“Re, kamu hamil?” tanya Dito antusias.
Rere yang kehabisan energi untuk berinteraksi dengan Dito hanya mengela napas kemudian mengambil celah untuk pergi meninggalkan Dito.
“Re!” panggil Dito yang tidak digubris oleh pemilik nama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lelaki yang tidak dianggap keberadannya oleh Rere itupun segera mengejar dan merampas map yang berisi pemeriksaan dari tangan Rere.
Rere yang berang berusaha merebut kembali hasil pemeriksannya tetapi senantiasa dijauhkan oleh Dito hingga tespack dua garis itu jatuh dari map.
Berhubung Dito sudah melihat salah satu bukti kehamilan Rere, menurutnya percuma saja jika harus merebut berkas pemeriksaan itu. Rere pun hanya menatap enggan pada benda panjang dan pipih yang tergeletak di lantai rumah sakit. Rere kembali berjalan meninggalkan Dito dengan kertas-kertas yang berhasil lelaki itu rebut.
Dito menarik lembar A4 dan matanya terpaku pada tulisan positif hamil, sudut lelaki mengembang dan matanya sedikit berair. Hatinya bungah, sebentar lagi ia akan menjadi ayah.
“Kamu hamil, Re!” teriak Dito dengan tergesa memasukkan lembar pemeriksaan dan mengambil testpack yang di lantai. Kemudian, lelaki itu berjalan dengan langkah lebar menyusul Rere yang sudah sampai di lobi depan rumah sakit.
Rere menatap tajam pada pegelangan tangannya yang ditahan oleh Dito. Baginya, lelaki itu sejak tadi sudah melanggar batas yang membuatnya siap meluapkan emosi. “Lepasss!” bentak Rere dengan mata yang melotot dan juga sekali hentak tangan hingga cekalan itu terlepas.
Suara Rere yang keras dan juga terdapat penekanan membuat lelaki itu terkejut dan juga orang-orang di sekitar yang kebetulan lewat. Sayangnya emosi yang tinggi itu juga tidak baik untuk perempuan yang hamil muda. Perut bagian atas Rere terasa teramat sakit hingga ia kesulitan untuk bernapas. Untuk menahan nyeri yang menusuk, Rere menggingit bibir bawahnya.
Netra Dito membuka lebar, lelaki itu langsung merangkul istrinya dan membawa ke kursi terdekat.
Sebagai orang yang pernah menemani perempuan hamil hingga lahir, Rere tahu untuk meredakan keram perutnya harus tenang. Dilepas gigitannya pada bibir bawah, dengan mulut yang terbuka sedikit dia mencoba menggembuskan perlahan napas dari mulut, berulang kali dengan pelan-pelan mencoba menambah panjang napasnya hingga kembali ke pernapasan semula dan rasa sakitnya mereda.
“Kita cek ke dokter, ya!” pinta Dito dengan wajah paniknya yang belum pudar.
Rere hanya menggeleng.
“Re, aku takut terjadi sesuatu dengan kamu. Kita periksa, ya!”
“Aku mau pulang,” kata Rere dengan suara lemahnya tetapi sudah tidak bisa dibantah.
“Kita pulang ke rumah, ya!” Sekali lagi mohon Dito ketika ia melihat Rere mengeluarkan ponsel dan akan membuka aplikasi transportasi online.
Halaman : 1 2