Ibu menarik napas panjang, lalu menatapku dalam.
“Ibu terserah kamu saja. Semoga dengan kamu nurut sama suami, Allah akan mengabulkan semua keinginanmu untuk memiliki momongan.”
Meski samar, aku seperti menangkap getaran suara Ibu. Kekhawatiran Ibu adalah kalau nanti aku tertekan karena berada di rumah saja. Aku tahu, Ibu tidak akan khawatir soal rezeki, ia justru takut aku tidak bahagia dan kelak menyalahkan Mas Bayu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aku memeluk Ibu erat. Tanpa sadar, aku menangis tersedu-sedu. Seluruh bebanku selama ini seperti tumpah saat bersama Ibu. Bahuku berguncang. Dengan lembut Ibu mengelus punggungku. Meskipun Ibu tidak berkata apa-apa, aku sudah merasa lega bisa menangis di pelukannya.
“Maafin Mira kalau nanti ngecewain Ibu, nggak bisa ngasih Ibu lagi,” ujarku di sela-sela tangisan.
“Sudah. Kamu nggak boleh bilang kayak gitu. Insyaallah, Allah sudah mengatur rezeki Ibu. Patuh pada suami akan membuka jalanmu ke surga, Nak! Soal rezeki, Allah akan cukupkan. Insyaallah.”
Ibu lalu menyeka air mataku dengan tangan tuanya.
“Salat Isya dulu, nanti keburu suamimu datang jemput.” Ibu lalu berdiri meninggalkanku seorang diri di ruang tamu. Terdengar kumandang azan isya. Kulirik ponsel, ada pesan masuk dari Mas Bayu. Ia bilang akan salat Isya dulu di masjid dekat rumah Ibu.
Sepanjang perjalanan dari rumah Ibu, aku lebih banyak membisu. Masih terbayang luka di mata Ibu ketika mengetahui aku akan berhenti bekerja. Ibu memang tidak mengatakan apa-apa, tetapi aku bisa merasakan kalau Ibu kecewa. Meskipun kecewa, Ibu sadar kalau aku harus patuh dan menuruti suami selama tidak mengajak ke jalan yang salah.
Apakah aku akan sanggup berdiam diri di rumah? Bagaimana dengan teman-teman? Meski aku memang kurang suka keramaian, tapi teman kantor adalah hiburanku. Kami terbiasa bersama, makan siang bersama, belanja, berkeluh kesah karena pekerjaan yang melelahkan, semua membuat kami merasa senasib dan menjadikan kami kompak. Aku akan merindukan teman-temanku. Kalau aku tidak bekerja, aku tidak akan punya teman.
Aku ingin menjadi istri yang baik dengan mematuhi perintah suami. Semua yang Mas Bayu inginkan untuk kebaikan pernikahan kami. Namun, di sisi lain aku belum siap untuk berdiam diri di rumah. Apa aku tidak akan merasa bosan? Bagaimana nanti kalau orang-orang tidak menghargaiku lagi? Apa aku siap hanya menjadi ibu rumah tangga?
Pergolakan batin membuatku bingung. Aku sudah mohon petunjuk Allah, tetapi mengapa hati ini masih ragu? Apa karena aku tidak yakin Allah akan mencukupkan rezeki kami berdua? Aku takut kalau tidak memiliki uang dan harus minta pada Mas Bayu. Harga diriku terlalu tinggi untuk menerima uang dari Mas Bayu meskipun ia suamiku.
Aku terlalu sombong. Baiklah, aku akan mencobanya. Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan kencang.
“Kenapa, Mir?” tanya Mas Bayu kaget. Ia menoleh padaku sejenak lalu kembali fokus melihat jalan.
Aku terperanjat, tidak menyangka kalau Mas Bayu memperhatikanku.
“Eh …, nggak apa-apa, Mas,” jawabku singkat dan kembali memandangi kerlap-kerlip lampu di sepanjang jalan pulang.
-bersambung-
Halaman : 1 2