamanya.”
***
Selanjutnya: A Way to Find You (Part 27)
Halaman : 1 2 Selanjutnya