“Mas! Kita belum selesai ngomong.” Aku mengejar lelaki terkasih itu ke kamar.
Mas Bayu keluar dari kamar mandi dalam keadaan basah karena wudu. Bulir-bulir air masih menetes dari rambut ikalnya. Ia mengambil handuk kecil yang tersedia di kamar dan menyeka wajahnya.
“Jadi selama ini kamu tersiksa menikah sama aku?” tanyanya menatapku tajam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Awalnya aku bahagia, Mas. Aku senang bisa menikah sama kamu.”
“Lalu?”
Aku duduk di pinggir tempat tidur, lalu melanjutkan, “Lama kelamaan, kok kamu semakin terasa jauh, makin nggak perhatian. Aku jadi merasa menikah dengan orang asing.”
“Itu cuman perasaan kamu aja, Mir. Kamu terlalu banyak baca novel-novel cengeng, makanya jadi sensitif kayak gini. Udah ya, aku mau ke masjid, bentar lagi magrib.” Mas Bayu memakai baju thobe putihnya dan melangkah pergi.
“Mas, tunggu!” Setengah berlari aku mengejarnya, “kita nggak jadi pergi?”
“Nggak usah! Nanti aja kita ngobrol. Keburu azan.”
“Kalau kamu kayak gini terus, aku minta pulang aja ke Jakarta, Mas!” Akhirnya aku tak tahan lagi.
Langkah suamiku terhenti. Ia berbalik dan menatapku dengan pandangan sulit ditebak.
-bersambung-
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel
Halaman : 1 2