Bayu Ramadhan.
Aku menatap layar laptopku dengan pikiran berkecamuk. Tanpa sadar, pikiranku kembali mengembara ke beberapa bulan terakhir kehidupan rumah tangga kami.
“Mir, aku gowes dulu sama teman-teman, ya?” Aku duduk di sofa ruang tamu sambil mengikat tali sepatu. Seperti biasa, setiap pagi di hari libur aku selalu menyempatkan diri untuk menyalurkan hobi bersepeda.
Amira hanya memandang dengan tatapan yang sulit diartikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Mas, kamu mau sepedaan lagi? tanyanya dengan tatapan kecewa. “Minggu lalu kan udah? Kamu janji mau joging bareng aku, Mas,” lanjutnya pelan.
“Iya, nanti setelah aku selesai. Kamu siap-siap aja.” Aku menjawab singkat sambil memakai helm dan bergegas mengambil sepeda di halaman.
Wajah istriku tampak muram. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera mengunci pintu ruang tamu.
Sebenarnya aku sedikit heran melihat perubahan sikapnya. Biasanya ia akan panjang lebar memprotes sikapku yang selalu pergi bersama teman-teman komunitas sepeda. Namun, kali ini Amira seperti tidak bersemangat untuk menghalangiku.
Aku tidak memikirkannya lagi, hingga saat pulang menemukan Amira duduk merenung di ruang tamu.
“Mas, aku mau bicara,” ujarnya datar.
“Tunggu! Aku bersih-bersih badan dulu,” jawabku menuju kamar mandi setelah membiarkan keringatku kering.
Selesai mandi dan berganti kaus, aku mengambil segelas air putih lalu duduk di samping Amira.
“Mau ngomong apa, Mir?” tanyaku sambil meneguk air putih. Rasa sejuk dan nikmat air dingin membasahi kerongkongan. “Nggak jadi mau joging? Baru jam 09.00 kok, masih bisa kalau mau.”
Amira mengatur napasnya.
“Aku ingin pisah.”
Aku tersedak dan terbatuk. Air putih yang baru saja kuteguk keluar lagi membasahi karpet ruang tamu. Kata-kata Amira bagai bom yang meledak di kepalaku.
“Kamu ngomong apa sih?” seruku tak percaya.
“Aku mau pisah, Mas.” Amira mengulang kalimatnya dengan tenang. Wajahnya datar tanpa ekspresi.
“Amira! Hati-hati kalau bicara. Kamu mau aku menceraikanmu?” Aku memandang wajah cantiknya. Jantungku berdegup kencang, masih tak percaya dengan yang kudengar. Tubuhku bergetar dan dada terasa panas. Aku mencoba menguasai diri.
“Iya.” Perempuan terkasih itu menjawab singkat.
Kepalaku tiba-tiba berdenyut, rasa nyeri menyerang tengkuk. Aku mencoba menarik napas untuk mengisi dadaku dengan udara. Setelah agak tenang, aku mencoba mencari tahu alasan Amira.
“Ada apa, Mir? Kamu nggak lagi datang bulan, kan?” tanyaku mencoba bergurau.
Ia menggelengkan kepala.
Aku lalu pindah duduk menghadapnya. “Lalu kenapa tiba-tiba kamu minta pisah? Apa alasannya? Apa aku pernah menyiksamu? Aku tidak pernah berkata kasar, bahkan selalu mengalah kalau kamu ngambek. Aku juga mencoba menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab,” tandasku dengan napas memburu.
“Maafkan aku, Mas. Kamu memang suami yang baik. Aku yang merasa nggak sanggup jadi istri yang baik.”
“Semua bisa kita bicarakan baik-baik, kan? Bagiku, kamu itu istri yang baik. Atau, kamu merasa kecewa karena kita belum juga punya anak?” tanyaku hati-hati.
Mata perempuan di depanku terlihat mengembun.
Aku merengkuh tubuhnya. Tak lama, kudengar suara isak tertahan dan tubuh yang bergetar. Aku semakin mengetatkan pelukanku dan membiarkan Amira mengeluarkan semua rasa dalam hatinya.
Setelah tangisnya mereda, aku melepaskan pelukan dan memandangnya.
“Mau cerita, ada apa sebenarnya? Aku salah apa?” tanyaku lembut.
Amira menyeka air mata dengan tangannya.
“Apa karena aku nggak ngajak kamu jogging tadi pagi?” Aku kembali bertanya saat kulihat ia masih diam.
“Kalau aku ngomong, kamu janji nggak akan marah?” Akhirnya Amira bersuara.
Cepat aku mengangguk. Aku duduk bersila di karpet biru laut yang lembut dengan motif Arab. Amira memandangku lalu dengan ragu ia mulai bicara.
“Mas merasa nggak kalau beberapa tahun terakhir ini kamu berubah?”
Aku terhenyak, tapi kutahan untuk tidak menjawab.
“Mas mulai nggak perhatian, makin sibuk kerja. Kalau ada waktu libur seperti hari ini, Mas lebih memilih olahraga sama teman-temanmu ketimbang sama aku.” Amira berhenti sejenak untuk melihat reaksiku.
Aku masih belum bersuara.
“Kamu nggak tahu kan kalau aku sering merasa kesepian di sini. Aku nggak kerja, nggak ada teman untuk bicara karena aku takut untuk keluar sendiri. Aku bosan, Mas! Aku pikir, kalau kamu libur, kita bisa jalan-jalan berdua. Ternyata aku salah! Liburan kamu pake untuk kumpul sama teman-temanmu,” seru Amira dengan nada tinggi.
“Masa hanya karena masalah itu kamu minta cerai? Come on, Mira. Kita bukan remaja lagi, yang kalau nggak suka sesuatu bisa seenaknya minta pisah!” Aku menjawab keras. Rasanya ada uap panas yang siap menyembur dari ubun-ubun kepalaku. Sakit kepala yang tadi sempat hilang, kini muncul lagi.
Amira terhenyak. Wajah cantiknya memucat.
“Kamu kan bisa bilang baik-baik, kasih tahu aku kalau kamu nggak suka sikapku!”
“Mas! Kamu udah janji nggak akan marah kalau aku ngomong. Gimana aku mau terbuka kalau belum apa-apa suara kamu udah kencang kayak gini?”
“Aku marah karena permintaan kamu yang nggak masuk akal. Hanya karena aku nggak ngajak kamu jalan-jalan, terus kamu dengan entengnya ngancam minta pisah. Grown up, Amira!”
Halaman : 1 2 Selanjutnya