Bayu Ramadhan.
Ketika itu Amira baru tiba di Riyadh. Aku begitu rindu karena kami harus berpisah selama setahun sebelum izin tinggal Amira selesai. Sesuai peraturan perusahaan tempatku bekerja, suami harus menetap dulu di Riyadh untuk mengurus izin tinggal istri dan anak-anaknya. Oleh karena itu, aku berangkat lebih dulu, baru kemudian bisa mengajak Amira.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebulan setelah Amira menetap di Riyadh, aku memutuskan untuk mengajaknya umrah. Ia menyambut baik ajakanku. Wajahnya berbinar dan bibirnya selalu menyunggingkan senyum saat menapakkan kaki untuk pertama kali di Masjid Haram. Masjid di mana terdapat Kabah yang menjadi kiblat seluruh umat Islam di dunia. Kami seolah tak percaya bisa sampai ke Baitullah atau rumah Allah. Rasa haru dan syukur bergelora dalam hati. Air mata tak berhenti mengalir, lisan tak henti mengagungkan nama Allah, mengucap istighfar, memohon ampunan.
Karena memilih naik pesawat dari Riyadh ke Jeddah, maka kami mengambil ihram di atas pesawat. Ihram adalah keadaan di mana seorang yang berniat umrah tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang, seperti mamakai wangi-wangian dan memotong kuku dan rambut. Untuk laki-laki harus mengenakan baju khusus ihram yaitu dua kain putih berukuran besar untuk bagian atas dan bawah. Kain ini tanpa jahitan dan saat mengenakannya, tidak boleh memakai pakaian dalam. Untuk perempuan, bisa memakai baju gamis biasa dengan jilbab panjang.
Saat berada di atas tempat yang disebut miqot, jemaah di dalam pesawat mulai mengucapkan niat untuk umrah. Aku membantu Amira melakukan langkah demi langkah cara melaksanakannya. Waktu umrah pertama dulu, aku memilih berangkat bersama rombongan dengan menggunakan bis supaya mendapatkan bimbingan langsung dari seorang ustaz. Sengaja aku lakukan supaya tidak ada langkah yang salah.
Setelah memakai baju ihram dan mengucapkan niat, aku terus mengucapkan kalimat-kalimat pujian kepada Allah. Memandangi wajah Amira yang tertidur di sampingku, membuat hati bergetar penuh rasa syukur. Mataku berkaca-kaca. Sungguh, Allah telah begitu banyak memberikan nikmat-Nya. Perlahan kugenggam jemari halusnya. Ia membuka mata sejenak lalu tersenyum.
“Kenapa, Mas?” tanyanya lembut.
“Nggak apa-apa. Bersyukur banget kamu bisa nemenin aku di sini. Kamu bahagia, Mir?”
Ia mengangguk dan kembali terlelap. Aku tak tega untuk membangunkannya. Biarlah ia menikmati perjalanan ini. Kulirik jam di tanganku, pukul 07.30 pagi waktu setempat. Pantas Amira mengantuk, karena tadi kami berangkat dari rumah sebelum subuh.
Tak lama kemudian, pesawat mendarat dengan selamat di Bandara King Abdul Aziz Jeddah. Kami menyambung perjalanan ke Mekkah dengan menggunakan bis. Setelah menempuh waktu kurang lebih dua jam, kami tiba di kota suci impian seluruh umat muslim di dunia. Kami menyimpan koper di hotel dan bersiap untuk mulai umrah.
Cuaca pagi itu cukup hangat meskipun musim dingin. Mekkah memang memiliki iklim lebih stabil ketimbang Riyadh. Aku menggandeng tangan Amira dan berjalan menuju masjid yang tidak terlalu jauh dari hotel. Di sepanjang jalan, bibirku tak berhenti mengucapkan kalimat-kalimat pujian pada Allah.
Saat mendekati masjid, mulai terlihat menara-menara berwarna putih keemasan menjulang tinggi seolah mengucapkan selamat datang. Tuhan, selalu muncul rasa haru di dada setiap kali menginjakkan kaki di halaman masjid-Mu ini. Aku mengusap air mata yang menitik di pipi. Amira menggenggam erat tanganku. Setelah menyimpat sandal di dalam tas, kami melangkah masuk. Aroma harum masjid menguar ke dalam indra penciumanku. Kaki menginjak dinginnya lantai masjid ketika kami berjalan menuju area thowaf di lantai satu.
Prosesi pertama dalam umrah adalah melakukan thowaf, yaitu berjalan mengelilingi Kabah sebanyak tujuh kali dimulai dari lampu hijau yang ada di sisi kanan area Kabah. Suasana tidak terlalu ramai ketika kami tiba di depan Kabah. Cuaca hangat meskipun matahari mulai berada di atas kepala. Langit terlihat bersih dengan warna biru yang indah.
Aku dan Amira mulai melangkah mengikuti arus jemaah lain. Amira mencengkeram erat kain ihramku. Aku bisa mendengar isak tangis bahagia yang keluar dari bibirnya bersamaan dengan lantunan doa dan puji syukur. Seiring langkah, bermacam rasa bercampur menjadi satu memenuhi hatiku. Aku masih tidak percaya bisa umrah bersama wanita yang kucintai.
“Ini sudah putaran ketujuh. Setelah selesai, kita cari tempat yang agak longgar di pinggir untuk salat, ya.” Aku berkata dengan suara cukup keras supaya Amira mendengar. Ia mengangguk.
“Aku haus, Mas. Aku mau minum zam-zam dulu sebelum salat.” Amira mengikuti langkahku mencari tempat yang agak sepi.
“Jangan lupa doa sebelum minum air zam-zam-nya, Mir. Minta sama Allah supaya kita bisa cepat dikasih momongan.” Aku berjongkok di samping Amira sambil meneguk zam-zam dengan nikmat.
Kami lalu salat dua rakaat di area yang telah disediakan, tepat di depan Kabah. Tak terkira rasa haru dan bahagiaku bersatu dalam sujud syukur. Amira tak henti-hentinya terisak. Air matanya mengalir deras dari mata yang tertutup. Kedua tangannya terangkat memohon kemurahan Allah untuk mengabulkan doa-doanya. Wajah dan jilbab panjangnya tampak basah oleh keringat. Namun, semua kelelahan itu tidak mengurangi kecantikannya.
Halaman : 1 2 Selanjutnya