Amira Dzakiya.
Mendengar Mas Bayu umrah, ada rasa rindu yang bergejolak di dadaku. Rindu pada Baitullah, rindu pada damainya suasana kota Nabi. Tak terasa, air mataku menetes.
‘Izinkan aku untuk bisa kembali mengunjungi masjid-Mu dan masjid Nabi-Mu, ya, Allah.’ Doaku dalam hati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lalu lamunanku mengembara ke saat baru pertama kali tiba di Riyadh.
Niat Mas Bayu untuk pindah kerja ke Riyadh sudah tak tergoyahkan. Sia-sia aku membujuknya. Alih-alih menuruti kehendakku, ia malah setengah mengancam mengatakan kalau istri yang baik itu harus mau ikut ke mana pun suaminya pergi. Aku tak bisa membantah lagi. Toh memang dia sudah menyiapkan segalanya. Akhirnya dengan berat hati aku menyetujui niatnya untuk pergi.
Kami sempat hidup terpisah selama satu tahun, sebelum akhirnya aku bisa menyusul. Masih terbayang dalam ingatanku, kala pertama tiba di Bandara King Khalid International, Riyadh. Sebuah kota yang asing bagiku. Aku berangkat sendiri karena Mas Bayu tidak bisa menemani ke Jakarta. Setiba di Riyadh, ia akan menjemputku.
Pesawat tiba tepat waktu, pukul 13.00 waktu setempat. Berarti di Jakarta sudah pukul 17.00 sore karena ada perbedaan waktu 4 jam. Aku berjalan mengikuti rombongan penumpang lain menuju imigrasi. Para perempuannya mengenakan baju gamis panjang dan longgar berwarna hitam. Mereka menyebutnya abaya. Banyak di antara mereka juga mengenakan niqab atau cadar yang menutupi semua wajah dan hanya mata yang terlihat. Aku juga mengenakan gamis hitam dan jilbab hitam agar tidak mencolok mata.
Bandara King Khalid ini tampak bersih. Di tengah area menuju imigrasi, terdapat air mancur tinggi menjulang, dikelilingi taman berisi aneka bunga segar. Sama seperti bandara negara lain, di sini juga terdapat toko-toko yang menjual aneka keperluan penumpang. Langit-langit yang tinggi dan dinding putih membuat semua ruangan terlihat lebih luas.
Terus terang, aku sedikit takut saat akan melalui imigrasi. Para petugas yang seluruhnya laki-laki—berbaju gamis putih panjang dengan tutup kepala kotak-kotak merah—dengan cermat memeriksa paspor dan visa para penumpang.
Bibirku tak henti-henti berdoa supaya semua lancar.
“Are you alone?” tanya petugas Saudi berkacamata dan bercambang rapi. Matanya tajam menatapku.
Aku terkejut.
“Yes …,” jawabku singkat setelah berhasil menguasai diri. Jantung rasanya hampir copot. Tanganku gemetar dan terasa dingin.
“Where is your husband?” lanjutnya sambil terus memeriksa halaman demi halaman pasporku.
“He is waiting outside.” Aku berusaha tenang.
‘Tenang, Mir, tenang! Jangan panik. Semua dokumen lengkap dan resmi. Nggak perlu takut!’ Suara hatiku mencoba menenangkan.
Akhirnya petugas itu mengembalikan semua dokumenku setelah memintaku untuk melakukan pemeriksaan sidik jari. Aku mengucapkan terima kasih dan segera berlalu. Meskipun kaki masih terasa gemetar, aku memaksakan diri untuk terus berjalan menuju tempat pengambilan koper.
Setelah menunggu selama satu jam, dua buah koperku keluar juga. Susah payah aku menaikkannya ke troli, lalu mendorongnya keluar. Saat keluar pintu, aku langsung melihat sosok lelaki tinggi tegap dengan jaket kulit hitam dan tutup kepala hitam tersenyum ke arahku. Mas Bayu. Rasa rindu selama setahun berpisah terasa begitu menggebu. Aku mempercepat langkah dan memeluknya erat, tak peduli dengan tatapan heran para penjemput yang lain. Lelakiku pun balas memeluk.
“Kenapa mereka liatnya kayak gitu, Mas?” tanyaku setelah mencium punggung tangannya.
“Karena di sini nggak boleh peluk-peluk di depan umum. Untung nggak ditangkep polisi tadi kamu,” jawab Mas Bayu terkekeh sambil mendorong troliku.
Aku tergelak sambil merapatkan jaket dan melangkah di sampingnya.
“Oya? Duh, maaf deh, aku nggak tahu budaya di sini. Kamu juga bukannya bilang. Aku kan malu,” sahutku tersipu.
“Kangen banget, ya, sampai kenceng banget meluknya.” Mas Bayu masih terus menggodaku.
“Udah deh, nggak usah mulai.” Aku cemberut, masih dengan wajah merona.
Aku mengikuti langkah Mas Bayu menuju tempat parkir. Cuaca sejuk langsung terasa saat kami keluar dari bandara. Meskipun siang hari dan matahari bersinar terik, tetapi hawa dingin masih terasa menggigit. Kami segera masuk ke mobil setelah Mas Bayu menyimpan koperku di bagasi. Tak lama kemudian sedan Toyota Camry putih milik kami melaju membelah kota Riyadh.
Satu jam kemudian Mas Bayu menghentikan mobil di depan sebuah bangunan bertingkat tiga yang mewah. Bangunan putih dengan bentuk segiempat serupa apartemen, tapi hanya memiliki tiga lantai itu kelak akan menjadi tempat kami bernaung beberapa tahun ke depan. Di bagian depan rumah tertutup gerbang yang menjulang tinggi, dengan dua buah pintu masuk. Aku turun dan menatap bangunan di depanku. Inilah yang akan menjadi rumahku di masa-masa yang akan datang.
“Ayo masuk! Jangan bengong gitu,” ajak Mas Bayu melihatku terpaku di depan rumah. Ia lalu mendorong kedua koperku dan membuka pintu gerbang.
Aku melangkah masuk dan terpana melihat situasi di dalam, tidak menyangka kalau di balik gerbang tinggi itu ada sebuah halaman kecil di depan dengan dua pintu masuk ke rumah. Satu pintu rumah kami, satu lagi menuju tetangga. Menurut Mas Bayu, tetangga kami juga orang Indonesia. Lantai dua dihuni oleh orang Saudi dan lantai tiga ada dua keluarga dari Afrika. Untuk menuju lantai atas, ada tangga yang terletak di depan gedung dengan pintu gerbang berbeda.
Halaman : 1 2 Selanjutnya