Amira Dzakiya
Suatu pagi, setelah selesai rapat aku mengirim chat ke suamiku. Namun, hingga siang hari, tidak ada juga jawaban dari Mas Bayu. Aku masih berpikir positif, mungkin ia belum sempat membalas. Hari pun beranjak sore, tapi belum ada kabar juga dari lelaki terkasih itu. Kecemasan mulai melandaku. Kucoba untuk meneleponnya. Namun, tidak ada jawaban. Hatiku semakin kalut. Berbagai hal buruk berkelebat memenuhi benakku.
Akhirnya, kucoba menghubungi salah satu rekannya yang aku kenal. Barulah Mas Bayu membalas chat-ku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kenapa, Mir? Telepon sampai 6 kali panggilan tak terjawab.”
“Kamu dari mana aja, sih? Katanya lewat chat aja kalau mau tanya kabar. Itu coba liat, udah berapa aku kirim chat, tapi nggak dibalas. Boro-boro dibalas, dibaca aja nggak! Gimana aku nggak khawatir kalau kamu nggak ada kabar kayak gini?” omelku.
“Baru pulang dari rapat di luar. HP nggak kebawa karena tadi lagi di-charge. Udah, aku nggak apa-apa, kok! Waktu itu aku bilang apa? Jangan terlalu khawatir kayak gitu. Jadi bikin semua orang senewen. Temanku sampai nanya, ada apa kamu nyariin aku kayak gitu. Aku jadi malu, Mir!”
Kembali aku mengalah. Aku salah lagi. Kuterima semua omelan Mas Bayu dengan sabar. Sekali lagi aku harus menerima kalau aku terlalu khawatir dan berperasangka buruk. Aku menyimpan semuanya rapat-rapat dalam hati. Memang aku yang salah, ucapku dalam hati. Aku harus belajar untuk menghilangkan pikiran-pikiran buruk dari kepalaku. Kalau kata Mas Bayu, aku harus mencoba berpikir positif, menghilangkan pikiran-pikiran negatif yang sering merasuki otakku.
Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi menghubungi Mas Bayu saat ia berada di kantor. Aku mencoba menahan diri hanya menghubunginya kalau ada hal penting saja. Harapanku, Mas Bayu juga mengubah sedikit sifat tak pedulinya, sehingga kami sama-sama berusaha untuk menjadi lebih baik. Aku berharap ia bisa meluangkan waktu sedikit untuk memberi kabar kaalu ia baik-baik saja. Namun, tampaknya hanya aku seorang yang berusaha.
“Amira, nanti pulang kantor aku nggak langsung pulang, ya?” Mas Bayu menelepon sore itu.
“Mau ke mana, Mas? Lupa, ya, kamu kan janji mau ajak aku makan di luar?” Aku meletakkan ponsel di meja dan memasang mode pengeras suara, lalu melanjutkan kesibukan merias wajah.
“Aku ingat, tapi ini ada ustaz yang minta tolong diantar ke pengajian. Beliau harus mengisi kajian di masjid An-Nur, dekat rumah kita. Panitia yang bertugas jemput nggak bisa datang karena sakit. Mereka minta tolong aku karena aku biasa ngaji di sana.” Mas Bayu menjelaskan panjang lebar.
Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan keras. Hati yang tadinya berbunga-bunga karena kami akan jalan berdua, mendadak terempas oleh rasa kecewa. Sia-sia rasanya dari tadi aku berdandan cantik. Sia-sia juga tadi aku pulang lebih awal dari kantor supaya bisa istirahat dulu dan lebih segar ketika pergi nanti. Sia-sia semua.
“Emang nggak ada orang lain?” tanyaku hati-hati.
“Ustaz mintanya aku. Gimana aku mau nolak? Ini untuk kepentingan orang banyak.”
“Terus kita jadi pergi, nggak?” Aku masih menyimpan sedikit harapan.
“Lihat nanti aja. Kalau bisa selesai cepat, aku kasih tahu. Jadi, kita tetap bisa pergi. Nggak apa malam juga, toh besok kan libur. Kamu siap-siap aja. Nanti aku telepon lagi.” Mas Bayu memutus telepon sebelum aku menjawab.
“Aku udah siap dari tadi, Mas,” jawabku lirih dengan mata berkaca-kaca.
Seperti yang sudah kuduga, tidak mungkin Mas Bayu akan pulang cepat seperti janjinya. Aku melihat jam di dinding kamar, sudah pukul 09.30 malam. Mau pergi jam berapa kalau saat ini saja dia belum pulang. Restoran juga rata-rata sudah akan tutup saat kami tiba. Perlahan aku meraih pembersih wajah dan menghapus riasan yang sudah bercampur dengan air mata.
Dadaku terasa sesak oleh tangis yang berusaha kutahan. Aku nggak boleh cengeng! Mas Bayu banyak dibutuhkan masyarakat. Sosok suamiku itu memang senang menolong orang lain, apalagi ini untuk urusan agama. Dia pasti dengan senang hati mengorbankan semuanya untuk mendapatkan rida Allah, termasuk mengecewakan istrinya.
Tepat pukul 10.00, terdengar suara mobil di depan rumah. Sejak dua bulan lalu, kami memutuskan untuk menjual motor dan membeli mobil bekas yang masih layak pakai. Alhamdulillah, posisi Mas Bayu di kantor semakin bagus dan gajinya juga meningkat, sehingga kami bisa menabung lebih banyak untuk membeli sebuah mobil.
Tak lama bunyi pagar dibuka dan mobil masuk halaman, lalu suara Mas Bayu mengucap salam. Aku bergeming, ada rasa enggan untuk menyapanya. Mas Bayu membuka pintu kamar.
“Maaf ya, Mir, ternyata acaranya lama. Tanya jawabnya banyak banget. Kirain abis salat Isya selesai, nggak tahunya masih lanjut. Eh udah tidur, ya?”
Aku tak menjawab. Kupejamkan mata, pura-pura terlelap.
“Ya udah, deh. Aku juga mau mandi terus tidur. Oleh-olehnya aku masukin kulkas aja, buat besok. Nggak baik malam-malam masih makan.” Lelaki itu berjalan ke kamar mandi dan tak lama kemudian terdengar suara gemericik air.
Aku tetap memejamkan mata dan membiarkan air mata membasahi pipi. Tak lama kudengar Mas Bayu membuka lemari untuk mengambil baju tidur. Ia menoleh dan melihat linangan air mataku.
Halaman : 1 2 Selanjutnya