Aku terhenyak. Bergegas kuraih tubuhnya ke dalam pelukan.
“Aku nggak bilang kamu salah, Mir. Aku yang banyak salah, hanya saja, tolong kamu juga jangan terlalu ketakutan kayak gini.”
Amira masih diam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Baiklah …,” ujarku meraih wajahnya agar menghadapku, “mulai sekarang aku akan berusaha untuk mengikuti keinginan kamu. Kalau nanti aku pergi, aku akan kasih kabar. Gimana?”
Sekejap, ada setitik binar di matanya. Ia mengangkat sedikit ujung bibir dan menundukkan kepala.
“Mau lanjut apa istirahat dulu?” tanyaku.
“Aku capek, Mas. Mau tidur aja. Kamu udah tahu sedikit alasanku, kan? Kita lanjut besok, ya? Kalau kamu nggak marah-marah, aku bisa lancar ngomongnya. Kenapa nggak dari dulu kamu bisa nahan diri kayak tadi?” Amira melepaskan pelukanku dan berjalan menuju meja rias. Jam di dinding menunjukkan pukul 10 lewat.
Aku menahan senyum. ‘Andai kamu tahu, gimana beratnya tadi aku harus menahan diri untuk bersabar mendengar keluh kesahmu, Mir,’ batinku.
Namun, tiba-tiba ia seperti teringat sesuatu.
“Satu lagi, kamu juga selalu memutuskan apa-apa sendiri, tanpa mengajakku bicara,” ujarnya menatapku dari pantulan cermin.
Aku terperanjat.
“Ya Allah, yang mana, Mir? Saat aku beli sepeda?”
Amira mengangguk.
“Itu baru satu contoh, Mas. Kadang aku jadi merasa nggak dibutuhkan. Aku istrimu, tapi untuk beberapa hal, sepertinya kamu lebih nyaman nggak ngelibatin aku,” imbuhnya.
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Sesungguhnya, aku bingung mendengar Amira bicara. Selama ini aku tidak pernah berpikir kalau perbuatan dan kata-kataku telah menyakitinya. Aku menganggap itu hal biasa. Ternyata delapan tahun pernikahan belum bisa membuat aku mengerti Amira.
“Sayang, boleh aku bicara?” tanyaku lembut sambil berusaha menekan rasa jengkel yang mulai hadir.
Melihat Amira diam, aku melanjutkan, “Aku minta maaf kalau selama ini ternyata kamu merasa tersakiti. Tapi percayalah, aku nggak bermaksud seperti itu. Soal beli sepeda, aku hanya melihat dari segi efisiensi waktu aja. Waktu itu pas ada diskon dan aku memang lagi butuh, makanya langsung beli. Toh, nanti di rumah aku akan bilang ke kamu.”
“Iya, tapi pake ngomong kalau itu uang tabunganmu sendiri, jadi boleh kamu pake semaunya,” sambar Amira ketus.
“Lho, apa salah aku ngomong? Memang itu pake uang tabunganku. Aku kasih tahu supaya kamu nggak salah paham dan mengira aku pake uang belanja atau bulanan jatahmu untuk hal yang kurang penting. Salah, ya?”
Amira cemberut.
“Nah, sama kan kayak masalah sebelumnya. Kamu selalu menganggap hal biasa, sementara bagiku sebaliknya,” gerutunya.
Aku menarik napas dan mengembuskannya keras. Kelihatannya malam ini aku bakal tidur di sofa karena Amira mulai mengambil bantal dan selimut lalu meletakkannya di sofa besar yang ada di seberang tempat tidur.
“Serius, Mir?”
-bersambung-
Cerita sebelumnya : https://www.redaksiku.com/bertahandiatasluka22-yasmira/
Halaman : 1 2