Novel : Senja Membawamu Kembali part 17
Part 17
Ayyara masih menatap lekat sepupunya untuk beberapa saat. Kemudian, dia menjawab sambil melirikkan mata ke arah lain. “Jujur, aku merasakan Mas Aby melakukannya dengan penuh cinta, bahkan kayak lelaki yang kehausan banget.”
Fathiya senyum-senyum melihat tingkah Ayyara yang tersipu begitu. “Hati itu nggak pernah bohong, Ay … aku yang lihat kamu cerita saja ikut happy.”
“Tapi Mas Aby pernah bilang, mau nikah siri sama perempuan itu, Fath.”
“Kan, baru mau, belum kejadian berarti. Mungkin sikap dia yang kata kamu berubah itu memang bentuk pertahanan dia,” tanggap Fathiya.
“Maksud kamu?” Ayyara mengernyit.
“Iya, itu bentuk pertahanan dia untuk melawan godaan dari perempuan itu. Dia lampiasin ke istrinya sendiri. Ya, semoga saja dengan kamu penuhi kebutuhannya itu, dia jadi membatalkan niatnya.”
Ayyara terdiam mendengar penjelasan sepupunya. ‘Apa iya begitu?’ tanyanya dalam hati.
“Tapi kalaupun dia tetap nikah siri, ya, nggak dosa juga. Secara hukum agama pernikahannya sah. Walaupun, mungkin tidak ma’ruf ketika dilakukan tanpa izin istri dan anak-anaknya.”
“Tidak ma’ruf?” Ayyara kembali mengerutkan kening.
“Iya, tidak ma’ruf itu artinya perbuatan tersebut dipandang tidak baik secara akal ataupun norma-norma hukum yang berlaku.”
Ayyara masih terdiam merenungkan penjelasan Fathiya.
“Sikap kamu sendiri gimana?”
Sembari menghela napas, Ayyara menjawab. “Aku nggak mau Mas Aby mendua, tapi aku juga nggak mau mengecewakan harapan terakhir Papa. Dulu, mungkin aku akan ngotot minta cerai, tapi tidak untuk sekarang. Kalaupun Mas Aby tetap memilih nikah siri dengan perempuan itu, aku akan bertahan demi anak-anak. Aku juga nggak mau ngerasain lagi sakitnya kehilangan orang-orang yang aku cintai untuk kesekian kalinya.”
Fathiya menggeleng. “Ay, lakukan semuanya semata karena Allah, mau kamu terima soal Aby nikah lagi ataupun pilih bercerai. Jangan pernah menyandarkan persoalan ini pada penilaian dan kebahagiaan orang lain, termasuk anak-anak.”
Ayyara langsung menoleh padanya. “Gita juga pernah mengingatkan itu. Tapi, aku nggak mau Zay sama Tsa jadi anak broken home, Fath,” ucap Ayyara yang terdengar suaranya mulai bergetar lagi menahan tangis.
Fathiya mengusap lembut punggung sepupunya. “Ay, aku pernah dengar Ustadz Benri mengatakan bahwa yang harus dikhawatirkan oleh orang tua itu bukan anak-anak mengalami broken home, tapi broken heart,” tuturnya. “Kamu pikir, Zay sama Tsa akan bahagia saat melihat ayah bundanya bersama, tapi sering berselisih? Tak ada cinta dan kasih sayang tulus di antara kalian berdua, semua hanya kepura-puraan.”
Kini, Ayyara pun mulai terisak. Dia masih diam mendengarkan sepupunya bicara.
“Kamu pikirkan baik-baik, mintalah petunjuk pada Allah agar diberikan jalan terbaik menurut pandangan-Nya. Berusahalah untuk ikhlas dan utamakan kebahagiaan dirimu terlebih dahulu. Karena kamu nggak akan pernah bisa membagi kebahagiaan pada orang lain, kalau dirimu sendiri nggak bahagia. Camkan itu!”
Ayyara merangkul Fathiya erat. Dia menangis sesenggukan mendengar nasihat sepupunya ini.
“Aku pamit dulu, Kang Tafa sudah harus kembali ke KL. Nanti kalau ada waktu aku balik ke Bogor, kita bisa ngobrol lagi. Semoga saat jumpa kembali, kabar bahagia yang aku dengar,” ungkap Fathiya ketika Ayyara sudah lebih tenang.
Keduanya berpisah dan kembali menjalani kehidupannya masing-masing. Sepekan kemudian, Ayyara meminta waktunya Abyan untuk berbicara empat mata.
“Ada apa, sih, Yang? Aku jadi deg-degan, kayak serius banget masalahnya,” ujar Abyan kala keduanya sudah duduk berdampingan di sofa depan tempat tidur di kamar mereka.
“Ya, memang masalah serius, Mas. Aku nggak mau bahas ini sepintas lalu,” sahut Ayyara.
“Oh, oke. Kamu mau bahas soal apa?” Abyan memutar tubuhnya, mengangkat dan melipat kaki sebelah kanan sehingga kini badannya menghadap langsung pada sang istri. Tangan kanannya menyisir beberapa helai rambut Ayyara yang menutupi pipi dan menyelipkan di belakang telinganya.
“Aku mau bahas soal Lidya.”
Abyan langsung menarik napas, memutar bola matanya ke atas dan memalingkan wajah. Dia memejamkan mata, menarik napas lagi, menghembuskannya perlahan, lalu menatap lekat wajah istrinya. “Oke, kamu mau tahu tentang apanya?” tanyanya dengan suara setenang mungkin.
“Sebenarnya ada hubungan apa antara kamu dengan Lidya?”
Abyan masih menatap istrinya. “She’s my client.”
“Tapi aku lihat, hubungan kamu sama dia lebih dari sekedar klien,” tebak Ayyara seraya membalas tatapan suaminya yang saat itu menundukkan matanya dan menarik napas dalam-dalam, lalu kembali menatap istrinya.
“Lebih dekat iya, tapi untuk hubungannya sampai hari ini tidak lebih dari klien.” Abyan menegaskan jawabannya.
“Kamu suka sama dia?” Ayyara kembali melancarkan interogasinya.
Sebelum menjawab, Abyan mengangkat sebelah alisnya. “Rasanya bohong kalau ada laki-laki yang bilang nggak suka karena dia itu cerdas, enak diajak diskusi, orangnya juga baik ….”
“Dan cantik pastinya,” sambar Ayyara memotong ucapan Abyan.
Lelaki itu hanya sedikit memiringkan kepala sembari mengedikkan bahu dengan kedua alisnya ikut terangkat.
“Jadi, Mas tertarik sama dia?” Ayyara menatap suaminya. “Maksudku, dalam artian ketertarikan terhadap lawan jenis dalam hal asmara.”
Abyan menatap lama wajah istrinya. “Jujur … iya, aku tertarik sama dia.”
Ayyara terkesiap mendengar jawaban suaminya. Dia langsung memejamkan mata seraya menghela napas panjang. Hatinya seakan mendapat cubitan keras, terasa perih sampai berdenyut-denyut.
“Tapi kamu tenang dulu, Ay … sampai kapan pun, kamu akan selalu jadi nomor satu di hati aku.”
Ayyara tersenyum mengejek. “Kalau aku nomor satu, berarti akan ada nomor dua, tiga, dan seterusnya, begitu?” sendirinya sinis.
Sekarang, giliran Abyan yang terkekeh. “Maaf, Sayang … aku salah. Kamu akan selalu jadi pemenangnya.” Dia meralat ucapannya.
“Kalau gitu, mulai sekarang, kamu bisa tinggalin dia?” desak Ayyara menguji sang suami.
Abyan kembali menatap istrinya. Dia menarik jemari tangan Ayyara dan menggenggamnya. “Tolong kasih aku waktu, ya. Untuk saat ini belum bisa, aku nggak mau berhutang janji. Please, kamu ngertiin aku, ya,” mohonnya dengan wajah memelas.
Ibu dua anak ini membalas tatapannya dengan sorot mata tajam. “Kenapa nggak bisa, Mas? Kalau memang benar cuma urusan kerjaan, kan bisa di-handle yang lain. Apa yang bikin kamu berat buat ninggalin dia?” cecar Ayyara dengan nada suara mulai meninggi.
Abyan tidak langsung menjawab ketika mendapat pertanyaan seperti itu. Memori di otaknya malah memutar ulang peristiwa beberapa tahun lalu awal perjumpaannya dengan Lidya.
“Mas, ditanya kok, malah begong?” sentak Ayyara mengembalikannya dari lamunan.
“Oh, iya, sorry … kenapa tadi?” Sedikit tergagap, Abyan kembali bertanya.
“Apa yang bikin kamu berat ninggalin dia?”
“Hmm, karena aku punya janji pada ibunya, sebelum dia meninggal,” jawab Abyan dengan mata tertunduk.
“Janji apa? Nikahin dia?” tanya Ayyara kian sewot.
Abyan menggeleng. “Dulu, aku nggak pernah berpikir sejauh itu, tapi sekarang … entahlah, kalau keadaan memaksa, mungkin saja itu terjadi.”
“Mas!” bentak Ayyara seraya bangkit dari duduknya. Lengkingan suaranya ikut mengagetkan Abyan.
“Apa, sih, yang sebenarnya terjadi sama kamu? Kenapa kamu jadi berubah?” cecar Ayyara dengan wajah memerah.
Abyan ikut berdiri. Harinya mulai ikut panas. Dia tatap istrinya dengan tajam. “Bukan aku yang berubah, tapi kamu!” tegasnya tak kalah sengit sembari melayangkan jemari telunjuknya ke depan w ajah Ayyara.
“Apa maksud kamu? Di mana letak kesalahanku hingga kamu menuduh aku berubah?”
Lelaki itu tersenyum sinis. “Kamu tahu, Ay? Kenapa aku nikahin kamu?” tanyanya.
“Karena kamu cinta sama, iya, kan?” ucap Ayyara yang terdengar seperti meragukan jawabnya sendiri.
Abyan menggeleng. “Benar, aku memang cinta sama kamu. Tapi, ada hal utama yang meyakinkan aku untuk menikahimu ….” Abyan menggantung kalimatnya. Dia pandangi dulu mata istrinya yang sekarang tengah memandanginya dengan penuh tanya. “Karena kamu orang pertama yang bisa memahami apa yang kurasakan selama ini. Aku merasa dihargai, bisa jadi diri sendiri saat berada di sampingmu.”
Ayyara tertegun mendengar penjelasan suaminya. Kenapa baru kali ini dia tahu alasan di balik ngototnya Abyan untuk segera menikahinya kala itu.
“Pada awal pernikahan, aku merasakan kehidupanku sudah lengkap. Seakan semua hal di luar dirimu itu nggak penting. Sampai kemudian, Allah kirimkan Zay pada kita. Dan ternyata, aku harus mulai membagi kebahagiaanku itu.”
“Ya, ampun, Mas … masa anak sendiri dijadiin saingan?” celetuk Ayyara.
“Ay!” bentak Abyan hingga membuat istrinya terperanjat. “Bisa nggak, jangan motong ucapanku!”
Ayyara langsung tertunduk dengan tangan gemetar. Baru kali ini Abyan membentakknya begitu keras melebihi saat dulu di kamar hotel.
“Kamu tahu kapan pertama kali aku ketemu Lidya?” tanyanya dengan suara yang kembali melunak. Dia kaget sendiri saat melihat reaksi istrinya.a
Ayyara menggeleng. Tanpa terasa genangan air di sudut-sudut matanya mulai mengalir membasahi pipi.
“Saat kamu mulai menolak diajak ngobrol tentang kegiatanku di tempat kerja. Saat aku ingin sekedar bercerita menghilangkan penat, tapi kamu selalu menolak dengan alasan nggak ngerti dengan dunia kerjaku,” ucap Abyan dengan suara yang mulai bergetar juga.
Dia memutar badannya, menghindari tatapan sang istri karena matanya pun mulai berkaca-kaca. “Kemudian, aku bertemu Lidya yang saat itu menjadi mahasiswi bimbinganku. Aku lihat kamu yang dulu ada dalam dirinya. Aku mulai nyaman ngobrol sama dia.”
Ayyara memejamkan matanya. Hatinya terasa ditusuk-tusuk. Dia tak pernah menyangka ternyata dirinyalah yang mengawali kehancuran itu.
“Tapi kemudian, kamu kembali hadir dengan semua keputusanmu. Aku dipaksa mengundurkan diri dari kampus,” ungkap Abyan masih dengan badan membelakangi istrinya.
Untuk beberapa saat, Abyan terdiam sejenak. “Aku nggak tahu, apakah ini rezeki atau justru ujian? Karena setelah pindah kerja, aku kembali ketemu Lidya. Dia datang berkonsultasi ke perusahaan tempatku bekerja karena ingin membangun bisnis di bidang fashion.”
Ayyara kian tersedu-sedu, ternyata perselingkuhan suaminya sudah dimulai jauh sebelum peristiwa di hotel tersebut.
“Saking seringnya ngobrol sama dia tentang rencana bisnisnya, sampai aku harus membuat janji tambahan di luar jam kerja. Karena ini juga, kamu kembali termakan gosip. Memintaku untuk resign dan membangun perusahaan sendiri.”
Abyan menyeka ujung-ujung matanya yang terasa basah. Dia kemudian memutar badannya kembali menghadap sang istri. “Sejak hari itu, aku nggak bertemu lagi dengan Lidya. Makanya waktu kita sewa ruko untuk kantor, aku minta kamu buat buka butik sendiri di lantai satu. Kupikir, mungkin saja dengan begitu, kamu mau ngobrol sama aku untuk urusan butiknya, tapi ternyata kamu tetap nolak.”
Ayyara bergeming, suara isakan tangisnya pun masih terdengar jelas. Dia tak mampu berkata-kata.
“Sungguh, aku tak pernah bermaksud untuk mengkhianati cinta kita,” ucap Abyan yang perlahan berjalan mendekati istrinya.
“Lalu kenapa kamu terima wanita lain untuk mengontrak di lantai satu, padahal dia bukan Lidya?” tanya Ayyara dengan suara pelan. Dia masih tertunduk, belum berani menatap suaminya.
“Tadinya, asalkan bidang yang sama, mungkin aku akan menemukan keseruan seperti saat ngobrol bersama Lidya, tapi ternyata tidak semua orang bisa dijadikan tempat untuk bertukar pikiran. Karena itu, aku pun tak keberatan ketika harus pindah kantor lagi,” ungkap Abyan seraya meraih bahu sang istri, lalu memeluknya erat untuk beberapa saat. “Maafkan, jika aku sudah nyakitin perasaanmu.”
Tangis Ayyara kembali pecah. Dia sesenggukan di pelukan suaminya. Setelah puas dan merasakan hati lebih tenang, ibu dua anak ini memberanikan diri untuk kembali bertanya. “Jadi, sejak kapan kamu bertemu kembali dengan Lidya?”
Halaman : 1 2 Selanjutnya
Follow WhatsApp Channel www.redaksiku.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow