Bayu Ramadhan.
Sepulang dari mengantar Amira ke bandara, aku sengaja tidak langsung pulang. Perut yang sudah berbunyi sedari tadi membuatku membelokkan mobil ke sebuah restoran Yaman di dekat rumah. Biasanya kalau Amira tidak masak, kami selalu ke restoran ini karena rasa masakannya yang lezat dan cocok di lidah.
Aku segera antre untuk memilih makanan. Pilihanku jatuh pada saltah, yaitu sup khas Yaman, dimasak dengan tomat dan bawang putih yang banyak sehingga ada rasa getir dan asam. Sup ini biasanya disantap dengan roti berbentuk bulat besar yang dibuat dari gandum. Orang menyebutnya khubz. Hidangan ini sangat nikmat dimakan saat masih panas, apalagi saat cuaca dingin seperti ini. Untuk minumannya aku memilih teh susu panas yang dalam bahasa Arab disebut sahi halib.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah perut kenyang, aku meluncur pulang. Ketika tiba di rumah dan membuka pintu, kesunyian menyambutku. Rumah besar ini terasa kosong tanpa kehadiran Amira. Ada sedikit rasa kehilangan karena kepergiannya, tapi cepat kutepis. Aku ingin menikmati kesendirian tanpa harus capek bertengkar.
Bergegas aku mandi, berwudu, dan berganti pakaian. Lalu kuraih Al-Qur’an dan membacanya halaman demi halaman untuk menenangkan diri. Ada rasa damai di dada. Selesai membaca qur’an, aku berbaring santai sambil mengecek HP. Ada pesan dari Amira, memberi tahu kalau pesawatnya sudah siap untuk berangkat. Aku hanya membaca sekilas tanpa berniat membalas. Memang bukan kebiasaanku untuk selalu menanyakan kabar dan membalas setiap pesan Amira. Pikirku, toh tadi dia sudah pamit dan besok pun sudah sampai di Jakarta.
Setelah lelah membaca dan membalas pesan yang penting, aku memutuskan untuk tidur. Biarlah besok saja kalau Amira sudah sampai, aku akan membalas pesannya. Terkadang aku tidak habis pikir dengan kebiasaan istriku itu. Untuk apa setiap saat harus bertanya aku di mana, atau memberi tahu dia ada di mana. Aku merasa tidak nyaman dan menjadi terkekang. Bagiku, ketika berangkat kerja, doakan saja supaya aku selamat dan bisa bekerja dengan baik. Toh biasanya aku juga akan mengirim pesan kalau sudah tiba di kantor.
Amira tidak perlu setiap saat menanyakan keadaanku. Ini yang membuat emosiku muncul. Kami juga sudah sering membicarakan hal ini, tetapi selalu berujung pada pertengkaran.
[Mas, alhamdulilah, aku sudah sampai di rumah Ibu].
Sebuah pesan dari Amira masuk ke HP ketika aku selesai salat Zuhur dan bersiap makan siang. Di sana sudah jam 17.00. Aku berniat membalasnya nanti setelah selesai makan. Namun, saat selesai makan siang, rapat menungguku. Jadilah aku lupa untuk membalas pesan Amira. Baru setelah asar aku sempat membalasnya.
Selama Amira pergi, aku harus mandiri. Untunglah, Ibu mengajariku memasak, sehingga aku tidak terlalu pusing urusan makan. Aku merasa bahagia karena bisa dengan bebas mengatur waktu untuk diri sendiri. Aku bisa berlama-lama bersepeda dengan teman-teman tanpa harus khawatir ada yang menunggu dengan cemberut. Aku bisa berlama-lama main HP tanpa ada gangguan.
“Mbak Amira ke mana, Mas? Kok udah berapa hari ini nggak keliatan,” tanya Pak Farhan, tetangga sekaligus teman sepengajian. Aku baru saja keluar dari mobil menuju rumah.
“Eh, iya, Pak. Lagi pulang ke Jakarta. Katanya kangen sama ibunya,” jawabku canggung. Entah kenapa, setiap ada yang bertanya ke mana Amira, aku merasa bersalah dan takut rahasia rumah tanggaku terbongkar. Aku tidak mau orang tahu kalau Amira minta berpisah dariku.
“Oh, gitu. Wah, single lagi, dong!” Pak Farhan kembali menggoda.
Aku hanya bisa tertawa sumbang.
“Kalau butuh apa-apa, bilang ya, Mas. Jangan sungkan!” lanjut Pak Farhan.
“Iya, Pak. Makasih.” Aku membuka pintu gerbang. “Mari, saya masuk dulu, Pak,” ujarku sambil menganggukkan kepala.
“Monggo. Saya lagi nunggu istri, mau belanja.” Pak Farhan bergegas masuk ke mobilnya.
Aku pun melangkah masuk dan menutup pintu gerbang.
Hari demi hari berlalu, hingga tak terasa dua bulan sudah aku dan Amira berpisah. Rasa senang karena bisa bebas yang di awal aku rasakan, lama-kelamaan berubah menjadi rasa rindu. Aku mulai merindukan Amira. Ada rasa hampa yang kurasakan tiap kali pulang ke rumah. Saat aku di kantor dan sibuk bekerja, rindu itu tidak terlalu terasa. Namun, ketika pulang dan menemukan rumah kosong, aku seperti kehilangan separuh jiwaku.
Aku memang masih mencintai Amira dan tak ingin bercerai, tetapi aku tidak bisa kalau harus menemui seorang penasihat perkawinan dan membicarakan semua masalah kami. Aku juga tidak bisa bicara dari hati ke hati dengan istriku tanpa emosi. Semua jadi serba salah. Apa yang harus kulakukan?
Komunikasi kami juga tidak berjalan dengan baik. Aku merasa kesulitan untuk rutin menyapa Amira. Selain karena perbedaan waktu, kesibukan di kantor membuatku selalu lupa untuk sekedar mengirim pesan. Aku tahu Amira semakin kecewa padaku.
Akhirnya malam itu, aku memutuskan meneleponnya sepulang kerja. Di sana sudah jam 09.00 malam.
“Assalamualaikum, Mir! Kamu sehat, kan?” tanyaku setelah telepon diangkat.
“Sehat, Mas. Alhamdulillah,” sahutnya setelah menjawab salamku.
Halaman : 1 2 Selanjutnya