Novel : Bertahan di Atas Luka (Part 1)
Amira Dzakiya.
“Kamu di mana, Mas?” tanyaku begitu telepon tersambung.
“Waalaikumsalam. Lupa nyebut salam?” Suara dingin Mas Bayu menyindirku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Maaf. Soalnya dari tadi aku telepon nggak diangkat,” jawabku merasa bersalah.
“Aku di kantor, baru aja selesai meeting. Kenapa?”
“Kamu lupa kalau kita ada janji ketemu sama Ustazah Maryam sore ini?”
“Oh, nggak kok. Aku ingat, tapi tiba-tiba tadi ada rapat mendadak. Masih mau ke sana?” tanya Mas Bayu datar.
Aku menarik napas panjang dan berusaha menjaga suara agar tetap tenang.
“Kamu kan udah janji. Kita sepakat mau sama-sama memperbaiki diri supaya pernikahan ini bisa selamat. Iya kan, Mas?” tanyaku bergetar.
“Itu kan kamu yang mau, bukan aku,” sentak suamiku. “Kamu yang merasa kalau pernikahan kita bermasalah. Aku nggak pernah bikin salah apa-apa, kok!”
Aku terdiam. Selalu seperti ini kalau bicara hubungan kami. Mas Bayu selalu merasa tidak bersalah, tidak ada masalah apa-apa. Ia menganggapku berlebihan. Mataku mulai memanas. Jantungku berdetak lebih cepat, membuat dada ini sesak dan sakit.
“Kamu emang nggak salah. Nggak ada yang nyalahin kamu, Mas. Kita hanya perlu bicara saling terbuka. Aku ingin kita ngobrol seperti dulu saat awal menikah. Kita bisa bicara apa saja, saling cerita,” bisikku lirih. Pertahananku bobol sudah. Kubiarkan air mata mengalir di pipi.
“Aku kan sibuk! Kamu ngerti sedikitlah. Nggak usah manja dan cengeng kayak gitu. Kita bukan remaja yang baru jatuh cinta, Mir. Kamu harus dewasa dan mengerti kalau sekarang jabatanku tidak seperti dulu. Sekarang tanggung jawabku lebih besar, makanya aku lebih sibuk.”
“Iya, aku ngerti. Aku selalu coba untuk ngertiin kamu. Kerjaanmu, teman-temanmu, hobimu, semuanya! Makanya aku pengin kita ngobrol. Kamu selalu menuntut aku supaya ngertiin kamu, tapi kamu sendiri nggak pernah mau mencoba untuk tahu perasaanku!” seruku dengan suara bergetar.
“Sudah, Amira! Nanti kita lanjut ngomong di rumah kalau kamu udah tenang.” Mas Bayu menutup telepon, tanpa peduli aku masih ingin bicara.
Aku terduduk di kursi sambil berusaha mengatur napas yang memburu. Kuseka air mata dengan kasar. Teleponku kembali berdering. Sambil menarik napas panjang, aku melirik nama yang ada di layar. Ustazah Maryam. Dengan ragu aku menekan tombol hijau.
“Ya, Ustazah,” jawabku lirih setelah mengucapkan salam.
“Nggak jadi ke sini, Mbak Amira?” tanya perempuan paruh baya itu lembut.
Aku mencoba bersikap biasa, “Maaf, Ustazah, Mas Bayunya masih ada rapat yang nggak bisa ditinggal. Mungkin kita janjian lagi lain waktu. Nggak apa-apa, ya?”
“Boleh. Selonggarnya Pak Bayu dan Mbak Amira aja,” jawab Ustazah Maryam ramah. “Mbak Amira baik-baik aja? Ada yang mau diomongin mungkin?”
“Terima kasih, Ustazah. Saya nggak apa-apa,” ujarku dengan suara bergetar.
“Baiklah, kalau butuh teman untuk ngobrol, telepon saya, ya? Ingat Mbak, Allah nggak akan memberikan ujian di luar kemampuan umat-Nya. Sabar, ya?”
“Iya, Ustazah.” Lalu aku mengakhiri pembicaraan.
Aku menyandarkan punggung di sofa. Tubuh dan hatiku lelah sekali rasanya. Mataku memandang ruang tamu bergaya Arab dengan sofa rendah melingkar yang menjadi ciri khas rumah di Timur Tengah ini. Rumah di lantai tiga yang telah kami tempati selama lima tahun dan menjadi saksi kehidupan rumah tanggaku.
Rumah yang terasa sunyi karena Allah belum memberikan kami momongan. Kalau Mas Bayu kerja, otomatis aku sendiri di rumah besar ini. Sejak ikut pindah ke kota Riyadh, aku memang harus terbiasa hidup mandiri. Kegiatanku sehari-hari seperti ibu rumah tangga lainnya, memasak dan mengurus rumah. Seminggu dua kali, aku ikut belajar mengaji di rumah seorang teman yang sudah berpuluh tahun tinggal di ibu kota Arab Saudi ini.
Aku beranjak ke dapur untuk mengambil minum dan kembali ke ruang tamu. Sambil menunggu, kuraih novel dari dalam tas dan tenggelam dalam keasyikan membaca. Satu jam kemudian, kudengar suara pintu terbuka.
“Assalamualaikum! Ayo, kamu masih mau pergi?” Mas Bayu masuk dan meletakkan tasnya di meja kerja yang terletak di sudut ruang tamu. Setelah itu ia duduk di sofa sambil melepas dasi dan kaus kaki.
“Baik, aku ambil abaya dulu.” Aku bergegas meraih baju panjang hitam dan memakainya di luar baju gamis abu-abu. Setelah merapikan jilbab dan mengambil tas, aku duduk di samping suamiku.
“Mana minumanku?” tanya Mas Bayu.
“Oh iya. Lupa. Sebentar.” Aku kembali ke dapur dan menyeduh segelas teh hangat di cangkir kecil lalu memberikannya pada Mas Bayu.
Sambil menyesap teh, lelaki itu memandangku.
“Sebetulnya kamu mau apa sih, Amira Dzakiya? Kenapa masalah rumah tangga kita harus kamu ceritakan ke orang lain?” tanyanya tajam.
“Aku capek, Mas. Aku hanya ingin bahagia,” sahutku singkat.
“Apa maksud kamu? Selama ini kamu nggak bahagia hidup sama aku? Delapan tahun pernikahan kita?” Suara Mas Bayu meninggi. Wajahnya merah padam.
“Kan, kamu mulai emosi lagi. Gimana kita mau bicara baik-baik, kalau setiap aku mau mengatakan perasaanku, kamu langsung kayak gitu?”
Mas Bayu terdiam. Ia meletakkan gelas teh di meja dan beranjak pergi.
Halaman : 1 2 Selanjutnya