Amira Dzakiya
Aku begitu bahagia dengan pernikahan kami. Masa bulan madu, kami gunakan untuk lebih saling mengenal satu sama lain. Mas Bayu banyak membimbingku untuk semakin mendekat kepada Allah. Kami sering menghadiri kajian dari ustaz-ustaz ternama. Walaupun belum juga terpanggil untuk menutup aurat, tetapi aku menjadi lebih paham soal agama. Aku juga mulai mengenal kebiasaannya.
“Mir, kamu mau dibawain apa? Aku lagi diajak makan sama Bos Besar di The Nanny’s, nih,” katanya saat meneleponku malam itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Wah … enak itu! Bawain tiramisu sama gelato aja, Mas!” Pikiranku langsung membayangkan lezatnya hidangan penutup khas Itali itu.
“Siap, Sayang. Jangan tidur dulu, ya!”
“Nggak, kok. Aku setia menanti—”
“Gitu, dong! Istri emang harus setia menanti suaminya,” sahut lelaki itu sambil terkekeh.
“Jangan GR, deh! Menanti makanannya, Mas. Bukan kamu,” godaku ingin mendengar reaksinya.
“Ya, sudah, nggak apa-apa. Kalau gitu aku minta tolong supir kantor aja yang nganterin makanan, aku lanjut jalan-jalan, ya. Siapa tahu ketemu cewek cantik.” Terdengar gelak tawa Mas Bayu dan teman-teman kantornya.
“Mas, ih!” ujarku dongkol.
“Lho, yang godain duluan siapa?”
“Udah, ah. Cepet pulang, aku tungguin!” pungkasku manja.
“Nah, gitu, dong. Ya udah, aku siap-siap pulang.”
Aku menyentuh tombol warna merah untuk mengakhiri pembicaraan. Kata-kata Mas Bayu membuat wajahku menghangat. Sambil berbaring, aku melanjutkan membaca novel favoritku, tentang isi hati seorang istri. Penulis perempuan ini terkenal dengan pemilihan kalimat-kalimat yang lembut dan romantis. Karyanya selalu bercerita tentang kehidupan rumah tangga. Aku begitu terhanyut dalam cerita yang ia tulis. Terkadang, aku merasa apa yang tertulis di novel, sama seperti pengalamanku mencoba mengerti sifat-sifat suamiku.
Memang ada beberapa sikap Mas Bayu yang membuatku kurang nyaman, tapi aku bisa menerimanya. Bukankah menikah itu menyatukan dua kepribadian yang berbeda? Suami dan istri memang harus saling menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya. Tahun-tahun pertama pernikahan merupakan saat yang berat. Aku yang terbiasa berbicara apa adanya tanpa memikirkan perasaan orang lain, sering membuat Mas Bayu harus sering mengalah dan bersabar.
“Kok baru pulang, Mas? Biasanya magrib udah sampe?” tanyaku dengan nada tinggi. Kulirik jam yang ada di dinding ruang tamu. Hampir pukul 09.00 malam.
Mas Bayu yang baru saja memarkir motor di halaman, memandangku sekilas. Setelah membuka helm dan menyimpannya di rak, ia duduk di kursi teras sambil melepas sepatu.
“Mas!” sentakku dengan wajah cemberut.
“Astaghfirullah! Sebentar, Mir. Aku kan baru sampai rumah. Capek, baru pulang,” jawab Mas Bayu. Wajahnya terlihat tegang. Berkali-kali ia menghela napas, seperti mencoba meredam amarah yang muncul.
Aku berdiri di pintu, memandangnya sambil melipat tangan di dada.
“Kalau suami pulang, disambut dengan senyum, diambilkan minuman, disapa yang lembut, bukan dibentak-bentak kayak gini,” ujar Mas Bayu tegas. “Terus, nggak perlu suara kencang kayak gitu, aku nggak tuli!” lanjutnya. “Bisa, kan, ngomongnya pelan-pelan, yang lembut?” Kata-kata Mas Bayu terasa menohokku.
“Kamu kan bisa kasih kabar kalau mau pulang telat? Apa susahnya sih, tinggal telepon aja?” jawabku masih dongkol. Namun, kali ini aku berusaha melunakkan suara.
Mas Bayu menatapku tajam. “Kamu tahu kenapa aku terlambat?”
Aku menggeleng.
“Tadi ada kecelakaan di jalan, jadi macet panjang.” Ia melangkah masuk. “Meskipun naik motor, aku nggak bisa nyalip karena macetnya. Udah nggak kepikiran juga buat nelepon kasih kabar.” Mas Bayu duduk di sofa dan memijat kakinya.
Aku segera tersadar dan beranjak ke dapur untuk menyiapkan teh hangat. Setelah memberikan teh, aku berjongkok dan ikut memijat kedua kakinya.
“Capek, ya, Mas?” tanyaku pelan.
Ia membisu, asyik menikmati tehnya.
“Maafin aku, ya? Aku hanya khawatir sama Mas karena nggak ada kabar. Maaf, ya?” ujarku dengan mata berkaca-kaca. “Kalau kamu belum pulang dan nggak ada kabar, aku selalu was-was. Pikiranku selalu ke mana-mana, trauma sama kejadian yang menimpa Ayah.”
Mas Bayu meletakkan cangkir teh di atas meja lalu menarik kedua tanganku dan membantuku duduk di sampingnya.
Ia memutar tubuhnya, menghadap ke arahku.
“Apa yang menimpa Ayah itu sudah takdir Allah. Memang sakit, namanya juga kehilangan orang tua, tapi kamu nggak bisa kayak gini terus, Mir. Pelan-pelan lupakan kejadian tragis itu! Ayah sudah tenang. Doakan saja supaya Allah menerima semua amal ibadanya,” lanjutnya lagi.
Tanpa terasa air mata mengalir deras di pipiku.
“Kalau kamu terus menerus dihantui trauma kecelakaan itu, nanti aku yang susah. Aku bukan tipe orang yang selalu ingat untuk kasih kabar. Bisa aja kan kayak tadi, aku nggak bisa nelepon kamu.” Suara Mas Bayu terdengar lembut. “Oya, satu lagi, belajar untuk tidak meninggikan suara kalau ngomong sama orang, ya? Apalagi nanti sama ayah dan ibuku.”
“Nggak mungkinlah aku ngomong keras sama orang tuamu!” Aku kembali meradang. “Aku juga tahu sopan santun, Mas.”
“Nah, kan, baru dibilangin udah keras lagi suaranya. Banyak sabar, Mir!” Mas Bayu menowel pipiku dengan gemas.
Halaman : 1 2 Selanjutnya