“Eh, iya. Maaf!” Aku segera menyimpan benda pipih itu di tas. “Kenapa, Sa?”
“Lo jatuh cinta ya, sama Pras?”
Jantungku seakan melorot hingga ke kaki mendengar pertanyaan Marisa. Namun, bukan Amira namanya kalau tidak bisa cepat menguasai diri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Jangan ngaco, Sa!” Aku mencoba bersikap biasa, padahal jantungku berdebar lebih cepat. Aku mengubah posisi duduk dan berkali-kali membetulkan jilbab yang sudah rapi.
“Jujur aja, Mir! Gue kenal lo kan udah cukup lama, jadi gue tahu kalau lo selalu salah tingkah kalau dekat Pras.”
“Nggak mungkinlah, Sa! Pras itu sahabat gue sejak kecil. Udah gue anggap kakak.” Aku tetap mengelak. Lagipula, dia kan udah punya tunangan. Dah, deh, jangan bikin gosip!”
Marisa tersenyum samar.
“Kan belum ada janur kuning. Berarti masih bebas, Mir!” goda gadis bermata bulat itu.
Untunglah teleponku berbunyi, paling tidak untuk sementara aku selamat dari cecaran pertanyaan Marisa. Saat aku masih berbicara di telepon, Pras tiba. Kami pun segera pergi dengan mobil Pras. Aku dan Marisa tidak membawa mobil karena Pras sudah berjanji akan mengantarkan kami pulang.
Setelah menikmati makan malam dan berbincang berbagai macam hal, kami memutuskan untuk pulang karena malam semakin larut. Pras terlebih dulu mengantar Marisa pulang, setelah itu baru ke rumahku. Sepanjang sisa perjalanan, kami saling diam. Hanya terdengar alunan lembut musik instrumental St. Elmo’s Fire dari David Foster. Lagu kenangan kami saat di SMP.
“Kamu masih punya album lagu ini, Pras?” tanyaku memecah keheningan.
Pras menoleh sekilas dan mengangguk.
“Iya. Aku download dari Youtube. Nggak pernah bosan dengerin musik ini,” jawabnya sambil tetap fokus menyetir.
Aku membenarkan dalam hati. Suasana kembali hening, aku tidak tahu mau bicara apa lagi, lidahku mendadak terasa kelu. Mobil terus meluncur membelah malam, hingga tiba di rumahku. Ada rasa menyesal dalam hati karena menyia-nyiakan kesempatan untuk ngobrol, padahal biasanya aku begitu cerewet. Hal yang sama terjadi pada Pras. Ia yang biasanya usil dan selalu mencari gara-gara, malam ini begitu pendiam.
“Makasih, ya, Pras. Nggak mau mampir dulu?” tanyaku basa-basi.
“Nggak usah, Mir! Udah malam, kasihan Ibu udah tidur. Aku pamit, ya?” jawabnya menatapku lekat, membuat dada ini kembali berdebar.
Cepat aku mengangguk dan turun dari mobil.
“Mir!” Pras memanggilku, “Terima kasih sudah nemenin makan malam, ya?”
“Kan sama Marisa juga,” jawabku canggung.
“Iya, aku tahu, tapi kalau sama kamu rasanya lebih istimewa.” Prasetya menatapku lama.
“Udah malam, Pras. Aku masuk, ya? Hati-hati di jalan.” Cepat aku berbalik untuk menghindari tatapan mata Pras dan menenangkan perasaanku yang tak menentu.
Perlahan mobil Pras bergerak pergi. Aku masih mematung di depan gerbang dengan tubuh gemetar. Wajahku masih terasa hangat. Duh, Tuhan. Apakah aku sudah jatuh cinta pada sahabatku sendiri?
-bersambung-
#novel
#lomba
#hiburan
Halaman : 1 2