Redaksiku.com – Film Tuhan Izinkan Aku Berdosa bersama dengan genre drama religi benar-benar tajam menusuk kepada para kalangan di penduduk bersama dengan topeng kemunafikannya. Diangkat berasal dari novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur, film ini kembali membawa pesan perihal eksploitasi agama untuk keperluan teristimewa seseorang.
Merujuk kepada novelnya, kali ini Hanung sang sutradara mengupayakan mengembangkan isu peka di novel selanjutnya ke didalam bentuk audio visual. Film ini mempunyai tujuan untuk mempertontonkan ke khalayak, bagaimana kejinya kehidupan “underground” yang kebanyakan ditutupi bersama dengan seluruh gimik di dalamnya.
Hanung sendiri menyatakan bahwa ia inginkan membongkar seluruh kemunafikan yang ada di penduduk di film ini. Untuk itulah topik ini terbilang lumayan peka sebab berpotensi menyinggung banyak pihak.
Pastinya film ini dapat dinilai peka sebab genre religi di dalamnya. Tak seperti di film yang lain, agama disini berjalan berlawanan bersama dengan pengembangan berasal dari sifat Kiran di filmnya.
Berbagai kelompok agamis disini terhitung ditampilkan anarkis terhitung eksploitatif, perihal ini tentu dapat menimbulkan amarah berasal dari berbagai pihak. Namun kelanjutannya perihal inilah yang disoroti oleh tim memproses bahwa sekecil apa-pun itu, perihal ini nyata dan berpotensi timbul di kurang lebih kita.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain mengangkat isu agamis, kritik terhadap wakil rakyat terhitung ditampilkan di filmnya. Bagaimana penguasa dan orang-orang yang mendiami kalangan atas bergerak menyelewengkan kuasanya hanya demi keperluan pribadi.
Hal ini terhitung menyiasati bagaimana banyaknya kasus-kasus yang dialami di negeri ini yang mengupayakan di tampilkan di film ini. Akhirnya walau film ini fiksi, dan tiap karakternya adalah karangan tapi isu yang diangkat merasa nyata sebab dirasa dekat bersama dengan kehidupan.
Kedekatan selanjutnya makin terkonfirmasi disaat sang novelis bagaimana prosesnya saat memicu karya sastranya tersebut. Akhirnya novel ini lah yang menjadi acuan oleh tim memproses untuk dikembangkan menjadi skenario film.
“Ini kisah nyata sebetulnya, ada orangnya. Seperti di filmnya, tokohnya terhitung gak dapat di terima (di masyarakat). Awalnya ini adalah memoir. Namun pembaca kelanjutannya marah lantas dibuatlah menjadi sastra. Agar karya selanjutnya merasa fiksi dan tidak memicu kemarahan orang-orang. Agar tidak ada yang tersinggung.” Jelas M Dahlan saat Konferensi Pers di Epicentrum Jakarta (18/05/2024).
Statement ini secara tidak langsung menegaskan isu yang coba diangkat di film ini. Disaat seorang tokoh besar yang terkena kasus, ia tidak inginkan persoalan selanjutnya terkuak. Hal ini berjalan bahkan di kehidupan nyata sang novelis agar ia kudu memalsukan tiap sifat dan tempatnya, dan juga merekayasa konflik-konflik di sastranya.
Akhirnya film ini dibuat untuk kembali menyadarkan manusia secara menyeluruh tanpa ada batasan agama atau jabatan orang tersebut. Semua orang dapat berbuat salah tapi film ini mengajak kami untuk berkontemplasi agar tidak menjadi sama bersama dengan karakter-karakter yang ada di filmnya.
Film ini terhitung secara eksplisit menayangkan adegan-adegan dewasa, terhitung penggunaan obat-obatan. Namun perihal yang dapat ditangkap adalah semestinya sehabis melihat kami lebih responsif jika melihat perihal selanjutnya dan menjauhinya.
Moral di film ini terhitung menjadi kampanye tersirat berasal dari para pembuat film sampai pemainnya untuk menyuarakan isu-isu peka yang ada di negara ini. Pada kelanjutannya manusia kudu menjalankan tugasnya sesuai bersama dengan pekerjaan yang diembannya.
Pemuka agama haruslah mengajarkan agamanya bersama dengan benar, dan pejabat negara kudu menaungi rakyatnya bersama dengan baik.
Karena memuat berbagai adegan sensitif, untuk kamu yang inginkan melihat pastikan dulu kamu layak berasal dari aspek usia maupun mental saat melihat film ini. Nantinya jadikan film ini menjadi sarana kontemplasi bukan untuk coba berbagai perihal negatif yang ada di filmnya.