Perempuan itu menatapku dengan mata berkaca-kaca.
“Sekarang aku tanya sama kamu. Apa pernah selama menikah, aku ngomong kasar atau mukul kamu? Nyakitin kamu? Pernah? Jawab!”
Air mata Amira mengalir deras. Bahunya naik turun menahan isakan yang semakin kencang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kamu sadar nggak sih, cerai itu bukan hal sepele yang bisa dilakukan dengan mudah. Itu perkara yang sangat dibenci Allah, meskipun dibolehkan dalam agama kita. Istighfar, Amira!” Aku melunak karena tidak tega melihat perempuan terkasih itu menderita.
“Maafkan aku. Aku salah.” Sehabis berkata lirih, Amira bangkit meninggalkanku seorang diri.
Aku kembali ke sofa dan menyandarkan tubuh. Tiba-tiba aku merasa sangat lelah, bukan karena habis bersepeda, tetapi karena berusaha menyimpan emosi yang siap meledak. Sungguh, aku tidak menyangka istriku meminta hal yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Pernikahan kami selama ini baik-baik saja, kalau ada sesekali berbeda pendapat, rasanya masih bisa diterima. Rumah tangga mana yang selalu damai tanpa ada pertengkaran?
Kususul istriku ke kamar. Ia sedang berbaring membelakangi pintu masuk. Perlahan aku mendekat, mengelus lembut punggungnya. Ia terkejut dan berbalik menghadapku.
“Maafkan aku, Mas. Aku manja, ya? Selalu mengeluh, nggak tahu kalau kamu udah capek di kantor dan butuh refreshing.” Ia menatapku sebelum melanjutkan. “Tapi aku memang ngerasa kamu makin jauh, Mas. Bukan hanya masalah hari ini aja, tapi masih banyak hal yang harus kita bicarakan. Aku lelah, Mas. Apa salahku? Kenapa kamu seolah menjauh?” tanyanya bertubi-tubi.
Aku bergeming. Memang kuakui, sejak pindah ke Riyadh, ada rasa malas dan segan untuk berbagi cerita ke Amira. Jujur, ada rasa kecewa karena ia belum hamil juga, tetapi hal itu tidak mungkin aku katakan.
“Maaf, Pak Bayu, laporannya ditunggu Pak Syarif.” Suara Abdullah menghentikan lamunan panjangku. Aku tersenyum dan mengangguk.
“Sebentar lagi saya serahkan.”
-bersambung-
https://www.redaksiku.com/tag/bertahandiataslukayasmira/
Halaman : 1 2