Umrah kami selesai setelah melakukan Sai dari Bukit Safa ke Marwah. Kami duduk beristirahat sejenak di pinggir area Sai sambil menikmati sejuknya air zam-zam.
“Capek, Sayang?” tanyaku sambil memandang wajah Amira.
“Iya, tapi nggak kerasa deh. Yang ada cuman rasa syukur aku bisa datang ke sini, jadi tamu Allah. Nggak semua orang bisa sampai ke sini, kan, Mas?” Ia tersenyum sambil menyeka keringat di dahinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Benar. Semua atas kehendak dan undangan Allah. Memang kita patut bersyukur bisa ke sini. Minggu depan, kita lanjut ke Madinah. Kamu pasti jatuh cinta sama kota dan masjid Nabawi, masjid tempat Rasulullah mulai menyebarkan Islam.
Mata Amira berbinar.
“Aku nggak sabar pingin segera ke Madinah. Seperti apa ya, masjid Nabi itu? Pasti aku bakal nangis lagi deh, apalagi ada makam Rasul di sana, kan?” Ia menatapku. “Ada taman surga juga, ya?”
“Maksudmu Rawdah?” jawabku tersenyum. “Iya, ada Rawdah, kamu bisa masuk nanti dan doa yang banyak di sana. Kalau aku beda jam berkunjung dan pintu masuknya. Kamu nggak apa-apa kan kalau ke Rawdah sendiri?”
“Insyaallah, nggak apa-apa. Aku berani, kok!”
“Oke. Yuk, udahan istirahatnya. Kita pulang sekarang. Kamu nanti tahalul di hotel aja, biar nggak keliatan rambutnya. Aku sudah tadi minta tolong jemaah untuk memotong sedikit rambutku.” Aku bangkit dan menolong Amira untuk berdiri.
Kami pun melangkah mencari jalan keluar dari masjid meninggalkan suara-suara jemaah yang terus berzikir. Ada rasa damai berada di masjid ini. Walaupun sudah dua kali ke sini, tetapi rasanya selalu kurang dan ingin mengulang lagi.
“Kita beli sarapan dulu. Kamu mau makan apa?”
“Apa aja yang Mas beli. Aku kan nggak ngerti.”
“Kita beli parota aja nanti sambil jalan ke hotel. Kamu tahu nggak apa itu parota?”
Amira menggeleng.
“Itu makanan khas India, roti gitu kayak roti Maryam atau Cane, nanti makannya pake kari ayam atau kari sayur.”
“Enak?” Kening Amira berkerut membayangkan rasa Parota.
“Enak, insyaallah. Kamu pasti suka.”
Kami mampir di sebuah restoran India dalam perjalanan pulang ke hotel. Aku membeli dua buah roti parrota dengan kari kambing dan sayuran sebagai pelengkap. Aku juga membeli murtobak (martabak) telur kesukaanku.
Setiba di hotel, kami langsung menyantap semua makanan yang tadi dibeli. Rasa syukur membuncah dalam dadaku.
Suara lembut pramugari menyadarkanku dari lamunan panjang. Pesawat telah tiba dengan selamat di Bandara King Abdul Aziz di kota Jeddah pukul 17.00. Seperti penumpang lain, aku menunggu sampai pesawat benar-benar berhenti baru mengambil koper di kabin. Setelah keluar pesawat, aku bergegas mencari bis yang akan membawaku ke Mekkah. Dalam perjalanan, ponselku berdering.
Amira. Nama yang tertera di layar ponselku.
“Ya, Mir?” Setelah menjawab salam, aku menyapa istriku di seberang.
“Mas di mana? Kok ramai?”
“Aku di bis. Perjalanan ke Mekkah, mau umrah.”
“Lho, kok nggak bilang? Kalau aku nggak nelepon, kamu pasti nggak ngasih tahu aku.” Suara perempuan itu terdengar kesal.
“Maaf, aku lupa. Tadinya nggak ada pikiran mau umrah, tapi kok hati nggak tenang, makanya aku langsung putusin mau umrah. Mumpung Kamis dan besok libur.” Aku mencoba menjelaskan dengan sabar.
“Mas kan memang selalu begitu. Aku nggak pernah dianggap.”
Aku bisa membayangkan wajah cantiknya pasti mendadak muram denga bibir cemberut.
“Kan aku udah minta maaf, Mir. Apa aku harus balik lagi ke Riyadh, nih?” selorohku mencoba membujuknya.
“Mulai deh, yang nggak-nggak usulnya. Ya udah, udah hampir nyampe juga, kan? Titip doa aja, biar ada jalan keluar dari masalah kita.”
“Itu dia alasanku umrah. Supaya kamu nggak jadi minta cerai,” ujarku pelan.
Hening. Amira tidak menjawab.
“Udah sampe nih. Aku tutup dulu, ya, Sayang. Nanti kalau udah selesai umrah-nya, aku telepon lagi. Jangan tidur dulu. Kan baru jam sembilan lebih di sana.”
“Iya. Hati-hati, ya!” Amira pun menyudahi pembicaraan.
Aku menyimpan benda pipih itu di tas selempang, dan melanjutkan zikirku hingga tiba di hotel. Tak mau membuang waktu, aku langsung berjalan kaki menuju Masjid Haram. Seperti saat pergi bersama Amira, setiap melihat menara-menara masjid yang menjulang tinggi, menapaki marmer putih yang sejuk di halaman masjid yang luas, mencium aroma harum dari parfum ciri khas masjid, selalu menimbulkan sensasi yang tak kuasa kututurkan dengan kata-kata. Aku terus melangkah menuju lantai bawah tempat Kabah berada dan memulai thowafku.
-bersambung-
Halaman : 1 2