“Eh, Re, wajah lo, kok pucat sih?” Ghea yang akan pamit karena ada meeting dengan panitia penyelenggara dua jam kemudian belum waktu tempuh perjalanan, mendadak merasa cemas karena dilihat dari dekat kondisi wajah Rere putih pudar.
“Kecapekan aja, Ghe. Lo tau gimana penatnya kerjaan gue belakangan ini.”
“Gue punya satu jam, mau gue antar ke klinik dulu?” Rere menggeleng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tapi gue khawatir, Re!” ucap Ghea lagi.
“It’s Oke. Gue nggak papa. Lo OTW ke tempat meeting, di sini gue ada karyawan dan nanti pulang biar gue taksi.”
“Taapi …”
“Gue hubungin lo pertama kali kalau ada apa-apa sama gue.”
Meski gusar, Ghea yang tahu bahwa temannya itu sedang kondisi keukeh membuatnya harus mengalah. “Oke, janji yaa!” pinta Ghea.
Ketika Ghea sudah meninggalkan ruangan kerja Rere, pemilik ruang itu langsung memijit pangkal hidung. Sejak tadi ia menahan rasa sakit, hanya takut Ghea bertindak irasional dengan membatalkan semua agenda pekerjaan yang Rere tahu bahwa sang sahabat sangat sibuk. Dari antusias cerita Ghea melalui telepon atau chat, disana ia tahu betapa berarti pameran ini untuk teman sejak SMA. Oleh karena, semenjak tahu bahwa Ghea yang membuka ruang kerjanya, Rere memainkan peran seolah tubuhnya baik-baik saja.
Kenyataannya, Rere menyadari hal aneh dengan tubuhnya yang beberapa hari ini tiba-tiba sering mual. Pagi tadi saja, saat ia mengemudi mau ke kantor harus menepi sebentar karena ingin muntah yang tidak bisa ditahan lagi. Ia pikir mungkin lambungnya bermasalah mengingat sebulan ini ia sudah sangat stres karena ide dan kontrak nikah yang tidak berjalan sesuai rencana. Tetapi saat intensitas mualnya semakin menjadi, Rere mulai gusar. Sepertinya periode sudah lewat dari tanggal seharusnya.
Rere menelungkupkan kepala di meja kerjanya. “Aku enggak mungkin hamil, kan? Lambung bermasalah dan datang bulan terlambat wajar bagi orang banyak pikiran, ‘kan?”
Halaman : 1 2