Novel : Bertahan di Atas Luka Part 28
Amira Dzakiya
Perlahan mobil Pras bergerak pergi. Aku masih mematung di depan gerbang dengan tubuh gemetar. Wajahku masih terasa hangat. Duh, Tuhan. Apakah aku sudah jatuh cinta pada sahabatku sendiri?
Malam itu aku sulit memejamkan mata. Wajah Prasetya selalu terbayang di pelupuk mata dan tidak mau pergi. Aku membolak-balikkan tubuh mencoba untuk mencari posisi yang nyaman. Namun, semua usahaku sia-sia. Pikiranku berkelebat dan mengembara kepada lelaki berkulit putih bermata sipit. Akhirnya aku memutuskan untuk berwudu dan melakukan salat malam. Setelah sujud dan memohon petunjuk, perasaanku menjadi lebih tenang. Aku mengambil al-qur’an dan mulai membacanya. Ayat demi ayat begitu menenangkan, hingga akhirnya aku terlelap dengan qur’an masih di tangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hari demi hari pikiranku semakin tidak tenang. Prestasiku di kantor pun menurun. Sungguh, aku tidak bisa konsentrasi menyelesaikan pekerjaan.
“Mir! Mending terus terang deh ke gue, lo kenapa sebetulnya?” Mata sahabatku itu menatapku penuh selidik. Ia berdiri dengan tangan menopang di atas partisi pembatas bilik kerjaku.
“Nggak ada apa-apa, Sa! Sumpah!” jawabku mengelak.
“Amira, gue tahu lo! Nggak biasanya kerjaan lo banyak ngaconya. Gara-gara Pras, ya?” tebaknya langsung, membuatku tergagap.
Aku semakin salah tingkah. Akhirnya dengan tersipu aku mengangguk.
“Janji, lo nggak akan ngomong ke siapa-siapa!” ancamku.
Marisa tergelak.
“Ya ampun … Mir! Ngaku gitu aja susah banget, sih?”
“Gila lo, ya! Itu kan rahasia hati, Sa! Masa iya harus gue umbar ke mana-mana?” protesku.
“Kan gue sahabat lo, tinggal cerita aja, gue janji kok nggak akan ngomong ke siapa-siapa,” Marisa lalu pindah duduk di kursi samping mejaku, “Emang sejak kapan lo jatuh cinta sama cowok sipit itu?” tanyanya menahan tawa.
“Nggak tahu. Tiba-tiba aja muka dia nggak mau pergi dari pikiran gue. Sebel!”
Marisa tergelak tanpa henti.
Aku hanya bisa melotot pasrah.
“Sa! Puas ya, lo! Ntar seluruh kantor bingung ngeliat ada cewek ngakak nggak jelas,” gerutuku melihat perempuan cantik itu tak berhenti tertawa.
“Eh, Mir! Pernah nggak kepikiran kalau Pras juga sayang sama lo?” Tiba-tiba ia bertanya dengan senyum menggoda.
“Nggak mungkinlah! Dia kan udah punya tunangan,” ujarku menahan rasa nyeri di dada yang mendadak muncul.
“Mau gue tanyain?”
Aku mendelik. Anak ini benar-benar nggak bisa dipegang janjinya.
“Nggak usah!” teriakku panik. “Sa, lo udah janji. Please … gue nggak mau persahabatan gue sama Pras putus cuman gara-gara cinta nggak jelas gini. Janji, Sa, jangan macam-macam!”
“Iya … iya ….” Marisa akhirnya mengalah. “Terus, mau lo gimana?”
“Ya udah, cukup gue simpan aja dan cukup lo yang tahu.”
“Yakin, Mir?”
Aku mengangguk mantap. Tidak mungkin aku merusak pertunangan Pras. Biarlah rasa ini tetap terpendam dalam hati tanpa seorang pun tahu. Semoga semuanya segera baik-baik saja. Aku berharap semua akan berlalu dan kembali seperti dulu. Namun, tampaknya keinginanku tidak tercapai.
Suatu sore, Pras sengaja datang ke kantor dan mengajakku pergi. Marisa memandang penuh arti saat bertemu kami di lobi kantor.
“Kita mau ke mana? Tumben kamu ngajak jalan sore-sore gini,” tanyaku saat sudah berada di dalam mobil.
“Jalan-jalan aja ke tempat nongkrong baru. Aku dengar bagus banget buat foto dan makanannya enak.”
“Marisa nggak diajak?”
“Dia nggak bisa. Aku tadi udah ngajak, tapi katanya dia lagi ada janji sama Arga. Persiapan nikah.”
“Nikah? Kok aku nggak tahu, ya? Dia juga nggak bilang,” tanyaku dalam hati.
Mulutku membentuk huruf O sebagai reaksi kata-kata Pras.
Kami tiba di tempat ketika senja mulai menyapa. Kafe baru yang terletak di rooftop sebuah gedung perkantoran di bilangan Sudirman itu memang memiliki suasana yang berbeda. Sebagian besar dekorasinya terbuat dari kayu, dinding dan lantainya didesain dengan parket coklat dilengkapi taman dan air mancur di dalam. Kursi dan meja juga terbuat dari kayu, membawa nuansa seperti berada di alam bebas.
Kami memilih duduk di dekat air mancur. Suara gemericik dan sejuknya air membuat perasaan menjadi tenang.
“Mau pesan apa, Mir?” Pras membolak balik menu di depannya, lalu memandangku.
“Aku mau ice royal tea latte aja.”
“Makanannya?”
“Nggak usah, Pras. Tadi siang aku makan agak banyak, jadi masih kenyang.” Aku menolak sambil mengembalikan menu ke pelayan yang menunggu pesanan kami.
Setelah pelayan pergi, Pras kembali memandangku lekat. Lelaki dengan setelan kemeja lengan panjang biru muda dan celana hitam itu seolah tak mau mengalihkan perhatiannya dariku.
“Kenapa ngeliatin sampai kayak gitu? Kagum, ya?” selorohku mencoba menekan debur jantung yang semakin kencang.
“Mir, kita kan udah lama banget sahabatan, ya?” Pras membuka suara tanpa mempedulikan candaanku.
Aku mengangguk dengan wajah bingung.
“Eh … kalau … hmm ….” Pras tampak berusaha menguasai rasa gugupnya.
Aku menunggu ia kembali bersuara.
“Kenapa, Pras?”
“Kalau dari rasa sayang buat sahabat tiba-tiba berubah jadi cinta, salah nggak, ya?” tanyanya lembut, tidak mengalihkan pandangannya dari wajahku.
Halaman : 1 2 Selanjutnya